Mohon tunggu...
Jari Bicara
Jari Bicara Mohon Tunggu... Jurnalis - Salam literasi!

Channel ini beragam isinya, karena yang punya penghayal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Salang-Simpang

13 April 2024   21:07 Diperbarui: 21 April 2024   17:16 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: https://images.app.goo.gl/u8E4JSFrXvn92qvy9 

Suasana yang baru, semua tampak asing pada awalnya. Kota ini, tempatnya para pelajar sepertiku mencari pengajaran. Masih hangat kesan pertama saat aku baru masuk kampus yang sudah lama aku impikan ini. Semuanya terasa begitu indah, mungkin karena aku belum dihantui tugas-tugas dan proyek yang berpotensi membuat stres seperti orang bilang tentang jurusanku ini. Di sini aku mencoba hidup sehemat mungkin, hingga ke kampus pun harus berjalan kaki. Yah cukup susah mengandalkan dari beasiswa untuk hidup di kota besar seperti ini. Jarak dari kos ke kampus pun tidak begitu jauh bagiku, hanya satu kilo, hitung-hitung sekalian olahraga hehe.

Sudah satu minggu aku tinggal di kota ini, aku sudah hafal dengan jalanan yang biasa aku lewati, suasananya, maupun orang-orang yang ada di sekeliling. Jalan trotoar yang sudah mulai retak dan pepohonan yang tak tampak akar karena dicor, selalu aku lewati selama satu minggu ini. Aku selalu memperhatikan sekeliling, berbagai orang dengan aktivitas setiap harinya, dan berbagai toko yang berjejer di pinggir jalan. Dan aku mendapati bahwa setiap hari aku selalu berpapasan dengan satu orang yang sama. Seorang pria berperawakan tinggi, bertopi, dan selalu menggendong tas yang entah ada isinya atau tidak, karena menurut yang aku lihat tas itu seperti tak berisi.

Suatu pagi yang cerah, kira-kira waktu itu pukul delapan. Kebetulan saat ini aku sedang libur, jadi aku memutuskan untuk pergi berjalan-jalan sebentar, menikmati  suasana ramai perkotaan yang tidak aku dapatkan di desa. Aku berjalan melewati trotoar itu yang malah tampak lebih ramai dari biasanya. Banyak pedagang makanan berjejer di samping yang langsung dihinggapi oleh beberapa orang. Aku pun mencoba mencari minum untuk menghilangkan dahaga setelah berkeliling.

Aku duduk di tengah bangku taman yang muat untuk tiga orang sembari menikmati minuman yang baru kubeli. Melihat sekeliling, hingga pandanganku tertuju pada seseorang yang biasa berpapasan denganku, ia sedang berjalan mendekat. Pakaiannya seperti biasanya yang terkesan misterius.

"Boleh saya duduk ikut mas?" tanyanya dengan ramah.

"Silakan," ucapku sembari menggeser pantatku ke tepi kursi. Orang itu duduk agak tengah bagian kursi. "Masnya libur begini masih kerja ya?" lanjutku.

Baca juga: Hitam Pekat

"Iya mas, justru kalo libur malah kerjaan saya banyak," lalu ia melanjutkan. "Oh ya, saya kayak sering lihat masnya, tapi dimana ya?" tanyanya seakan mencoba akrab.

"Mungkin pas saya berangkat kuliah mas, saya juga ngerasa enggak asing sama masnya," jawabku membenarkan orang sok akrab ini.

"Owalah.... masnya kuliah toh, sudah semester berapa mas?" ia terus bertanya seperti mewawancaraiku saja.

"Baru seminggu mas, maba hehe," jawabku yang mulai keasikan dengan orang ini.

"Wah, iya mas. Belajar yang rajin, kuliahnya yang benar. Kehidupan keras mas."

"Siap," ia menjadi teman bicara yang boleh juga ternyata. Lanjutku, "kalo boleh tahu masnya kerjanya apa ya? Kok libur begini masih kerja."

"Waduh, rahasia ini mas. Saya enggak bisa bilang begitu saja ke orang lain tentang pekerjaan saya."

Hmm.... rahasia? Aku berpikir dalam hati, 'barangkali orang ini intel atau seorang agen FBI?' dari pakaiannya saja selalu tampak misterius, apalagi tasnya itu sudah jelas penyamaran. Rasa penasaranku semakin bertambah, lalu aku bertanya, "kerjanya ngapain saja ya mas? Bolehlah kalau saya ikut, hitung-hitung buat tambah uang saku sama ngisi waktu libur begini."

"Kerja saya berisiko tinggi mas, kurang cocok buat mahasiswa baru kayak masnya. Juga perlu dedikasi tinggi, tuh...." ia menunjuk seseorang di emperan toko lalu melambaikan tangannya. "Teman saya satu kerjaan mas."

Aku menengok ke arah yang ditunjuk orang ini.

"Tapi kok sepertinya tidak kenal masnya begitu ya?" tanyaku keheranan karena orang di emperan toko itu bersikap tak acuh saat dilambaikan tadi.

"Nak kan, kayak yang saya bilang tadi. Perlu dedikasi tinggi, dia lagi penyamaran mas jadi harus pura-pura enggak kenal," ucapnya sembari terkekeh.

'Fiks intel nih orang,' ucapku dalam hati.

Belum sempat aku bicara, ia berdiri lalu membenarkan tasnya yang tampak tak berisi itu.

"Saya pamit dulu ya mas," katanya.

"Terima kasih."

Aku mengangguk. Ia pun perlahan hilang dari pandangan. Tapi muncul sedikit pertanyaan di benakku. Mengapa ia berterima kasih padaku, toh aku hanya berbagi kursi taman padanya sambil berbincang sebentar. Lalu aku merogoh kantong celanaku hendak mengambil ponsel. Loh, HILANG!!! Dompet? Hilang juga!!! Sial ternyata orang itu copet.
****

Ia memang penuh dedikasi, yang dikatakannya tadi juga benar bahwa kehidupan di kota besar ini keras. Contohnya baru saja kualami, orang yang aku kira seorang agen mata-mata atau intel ternyata tak lebih dari seorang tukang curi. Baru lengah sebentar, dompet dan ponsel hilang. 

Aku meminum sisa-sisa minumanku, lalu membuangnya di tempat sampah dekat pohon. Rasanya seperti sudah pasrah saja dengan keadaan. Tidak ada yang bisa aku hubungi lagi, dan kartu identitas, ATM, semuanya di dompet. Hidup.... oh hidup.

Di tengah kepasrahan yang melanda diriku aku mencoba mengambil amanat dari kejadian barusan, pikiranku terbawa pada falsafah Jawa yang berbunyi. "Narimo ing pandum". Tapi setelah aku pikir-pikir pasrah sekali manusia jika hanya menerima semua yang terjadi padanya begitu saja. Kemudian ada semacam bantahan dari isi kepalaku sendiri. Kan katanya, perlu usaha untuk mencapai sesuatu dan katanya juga usaha tidak akan menghianati hasil, palingan nanti hasil yang menghianati usaha.... hehe.

Pikiranku malah semakin menyebar entah ke mana. Aku teringat pada perkataan "manusia hanya bermain peran di dunia ini". Berarti sang copet tadi tidak salah dong, malahan mungkin benar karena memainkan peranannya secara totalitas.

Hmm.... hingga akhirnya pikiranku saat sudah menjelang siang itu bermuara pada kata-kata. "Setiap perjalanan pasti akan memberikan pelajaran". Yah, aku rasa kau pun juga setuju demikian pembaca. Menurutku juga pembacaku sudah jauh lebih pintar untuk memahami apa yang coba aku sampaikan dari sepotong kisah fiktif ini. Lagi pula sebagai gen z rasanya terlalu berat jika aku harus dibebankan dengan amanat serta pesan moral. Karena menurutku menulis adalah tentang menyajikan sebuah konsep ide, dimana membebaskan pembacanya menyelami setiap kata yang ada; serta mengambil makna melalui penafsirannya sendiri atas apa yang dibacanya.
****

Sejenak aku keluar dari lamunanku. Rasanya seperti tertendang dari suatu ruangan lalu tersadar. Mataku melotot, mulutku menganga, kemudian aku melihat ke langit seraya berkata "lengkap sudah hari ini".

Pintu kosku ternyata lupa aku kunci tadi! Segera aku berlari sekencang mungkin menembus keramaian yang sudah mulai semakin ramai. Melewati jalanan biasanya, trotoar itu, pepohonan yang tak tampak akar itu, semua aku lewati dengan kencang.

Sampai depan kos, pintu sudah terbuka dengan kunci yang masih menggantung. Aku menerjang masuk, kubuka laci meja. Sial, laptopku hilang!!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun