Obat-obat yang harus mereka komsumsi sangat mahal dan seringkali langka seperti di masa pandemi ini sebagaimana diliput KOMPAS tahun lalu (08/07/20). Akses mereka ke fasilitas medis juga kerap lebih sulit dan pergaulan sosial mereka juga menjadi sangat terbatas.Â
Akumulasi dari semua itu telah mendatangkan penderitaan yang sangat berat. Kepada orang-orang menderita seperti itulah semestinya orang-orang beragama menunjukkan dirinya sebagai tempat berlindung.
Mitos Penularan Melalui Hubungan Sosial
Stigma tak manusiawi tersebut kemudian diperparah informasi-informasi keliru yang terus diyakini masyarakat sebagaimana layaknya mitos. Di antaranya adalah informasi bahwa HIV dapat menular melalui interaksi sosial seperti berjabat tangan, duduk berdekatan, berbicara tatap muka dan sebagainya. Anggapan keliru ini membuat banyak orang enggan bergaul dengan ODHA.
Sesungguhnya telah banyak pemerhati kesehatan yang melakukan upaya-upaya pencerahan masyarakat untuk mengoreksi anggapan keliru tersebut.Â
Pandu Riono, ahli Epidiomologi Universitas Indoenesia, dalam salah satu kolomnya di majalah Tempo (06/12/04) menekankan bahwa HIV bukan jenis virus yang mudah berpindah dari satu orang ke orang lainya.Â
HIV tidak mampu bertahan di luar tubuh manusia. Maka perpindahan virus tersebut tidak mungkin terjadi hanya karena berjabat tangan apalagi duduk berdekatan.
Selain itu, kemajuan teknologi informasi juga memungkinkan kita mengetahui lebih banyak informasi valid tentang virus agar kita tidak terus meneruh hidup dengan mitos.Â
Dalam salah satu website yang dikelola lembaga kesehatan, misalnya, diterangkan bahwa air liur dan air mata tidak termasuk medium penularan virus tersebut.Â
Dengan demikian sangat tidak beralasan sama sekali menjauhi ODHA dengan alasan  menghindari penularan melalui interaksi sosial sehari-hari.
Sebagai penutup, artikel ini disusun dengan keyakinan bahwa dosa adalah urusan tiap pribadi dengan Tuhan. Tapi kepedulian sosial terutama terhadap mereka yang lemah dan menderita adalah urusan semua manusia.Â