Mohon tunggu...
Rio Alfasyah
Rio Alfasyah Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Secercah Cahaya Baru

12 Mei 2019   01:07 Diperbarui: 12 Mei 2019   01:53 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Cahaya merupakan salah satu sumber untuk melihat dan mata adalah media untuk menangkap cahaya tersebut agar otak bisa memproses apa yang telah ditangkap oleh mata. Namun, ada sebuah komponen dari mata yang paling penting terletak pada permukaan mata paling depan, yaitu kornea.  Kornea merupakan organ terpenting bagi mata karena kornea yang meneruskan cahaya masuk ke dalam mata.

Apa yang terjadi jika kornea mata rusak? Pada tingkat kerusakan kornea mata yang parah, bisa menyebabkan penglihatan buta secara total. Jika hal ini terjadi, kornea mata yang rusak harus dilakukan pembedahan luar biasa, yaitu pembedahan transplantasi kornea atau cangkok kornea. Jadi, persepsi selama ini yang menganggap transplantasi mata itu sebenarnya adalah tranplantasi kornea

Tranplantasi kornea merupakan sebuah pembedahan  penanaman kornea mata orang lain untuk ditanamkan ke mata penderita yang mana korneanya mengalami kerusakan dan harus diganti dengan kornea orang lain.  Saya pernah mengalami hal tersebut, kornea mata saya harus diganti karena kornea mata saya semakin tipis dan mengalami pengikisan.

Kornea mata yang mengalami penipisan menyebabkan penglihatan saya menjadi buram dan hampir tidak bisa melihat lagi. Kornea mata saya yang diganti hanya mata kanan, karena kornea mata sebelah kiri masih bisa dibantu dengan memasang sebuah benda mirip cincin pada kornea mata sebelah kiri, tujuannya agar kornea dapat bertahan dan tidak mengalami pengikisan lagi.

Saya mengalami penyakit kornea mata pada saat awal masuk SMA, yaitu pada tahun 2015. Pada saat itu, penglihatan saya menjadi buram dan kesulitan dalam melihat. Pada awalnya, saya memeriksakan kondisi mata saya di salah satu rumah sakit Pekanbaru. Dokter mendiagnosa bahwa kornea mata saya mengalami penyakit keratokonus atau pengikisan kornea.

Dokter mengatakan bahwa hal ini disebabkan karena penyakit bawaan lahir dan baru terdeteksi pada saat itu. Saat itu, Dokter menyarankan agar segera dirujuk ke rumah sakit mata yang ada di Jakarta. Namun, orang tua saya tidak menyutujui hal itu karena di Jakarta tidak ada saudara. Kemudian, kami mengusulkan untuk dirujuk ke rumah sakit yang ada di Malaysia karena paman saya tinggal di Malaysia. Akhirnya dokter mengizinkan dan pada tanggal 3 November 2015, saya dan keluarga berangkat menuju Malaysia.

Pada bulan November 2015, saya dan keluarga saya berangkat menuju rumah sakit mata di Selangor. Saat di rumah sakit, mata saya diperiksa oleh dokter ahli di bidang kornea mata. Dokter itu mengatakan hal yang sama dengan dokter di Pekanbaru bahwa kornea mata kanan saya telah rusak parah dan harus diganti dengan kornea mata orang lain, sedangkan kornea mata kiri saya masih bisa ditolong dengan bantuan alat seperti cincin yang ditanamkan pada mata. Namun, tindakan yang harus dilakukan terlebih dahulu yaitu operasi tranplantasi kornea.

Kemudian, kami pergi ke bagian kornea untuk merundingkan persoalan biaya dan kornea pendonor. Petugas rumah sakit bagian kornea menawarkan dua pilihan pendonor kornea, yaitu kornea orang Amerika Serikat atau kornea orang Srilanka . Keluarga saya memilih kornea orang Srilanka. Lalu, saya dimasukkan ke dalam daftar tunggu penerima kornea untuk menunggu ketersediaan kornea dari bank mata. Proses tunggu tersebut berlangsung selama sembilan hari.

Setelah Sembilan hari, akhirnya dokter melakukan pembedahan luar biasa terhadap mata kanan saya, sebelum pembedahan itu dilakukan, saya diharuskan puasa selama 1 malam agar ketika sadar setelah pembedahan saya tidak muntah. Pembedahan segera dimulai, kemudian saya dibius secara total, pembedahan itu berlangsung selama 6 jam. Setelah sadar, saya dipindahkan ke ruang perawatan.

Saya mulai istirahat dengan kondisi mata kanan yang dibalut dengan perban. Keesokkan harinya, perban tersebut dibuka dan dokter memeriksa kondisi mata saya setelah dilakukan pembedahan. Kemudian, saya diminta untuk melihat tulisan yang ada di layar, tetapi saya belum bisa melihat tulisan tersebut sepenuhnya dan mata saya masih terasa perih.

Setelah tiga hari, saya sudah diperbolehkan untuk pulang, tetapi saya pulang ke rumah paman karena minggu depan mata saya harus diperiksa kembali oleh dokter. Dokter melarang saya untuk melakukan aktivitas-aktivitas seperti, mata tidak boleh terkena cahaya matahari, berenang, menggosok mata, mata harus benar-benar dijaga dan obat secara rutin digunakan, baik obat makan maupun obat tetes mata.

Pada minggu berikutnya, kornea mata saya kembali diperiksa. Dokter mengatakan bahwa kondisi mata saya semakin membaik sehingga saya sudah diperbolehkan pulang ke Pekanbaru. Kemudian saya diperintahkan untuk datang setiap bulannya ke Malaysia untuk memeriksakan perkembangan mata kanan saya setelah dioperasi. Setelah tiba di Pekanbaru, saya dianjurkan dokter untuk izin sekolah selama satu bulan.

Setelah satu bulan, saya kembali bersekolah. Namun, ternyata teman-teman saya telah melaksanakan ujian selama dua hari dan saya telah ketinggalan empat buah mata pelajaran yang diujiankan. 

aya sangat sedih ketika penerimaan rapor semester ganjil, saya memperoleh peringkat 33 dari 34 orang siswa dan harus mengulang tujuh buah mata pelajaran pada semester berikutnya. Pada semester berikutnya, saya menyelesaikan remedial mata pelajaran dan mengejar ketertinggalan selama saya izin karena sakit. Alhasil, saya bisa mencapai peringkat 14 dari 34 siswa pada semester genap dan saya berhak naik ke kelas 11.

Pada awal tahun ajaran baru, tepatnya bulan Agustus 2016, saya kembali menjalani pengobatan untuk mata kiri. Kornea mata kiri saya masih dipertahankan tetapi harus dipasangkan sebuah benda berbentuk cincin pada kornea mata kiri saya. Benda ini harus dipesan terlebih dahulu di negara brasil. Waktu itu, pihak rumah sakit telah memesan benda itu sesuai dengan ukuran kornea mata saya, yaitu enam minggu sebelum benda itu dipasangkan ke dalam mata saya.

Pemasangan benda tersebut sebenarnya bukanlah sebuah pembedahan, tetapi hanya sebuah teknik pengobatan mata. sewaktu pengobatan dilakukan, mata kanan saya ditutup, dan mata kiri saya dibuka dengan lebar menggunakan alat. Lalu, mata kiri saya dibius dengan cara disuntik, artinya saya tidak dibius secara total.

Sebelum dipasangkan benda ke dalam mata saya, mata kiri saya ditembaki laser hijau selama beberapa menit. Laser ini berfungsi untuk meratakan permukaan kornea sehingga bisa dipasangi benda yang berbentuk cincin tersebut. Setelah dilaser, mata kiri saya mulai dipasangkan benda tersebut. Saya melihat dokter memasangkan benda tersebut ke dalam mata saya, saya tidak merasakan apapun.

Setelah pengobatan itu selesai, saya dipindahkan ke dalam ruangan perawatan. Saya hanya dirawat selama satu hari disana. Setelah itu, saya diperbolehkan pulang ke rumah paman saya di Malaysia karena minggu depan mata saya harus diperiksa kembali perkembangannya. Dokter berpesan mata kiri saya tidak boleh tergosok agar benda yang dimasukkan tersebut tidak bergeser.

Saat mata kiri saya diperiksa kembali oleh dokter, ternyata hasilnya jauh dari harapan. Benda yang dipasangkan ke dalam mata kiri saya tersebut posisinya tidak tepat atau telah tergeser, saya tidak tahu penyebabnya apa, dokter menuduh saya telah menggosok mata kiri saya tersebut, entah itu sewaktu tidur ata sedang beraktifitas. 

Dokter mengatakan bahwa pengobatan ini telah gagal dan benda yang posisinya tidak tepat di dalam mata kiri saya harus dikeluarkan lagi dari mata saya melalui pembedahan. sayangnya, untuk biaya pembedahan ditanggung oleh pasien.

Keesokan harinya, mata kiri saya dibedah untuk mengeluarkan benda tersebut, prosedurnya sama seperti tranplantasi kornea, saya dibius secara total. Hanya saja, proses pembedahannya tidak berlangsung lama yaitu sekitar 4 jam. Saya kembali dirawat di ruang perawatan. Di ruang perawatan saya melihat mata kiri saya mengeluarkan darah dan saya merasakan sakit pada mata kiri saya.

Sampai keesokkan harinya, saya telah diperbolehkan pulang dalam kondisi mata yang masih terdapat luka setelah pembedahan. Beberapa hari kemudian, mata saya kembali diperiksa oleh dokter. Dokter kembali menganjurkan pemasangan ulang benda yang berbentuk cincin tersebut, kemudian nama saya dimasukkan kembali ke dalam daftar tunggu untuk menunggu benda tersebut dari brasil dengan waktu tunggu selama enam minggu. Kemudian, saya pilang ke Pekanbaru untuk kembali bersekolah.

Bulan Oktober 2016, saya kembali ke Malaysia untuk menjalani pengobatan ulang, pengobatan ini sama dengan pengobatan sebelumnya yang telah gagal itu. Hanya saja, pengobatan kali ini tidak perlu rawat inap di rumah sakit dan langsung diperbolehkan pulang. Ketika di rumah paman, saya langsung istirahat tanpa melakukan aktivitas apapun karena khawatir kejadian yang sama terulang lagi. Alhamdulillah, pada saat pemeriksaan berikutnya, mata kiri saya baik-baik saja dan saya diperbolehkan untuk pulang ke Pekanbaru.

Saya kembali bersekolah walaupun ketinggalan banyak pelajaran, semester ganjil di kelas 11 saya hanya mengulang empat buah mata pelajaran dengan peringkat 21 dari 34 orang siswa. Walaupun demikian, pada semester berikutnya, saya harus menyelesaikan remedial mata pelajaran.

Saya juga tetap melakukan pemeriksaan mata di Malaysia. Sewaktu pembagian rapor semester genap, saya memperoleh peringkat ke-4 dari 34 orang siswa, hasil ini membuat saya bersyukur walaupun terkendala dengan penglihatan yang masih belum jelas dalam melihat.

Pada awal kelas 12, ketika saya kembali memeriksakan kondisi mata saya di Malaysia, dokter mengatakan bahwa kondisi kedua mata saya mulai membaik. Kemudian dokter mencabut benang jahitan kornea yang masih tertanam pada mata kanan saya, yaitu pada mata yang dilakukan transplantasi kornea. Dokter memutuskan benang itu dengan menggunakan alat khusus, saya melihat benang itu begitu halus dan bening.

Sampai saat ini, kondisi mata saya semakin membaik wlaupun penglihatan belum maksimal dalam melihat karena kondisi ini membutuhkan waktu yang lama untuk melihat kembali secara normal. Tetapi saya tetap bersyukur kepada Allah karena telah melancarkan pengobatan saya dan memberikan saya harapan untuk bisa melihat kembali.

Saya mengucapkan terimakasih banyak kepada orang tua dan keluarga saya yang telah banyak mengorbankan uang, waktu dan tenaga supaya saya bisa sembuh dan bisa melihat kembali. Saat ini, saya kembali menata kehidupan agar menjadi lebih baik lagi di tengah keterbatasan dalam melihat.

Saya adalah seorang mahasiswa Sosiologi Universitas Riau. Saya berharap bahwa secercah cahaya baru itu akan muncul ke dalam kehidupan saya suatu hari nanti. Saya selalu berdoa kepada Allah agar saya bisa melihat kembali dengan normal, walaupun membutuhkan waktu yang lama.

Saya hanya ingin menyampaikan sesuatu hal bahwa kita tidak sendiri, ada banyak orang di belakang kita yang membantu kita dalam senang maupun susah, terutama kedua orang tua kita. Jadi, untuk para pembaca, raihlah impianmu walaupun dirimu sedang mengalami kesulitan. Jadikanlah keterbatasan itu sebagai kelebihan kita untuk menatap masa depan yang lebih baik. Terimakasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun