Mohon tunggu...
Rio Kurnia
Rio Kurnia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Taruna Politeknik Pemasyarakatan

taruna poltekip

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Efektivitas Penjatuhan Sanksi Pidana pada Perkara Pidana Residivisme di Indonesia

28 Mei 2022   16:14 Diperbarui: 28 Mei 2022   16:16 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Residivis adalah seseorang yang pernah menjalani masa pidana kemudian ia kembali melakukan tindak pidana yang sama, dengan tindak pidana yang ia lakukan sebelumnya sudah dijatuhi pidana dan memiliki kekuatan hukum tetap, serta pengulangan terjadinya tindak pidana pada jangka waktu tertentu. Dasar penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana residivisme diatur dalam Bab XXXI pasal 486, pasal 487, dan pasal 488 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP yang mengatur mengenai sanksi pidana terhadap pelaku pengulangan kejahatan dengan pemberatan sanksi pidana sebesar 1/3 dari ancaman sanksi pidana maksimalnya.

Dalam suatu kehidupan bermasyarakat, tentunya tidak lepas dari masalah sosial maupun masalah pribadi yang terjadi. Kehidupan bermasyarakat mau tidak mau harus menaati peraturan yang telah dibuat untuk menjaga keharmonisan dalam kehidupan. Indonesia menetapkan diri sebagai negara hukum. Pada dasarnya negara hukum berkeyakinan bahwa kekuasaan dan setiap tindakan dari negara wajib dijalankan berdasarkan hukum untuk mendapatkan kepastian hukum dan menegakkan keadilan yang dilakukan dengan setara, membentuk unsur yang mencerminkan demokrasi, dan memenuhi semua yang diperlukan akal budi. Dalam kehidupan bermasyarakat, kita sebagai warga negara harus taat dan patuh terhadap hukum yang berlaku di Indonesia.

Hukum dirumuskan dalam bentuk norma dan sanksi untuk mengatur perilaku manusia dalam rangka memelihara ketertiban, keadilan dan mencegah terjadinya kekacauan. Hukum ialah suatu peraturan atau kebiasaan yang dianggap mengikat secara formal yang ditegaskan oleh pemerintah. Hukum dapat diartikan sebagai suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur kehidupan sosial masyarakat. Disiplin terhadap hukum merupakan konsep yang harus dilaksanakan oleh setiap warga negara. Jika semakin banyak orang yang disiplin hukum, maka semakin tinggi juga tingkat kesadaran hukumnya.

Sistem hukum yang diadopsi oleh Indonesia saat ini adalah sistem hukum Eropa kontinental. Buktinya adalah KUHP yang saat ini masih berlaku. Pada dasarnya semua peraturan perundang-undangan bertujuan untuk menciptakan ketertiban, keamanan, kenyamanan dan perlindungan hukum bagi masyarakat. Hukum pidana berperan sebagai pengatur dalam kehidupan bermasyarakat untuk menciptakan serta memelihara kenyamanan hidup. Hal ini didasari oleh banyaknya perbedaan dan pertentangan kepentingan dan kebutuhan di antara manusia. Upaya dan kebijakan untuk merumuskan hukum pidana yang tepat tidak terlepas dari tujuan hukum sebagai undang-undang pencegahan kejahatan.

Meskipun Indonesia telah menetapkan diri sebagai negara hukum, angka kriminalitas yang dilakukan masyarakat Indonesia masih sangatlah tinggi. Terdapat beberapa masalah pokok yang harus diperhatikan dalam sistem hukum pidana Indonesia, antara lain:

Kriminalisasi dan dekriminalisasi.

Pemberian pidana

Pelaksanaan hukum pidana

Urgensi KUHP Indonesia

Penggunaan hukum pidana dalam konteks kebijakan kriminal harus dilihat sebagai salah satu upaya untuk pencegahan terjadinya tindak kejahatan dalam kehidupan bermasyarakat. Penggunaan hukum pidana adalah untuk mengambil tindakan perdata dan administratif di samping mempengaruhi upaya masyarakat atas kejahatan. dan hukuman dan pencegahan kejahatan. Bila melihat efektifitas sanksi pidana, pertama-tama dikemukakan dari aspek sosial, aspek hukum, aspek kontrol sosial, dan aspek penegakan hukum. Steven Vago mengemukakan bahwa pengendalian sosial menggunaan sarana hukum terjadi apabila bentuk bentuk pengendalian sosial lain tidak efektif, pengendalian sosial merupakan hasil dari usaha sosialisasi melalui proses belajar yang dikembangkan oleh kelompok individu.

Dibandingkan dengan kompleksitas yang dihadapi masyarakat (termasuk penggunaan hukum pidana), penggunaan hukum sebagai alat kontrol sosial terlalu sederhana. Penggunaan hukum pidana sebagai upaya preventif dan represif terhadap tindak criminal perlu memperhatikan adanya faktor keseimbangan, antara lain:

Keseimbangan adalah sarana yang dapat digunakan untuk mencapai hasil.

Analisis biaya dari hasil yang terkait dengan pencapaian tujuan yang diharapkan

Evaluasi atau interpretasi tujuan yang dicapai

Dampak sosial terhadap kriminalisasi dan diskriminalisasi

Pemberian sanksi pidana merupakan bentuk perlindungan terhadap masyarakat dan pemberian efek jera terhadap pelanggar hukum. Pemberian sanksi pidana diharapkan akan membawa ketentraman dan sanksi pidana merupakan suatu proses reintegrasi sosial agar pelaku tindak pidana dapat diterima dan hidup normal kembali ditengah - tengah masyarakat. Dengan latar belakang tersebut, maka lahirnya konsep pemasyarakatan atau reintegrasi sosial.

Seperti yang dituangkan pada pasal 1 UU No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, yang menegaskan bahwa “Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.”

Pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana disebuah Lembaga Pemasyaraka tan bertujuan untuk membentuk sikap mental narapidana agar menyadari kesalahannya, tidak melakukan  pengulangan terhadap tindak pidana lagi, memperbaiki diri agar lebih baik lagi, dan menjadi manusia yang berbudi luhur serta memperbaiki hubungan dengan Tuhannya. Pelaksanaan program pembinaan membutuhkan keterpaduan antar narapidana, petugas pemasyarakatan sebagai pembina, ataupun masyarakat yang nantinya akan menerima kembali narapidana ditengah-tengah mereka.

Lembaga Pemasyarakatan merupakan sistem paling akhir dalam sistem peradilan pidana yang memiliki fungsi utama sebagai tempat pelaksanaan pidana atau eksekusi bagi narapidana berupa hukuman penjara atau kurungan atas dasar vonis dari hakim. Lembaga pemasyarakatan memiliki tujuan untuk mewujudkan sistem peradilan pidana yang baik dan sesuai dengan yang diharapkan, antara lain:

Tujuan jangka pendek, sistem peradilan pidana dapat merehabilitasi, mengintegrasikan, dan memperbaiki sikap pelaku tindak pidana. Tujuan jangka menengah, fungsi peradilan hukum pidana dan fungsi khusus hukum pidana ialah untuk menciptakan ketertiban, ketentraman, serta mengendalikan kejahatan sampai titik yang terendah.

Tujuan jangka panjang, suatu sistem peradilan pidana memiliki tujuan untuk menciptakan kesejahteraan sosial.

Dr. Sahardjo, S.H., berpendapat bahwa penghukuman bukan hanya untuk memberikan perlindungan terhadap masyarakat, namun harus berusaha untuk membina pelanggar hukum. Dan pelanggar hukum bukan lagi disebut sebagai “penjahat”, melainkan pelanggar hukum adalah orang yang ”tersesat”. Seseorang yang tersesat pasti dapat bertaubat, dan harapannya dapat mengambil manfaat sebesar-besarnya dari proses pembinaan yang ia jalani.

Ada banyak hal yang mampu merusak citra sistem pemasyarakatan, salah satunya adalah adanya residivis. Residivisme merupakan suatu pengulangan tindak pidana oleh seseorang yang sama, dengan tindak pidana yang ia lakukan sebelumnya sudah dijatuhi pidana, memiliki kekuatan hukum tetap, dan pengulangan terjadinya tindak pidana pada jangka waktu tertentu. Residivis dapat terjadi karena adanya beberapa faktor penyebab, antara lain:

Penolakan masyarakat terhadap mantan narapidana dikarenakan stigma negative yang diberikan oleh masyarakat. Masyarakat tetap menganggap mantan narapidana adalah seorang penjahat meskipun sudah menjalani masa pidananya.

Mantan narapidana kembali pada lingkungan yang mau menerimanya, yaitu lingkungan kriminalnya.

Permasalahan ekonomi, seorang mantan narapidana sulit mendapatkan pekerjaan karena terjadi penolakan dimana-mana.

Bagaimana cara mengetahui seorang pelaku tindak pidana adalah residivis? Pertanyaan itu masih menjadi dilema dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Hal ini dikarenakan sistem database perkara di Kepolisian, Kejaksaan maupun Pengadilan masih terpisah-pisah dan belum terkoneksi satu sama lain, sehingga menyulitkan saat dilakukan pelacakan terhadap seseorang yang diduga residivis. Oleh karenanya, kecenderungan untuk mengetahui hal tersebut hanya berdasarkan pada fakta ataupun bukti yang ditemukan selama pemeriksaan perkara, baik berupa keterangan saksi-saksi maupun keterangan dari si terdakwa (pelaku).

Ketika berbicara tentang residivis, maka presepsi yang muncul pertama kali adalah seseorang yang melakukan pengulangan tindak pidana, mereka juga disebut penjahat. Penanganan tindak pidana seharusnya tidak hanya berfokus pada tindakan penghukuman terhadap pelaku. Sanksi pidana harus dijadikan sebagai suatu dasar perlakuan untuk merehabilitasi perilaku pelanggar hukum.

Namun, yang terjadi justru sebalikya. Pada beberapa kasus, sanksi pidana belum mampu memberi efek jera terhadap pelanggar hukum, seseorang justru berubah menjadi lebih jahat setelah menjalani pidana di penjara.

Misalnya, seorang pelaku tindak pidana perampokan yang sudah dijatuhi putusan dan sudah menjalani masa pidananya di Lembaga Pemasyarakatan akan kembali hidup didalam masyarakat, namun orang tersebut kembali melakukan tindak pidana perampokan, dan jika diberikan sanksi pidana kembali maka masa pidanya dapat diperberat. Pemberatan pidana tersebut merupakan sebagai pembalasan atas apa yang dilakukan residivis tersebut. Meskipun demikian, pemberian pidana dan pelaksanaan sanksi pidana khususnya pemberatan hukuman, suatu sanksi pidana tidak boleh terpaku pada satu hal saja. Titik berat tujuan pemidanaan dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ditekankan pada upaya perlindungan terhadap masyarakat dari bahaya yang ditimbulkan oleh pelaku tindak pidana dengan adanya program reintergrasi sosial terhadap pelaku tersebut.

Salah satu upaya preventif dan represif terhadap tindak kejahatan menggunakan hukum pidana, yaitu dengan penjatuhan sanksi pidana. Tujuan dari hukum pidana antara lain:

Mengintimidasi orang agar tidak melakukan kejahatan, atau menakut-nakuti orang banyak, atau menakut-nakuti orang tertentu yang telah melakukan kejahatan, agar tidak melakukan kejahatan di kemudian hari, atau

Mendidik atau meningkatkan mereka yang menyatakan kesediaannya untuk melakukan kejahatan untuk menjadi orang yang lebih baik dan bermanfaat bagi masyarakat.

 Residivis terjadi pada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi sanksi pidana oleh hakim dan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde), kemudian ia kembali melakukan tindak pidana yang sama atau dianggap sama oleh hukum. Hukum pidana Indonesia menganut sistem residivisme khusus, yang mengandung arti bahwa pemberatan sanksi pidana hanya diberikan untuk residivis jenis tindak pidana tertentu serta dilakukan dalam tenggang waktu tertentu. Pada Buku II, residivis dibagi menjadi residivis kejahatan kelompok sejenis dan residivis kejahatan kelompok jenis tertentu. Residivis kejahatan kelompok tertentu diatur dalam Pasal 486 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang tindak pidana pelanggaran harta benda dan tindak pidana pemalsuan surat serta tindak pidana penyalahgunaan jabatan.

Dasar pemberian suatu sanksi pidana didasarkan pada ancaman pidana pokok terhadap tindak pidana yang dilakukan, tetapi dapat ditambah 1/3 pidana penjara dari ancaman pidana pokok (adanya pemberatan sanksi pidana bagi residivis), berdasarkan barang bukti dalam persidangan yang menguatkan, serta dengan pertimbangan hal-hal yang memberatkan ataupun meringankan terdakwa, serta tuntutan yang diberikan oleh penuntut umum.

Ketika hakim menjatuhkan sanksi pidana, ia tidak menyebutkan tambahan sanksi pidana atau pemberatan sanksi pidana penjara sebesar 1/3 dari ancaman pidana pokok bagi residivis. Pada dasarnya, hakim langsung menjatuhkan putusan kepada terdakwa yang merupakan seorang residivis. Dalam proses pemberian putusan sanksi pidana, hakim wajib meyakini bahwa terdakwa telah melakukan suatu tindak pidana, dan menentukan apakah perbuatan tersebut bersalah berdasarkan alat bukti yang memadai. Hakim juga memiliki kebebasan untuk bertindak dan dapat menjatuhkan hukuman yang sesuai antara batas maksimal atau batas minimal. Kebebasan dalam artian pemberian kesempatan kepada hakim untuk mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan tindak pidana yang telah terjadi, serta keseriusan tindak pidana.

Akan tetapi, ada hal yang menjadikan perbedaan putusan itu berkaitan dengan pertimbangan hakim sebagai faktor pemberat, yaitu terdakwa yang notabennya seorang residivis. Tujuan dari hukum pidana itu sendiri adalah sebagai upaya preventif terhadap tindak pidana dan peninjauan kembali kembali tindak pidana dalam rangka memelihara kesejahteraan dan perlindungan terhadap masyarakat. Sanksi pidana merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan yang diberikan oleh hakim ketika menjatuhkan vonis terhadap seorang pelanggar hukum. Akan tetapi, ketika seorang pelanggar hukum melakukan atau mengulangi lagi kejahatannya, tujuan hukum pidana tersebut di atas tidak tercapai.

Asas dan falsafah residivisme adalah pemidanaan untuk kejahatan yang berulang, karena pemidanaan sebelumnya gagal mencegah/memperbaiki pelaku dan menyebabkan dia melakukan kejahatan lain. Sesuai dengan uraian sebelumnya mengenai pengertian residivisme, tujuan pemidanaan pelaku berupa pemidanaan tidak memberikan efek jera, sehingga residivisme delik disebut residivisme.

Hukum pidana pada prinsipnya dikenal bahwa “tidak ada kejahatan tanpa kesalahan” (“geen straf zonder schuld”, “keine strafe ohne schuld”, tidak ada hukuman tanpa kesalahan). Menurut prinsip ini, terdapat satu fakta penting yaitu bahwa seseorang tidak boleh dihukum jika tidak melakukan kesalahan, tetapi seseorang harus dihukum jika seseorang melakukan kejahatan. Pemberatan sanksi pidana dengan menambah sebesar 1/3 dari masa pidana atau waktu pemidanaannya dengan maksud untuk memperberat pidana yang telah ditentukan ketentuan tentang tindak pidana residivisme dalam UU didasarkan pada filosofi definisi, implementasi dari definisi hukum yang bertujuan untuk melindungi masyarakat. Secara teoritis pengaturan tindak pidana residivisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan didasarkan pada teori pemidanaan kompleks yang menyatakan bahwa tujuan dari pemidanaan atau penjatuhan sanksi pidana adalah untuk mempertahankan keduudukan hukum dalam masyarakat dan mengintegrasikan pelaku pelanggar hukum.

Sanksi pidana yang ringan bukan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan mereka (pelaku tindak pidana) melakukan tindak pidana lagi, karena hakim telah memberikan penilaian yang adil terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Hukuman yang dijatuhkan dianggap sebagai hukuman yang pantas dijatuhkan kepada si pelanggar. Pada kenyataannya faktor yang menyebabkan mereka melakukan pelanggaran ulang (residivisme) pada dasarnya adalah kembali kepada individu masing-masing, oleh karena itu bukan karena vonis hakim yang terlalu ringan untuk dikatakan bahwa seseorang telah melakukan pelanggaran berulang, tetapi semuanya berdiri tegak. tetap. Kembali ke semua orang yang sudah memiliki temperamen atau kepribadian yang buruk.

Residivis adalah seseorang yang pernah menjalani masa pidana kemudian ia kembali melakukan tindak pidana yang sama, dengan tindak pidana yang ia lakukan sebelumnya sudah dijatuhi pidana dan memiliki kekuatan hukum tetap, serta pengulangan terjadinya tindak pidana pada jangka waktu tertentu. Dasar penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana residivisme diatur dalam Bab XXXI pasal 486, pasal 487, dan pasal 488 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP yang mengatur mengenai sanksi pidana terhadap pelaku pengulangan kejahatan dengan pemberatan sanksi pidana sebesar 1/3 dari ancaman sanksi pidana maksimalnya. Dalam menjatuhkan sanksi pidana atau vonis terhadap pelaku tindak pidana, hakim harus mempertimbangkan fakta-fakta, alat bukti, barang bukti, maupun saksi-saksi yang ada didalam persidangan. Terlebih lagi terhadap tindak pidana residivisme yang dapat diberikan pemberatan sanksi pidananya. Jika hakim telah mengetahui bahwa pelaku tindak pidana tersebut adalah seorang residivis, maka hakim harus memperhatikan apakah tindak pidana yang dilakukan adalah tindak pidana yang sama atau tindak pidana yang berbeda sebagai pertimbangan dalam penjatuhan sanksi pidana nantinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun