Di tengah situasi politik yang minus etika kepemimpinan dalam urusan publik, rasa-rasanya kita sungguh-sungguh kehilangan sosok gembala moral. Tentu saja ini bukan berarti para pemimpin kita tidak bermoral, sebaliknya momen berpulangnya Bapa Uskup Sensi ini harus menjadi kesempatan untuk kembali merenungkan apa-apa yang perlu kita benahi.
Tentu saja orang bisa berbeda pandangan dengan seruan moral-politik Bapa Uskup Sensi, tetapi itulah tugas kegembalaan yang diemban oleh beliau untuk senantiasa mewartakan firman baik atau tidak baik waktunya, menegor dan memberi nasihat kepada para dombanya.
Kata Romo John Podhi ketika kami ngobrol sesaat setelah jenazah Bapa Uskup Sensi tiba di Katedral Jakarta: "Bapa Uskup mmempunyai visi jauh ke depan untuk umat dan itu memang sulit dipahami oleh mereka yang terbatas jarak pandang."
Satu keteladanan yang bisa menjadi pegangan kita selama sede vacante (kekosongan tahta) di Keuskupan Agung Ende adalah keteladanan kasih yang selalu Bapa Uskup Sensi gelorakan selama hidupnya. Pemimpin adalah manifestasi kasih yang memihak kepada manusia terutama mereka yang paling miskin dan terpinggirkan.
Kepemimpinan politik tanpa kasih hanyalah jalan ninja untuk memperkaya diri dan mempertahankan kekuasaan secara membabi buta. Kepemimpinan spiritual tanpa kasih yang memancarkan peristiwa Yesus adalah bentuk lain dari narsisme yang egois.
Bapa Uskup Sensi telah memperlihatkan keteladanan kasih. Banyak orang mengantar kepergian beliau mulai dari Jakarta, Kupang, dan lautan manusia menyambutnya di tanah kelahirannya di Ende. Inilah ekspresi cinta orang-orang yang dikasihi.
"Jika cinta datang dari kedalaman jiwa, maka orang tuli pun dapat mendengarkan."
Selamat jalan kekasih kami, Yang Mulia Bapa Uskup Keuskupan Agung Ende Mgr. Vincentius Sensi Potokota
Penulis adalah Pengurus Pusat PMKRI 2018-2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H