Mohon tunggu...
Rio Kurnia
Rio Kurnia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Taruna Politeknik Pemasyarakatan

taruna poltekip

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Efektivitas Penjatuhan Sanksi Pidana pada Perkara Pidana Residivisme di Indonesia

28 Mei 2022   16:14 Diperbarui: 28 Mei 2022   16:16 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Residivis terjadi pada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi sanksi pidana oleh hakim dan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde), kemudian ia kembali melakukan tindak pidana yang sama atau dianggap sama oleh hukum. Hukum pidana Indonesia menganut sistem residivisme khusus, yang mengandung arti bahwa pemberatan sanksi pidana hanya diberikan untuk residivis jenis tindak pidana tertentu serta dilakukan dalam tenggang waktu tertentu. Pada Buku II, residivis dibagi menjadi residivis kejahatan kelompok sejenis dan residivis kejahatan kelompok jenis tertentu. Residivis kejahatan kelompok tertentu diatur dalam Pasal 486 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang tindak pidana pelanggaran harta benda dan tindak pidana pemalsuan surat serta tindak pidana penyalahgunaan jabatan.

Dasar pemberian suatu sanksi pidana didasarkan pada ancaman pidana pokok terhadap tindak pidana yang dilakukan, tetapi dapat ditambah 1/3 pidana penjara dari ancaman pidana pokok (adanya pemberatan sanksi pidana bagi residivis), berdasarkan barang bukti dalam persidangan yang menguatkan, serta dengan pertimbangan hal-hal yang memberatkan ataupun meringankan terdakwa, serta tuntutan yang diberikan oleh penuntut umum.

Ketika hakim menjatuhkan sanksi pidana, ia tidak menyebutkan tambahan sanksi pidana atau pemberatan sanksi pidana penjara sebesar 1/3 dari ancaman pidana pokok bagi residivis. Pada dasarnya, hakim langsung menjatuhkan putusan kepada terdakwa yang merupakan seorang residivis. Dalam proses pemberian putusan sanksi pidana, hakim wajib meyakini bahwa terdakwa telah melakukan suatu tindak pidana, dan menentukan apakah perbuatan tersebut bersalah berdasarkan alat bukti yang memadai. Hakim juga memiliki kebebasan untuk bertindak dan dapat menjatuhkan hukuman yang sesuai antara batas maksimal atau batas minimal. Kebebasan dalam artian pemberian kesempatan kepada hakim untuk mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan tindak pidana yang telah terjadi, serta keseriusan tindak pidana.

Akan tetapi, ada hal yang menjadikan perbedaan putusan itu berkaitan dengan pertimbangan hakim sebagai faktor pemberat, yaitu terdakwa yang notabennya seorang residivis. Tujuan dari hukum pidana itu sendiri adalah sebagai upaya preventif terhadap tindak pidana dan peninjauan kembali kembali tindak pidana dalam rangka memelihara kesejahteraan dan perlindungan terhadap masyarakat. Sanksi pidana merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan yang diberikan oleh hakim ketika menjatuhkan vonis terhadap seorang pelanggar hukum. Akan tetapi, ketika seorang pelanggar hukum melakukan atau mengulangi lagi kejahatannya, tujuan hukum pidana tersebut di atas tidak tercapai.

Asas dan falsafah residivisme adalah pemidanaan untuk kejahatan yang berulang, karena pemidanaan sebelumnya gagal mencegah/memperbaiki pelaku dan menyebabkan dia melakukan kejahatan lain. Sesuai dengan uraian sebelumnya mengenai pengertian residivisme, tujuan pemidanaan pelaku berupa pemidanaan tidak memberikan efek jera, sehingga residivisme delik disebut residivisme.

Hukum pidana pada prinsipnya dikenal bahwa “tidak ada kejahatan tanpa kesalahan” (“geen straf zonder schuld”, “keine strafe ohne schuld”, tidak ada hukuman tanpa kesalahan). Menurut prinsip ini, terdapat satu fakta penting yaitu bahwa seseorang tidak boleh dihukum jika tidak melakukan kesalahan, tetapi seseorang harus dihukum jika seseorang melakukan kejahatan. Pemberatan sanksi pidana dengan menambah sebesar 1/3 dari masa pidana atau waktu pemidanaannya dengan maksud untuk memperberat pidana yang telah ditentukan ketentuan tentang tindak pidana residivisme dalam UU didasarkan pada filosofi definisi, implementasi dari definisi hukum yang bertujuan untuk melindungi masyarakat. Secara teoritis pengaturan tindak pidana residivisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan didasarkan pada teori pemidanaan kompleks yang menyatakan bahwa tujuan dari pemidanaan atau penjatuhan sanksi pidana adalah untuk mempertahankan keduudukan hukum dalam masyarakat dan mengintegrasikan pelaku pelanggar hukum.

Sanksi pidana yang ringan bukan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan mereka (pelaku tindak pidana) melakukan tindak pidana lagi, karena hakim telah memberikan penilaian yang adil terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Hukuman yang dijatuhkan dianggap sebagai hukuman yang pantas dijatuhkan kepada si pelanggar. Pada kenyataannya faktor yang menyebabkan mereka melakukan pelanggaran ulang (residivisme) pada dasarnya adalah kembali kepada individu masing-masing, oleh karena itu bukan karena vonis hakim yang terlalu ringan untuk dikatakan bahwa seseorang telah melakukan pelanggaran berulang, tetapi semuanya berdiri tegak. tetap. Kembali ke semua orang yang sudah memiliki temperamen atau kepribadian yang buruk.

Residivis adalah seseorang yang pernah menjalani masa pidana kemudian ia kembali melakukan tindak pidana yang sama, dengan tindak pidana yang ia lakukan sebelumnya sudah dijatuhi pidana dan memiliki kekuatan hukum tetap, serta pengulangan terjadinya tindak pidana pada jangka waktu tertentu. Dasar penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana residivisme diatur dalam Bab XXXI pasal 486, pasal 487, dan pasal 488 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP yang mengatur mengenai sanksi pidana terhadap pelaku pengulangan kejahatan dengan pemberatan sanksi pidana sebesar 1/3 dari ancaman sanksi pidana maksimalnya. Dalam menjatuhkan sanksi pidana atau vonis terhadap pelaku tindak pidana, hakim harus mempertimbangkan fakta-fakta, alat bukti, barang bukti, maupun saksi-saksi yang ada didalam persidangan. Terlebih lagi terhadap tindak pidana residivisme yang dapat diberikan pemberatan sanksi pidananya. Jika hakim telah mengetahui bahwa pelaku tindak pidana tersebut adalah seorang residivis, maka hakim harus memperhatikan apakah tindak pidana yang dilakukan adalah tindak pidana yang sama atau tindak pidana yang berbeda sebagai pertimbangan dalam penjatuhan sanksi pidana nantinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun