Walaupun pernyataan gamblang seperti disampaikan dalam simposium tersebut tak pernah lagi kita dengar dalam beberapa tahun terakhir seiring dengan meningkatnya perhatian global pada HAM kaum marjinal, masih banyak masyarakat (religius) yang memelihara stigma tersebut.Â
Stigma tersebut terus tersebar hingga menyerupai mitos yang tidak pernah dipikirkan kebenaran dan konsekuensinya. Inilah salah satu sumber dari masih maraknya perlakuan diskriminatif terhadap ODHA.
Untuk menunjukkan bahwa stigma tersebut sungguh tak manusiawi, tak berdasar dan secara logis bertentangan dengan nilai-nilai agama, saya tertarik membuat sebuah illustrasi sederhana:
Seorang remaja putus asa terjerumus dalam pergaulan tak sehat sehingga menggunakn jarum suntik narkoba bersama teman-temannya. Dalam pertumbuhannya dia kemudian berubah, berhasil sembuh, melanjutkan pendidikan, mendapat pekerjaam halal, kemudian menikahi wanita baik-baik. Tanpa diketahuinya ternyata dia telah terifeksi HIV di masa remajanya yang suram. Istrinya yang tak mengetahui masa lalu suaminya juga akhirnya tertular dan mereka memiliki anak yang juga tertular virus tersebut.
Pertanyaannya, apakah istri dan anak dari lelaki tersebut juga dikutuk Tuhan? Saya tak yakin ada agama di dunia ini yang menjawab "ya" atas pertanyaan tersebut.Â
Anak tersebut dilahirkan tanpa bisa memilih siapa yang menjadi ayah atau ibunya. Wanita tersebut juga menikahi pria yang nilainya orang baik karena memang tak pernah menunjukkan sifat-sifat buruk sejak dikenalnya.Â
Apakah dia berdosa dan layak dikutuk karena menikahi pria yang dinilainya baik? Selanjutnya, apakah lelaki itu, yang telah menyadari kesalahannya, kembali ke cara hidup yang benar, adalah orang yang layak dikutuk juga?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sengaja diajukan di sini tanpa pretensi memasuki wilayah Teologi atau penafsiran ajaran agama manapun. Pertanyaan-pertanyaan tersebut hanyalah upaya mengetuk nurani kemanusiaan kita sebagai insan beragama.Â
Dengan nurani kemanusiaan tersebut, saya menyakini semua agama di dunia ini mengajarkan keberpihakan (preferential option) kepada para korban dan orang-orang yang menderita.
Dalam illustrasi di atas, anak, istri, bahkan lelaki tersebut adalah korban dari musibah yang datang di luar pengetahuan dan di luar kuasa mereka. Karena itu mereka juga adalah orang-orang yang menderita.Â
Bukan saja karena penyakit yang ada dalam tubuh mereka benar-benar mendatangkan penderitaan fisik dan mematikan, tetapi juga karena upaya-upaya yang mesti mereka tempuh untuk bertahan dari penyakit tersebut mendatangkan penderitaan psikis akibat beban ekonomi dan sosial.Â