"Terima kasih."
Aku mengangguk. Ia pun perlahan hilang dari pandangan. Tapi muncul sedikit pertanyaan di benakku. Mengapa ia berterima kasih padaku, toh aku hanya berbagi kursi taman padanya sambil berbincang sebentar. Lalu aku merogoh kantong celanaku hendak mengambil ponsel. Loh, HILANG!!! Dompet? Hilang juga!!! Sial ternyata orang itu copet.
****
Ia memang penuh dedikasi, yang dikatakannya tadi juga benar bahwa kehidupan di kota besar ini keras. Contohnya baru saja kualami, orang yang aku kira seorang agen mata-mata atau intel ternyata tak lebih dari seorang tukang curi. Baru lengah sebentar, dompet dan ponsel hilang.Â
Aku meminum sisa-sisa minumanku, lalu membuangnya di tempat sampah dekat pohon. Rasanya seperti sudah pasrah saja dengan keadaan. Tidak ada yang bisa aku hubungi lagi, dan kartu identitas, ATM, semuanya di dompet. Hidup.... oh hidup.
Di tengah kepasrahan yang melanda diriku aku mencoba mengambil amanat dari kejadian barusan, pikiranku terbawa pada falsafah Jawa yang berbunyi. "Narimo ing pandum". Tapi setelah aku pikir-pikir pasrah sekali manusia jika hanya menerima semua yang terjadi padanya begitu saja. Kemudian ada semacam bantahan dari isi kepalaku sendiri. Kan katanya, perlu usaha untuk mencapai sesuatu dan katanya juga usaha tidak akan menghianati hasil, palingan nanti hasil yang menghianati usaha.... hehe.
Pikiranku malah semakin menyebar entah ke mana. Aku teringat pada perkataan "manusia hanya bermain peran di dunia ini". Berarti sang copet tadi tidak salah dong, malahan mungkin benar karena memainkan peranannya secara totalitas.
Hmm.... hingga akhirnya pikiranku saat sudah menjelang siang itu bermuara pada kata-kata. "Setiap perjalanan pasti akan memberikan pelajaran". Yah, aku rasa kau pun juga setuju demikian pembaca. Menurutku juga pembacaku sudah jauh lebih pintar untuk memahami apa yang coba aku sampaikan dari sepotong kisah fiktif ini. Lagi pula sebagai gen z rasanya terlalu berat jika aku harus dibebankan dengan amanat serta pesan moral. Karena menurutku menulis adalah tentang menyajikan sebuah konsep ide, dimana membebaskan pembacanya menyelami setiap kata yang ada; serta mengambil makna melalui penafsirannya sendiri atas apa yang dibacanya.
****
Sejenak aku keluar dari lamunanku. Rasanya seperti tertendang dari suatu ruangan lalu tersadar. Mataku melotot, mulutku menganga, kemudian aku melihat ke langit seraya berkata "lengkap sudah hari ini".
Pintu kosku ternyata lupa aku kunci tadi! Segera aku berlari sekencang mungkin menembus keramaian yang sudah mulai semakin ramai. Melewati jalanan biasanya, trotoar itu, pepohonan yang tak tampak akar itu, semua aku lewati dengan kencang.
Sampai depan kos, pintu sudah terbuka dengan kunci yang masih menggantung. Aku menerjang masuk, kubuka laci meja. Sial, laptopku hilang!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H