Mohon tunggu...
Rinto Namang
Rinto Namang Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menyukai rujak dan gado-gado

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Praedica Verbum Opportune Importune

23 November 2023   20:13 Diperbarui: 23 November 2023   20:17 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagaimana dikisahkan oleh seorang ponakan beliau, Gusti Poto, yang hadir ketika Bapa Uskup menghembuskan nafas terakhir: "Bapa tua masih mendaraskan do'a Angelus pukul 18.00 WIB bersama kami, tangannya masih menggenggam Rosario." 21 menit kemudian, pukul 18.21 WIB tanggal 19 November 2023, Bapa Uskup Sensi menyatu dengan keabadian.

Sekalipun dalam penderitaan yang teramat sangat ini, Bapa Uskup Sensi sama sekali tidak memperlihatkan raut wajah penderitaan dan bersungut-sungut. Ia melewati semua penderitaan dengan penuh iman sebagaimana Rasul Paulus yang memandang penderitaan sebagai penggenapan kemuliaan di dalam Kristus. 

Bagi Bapa Uskup Sensi sakit dan mati adalah bagian tak terpisahkan dari pengalaman pewartaan iman. Maka, "wafat", meminjam istilah Kardinal Suharyo, "adalah berpulang bukan meninggal."

Berpulang sebagai gerak aktif kesadaran manusia akan sangkan-paraning dumadi yakni Allah sumber dari mana kita berasal dan ke mana kita menuju. Kesadaran ini membuat Bapa Uskup Sensi menghadapi saudari kematian dengan suka cita dan damai; kerinduan kawula untuk manunggal dengan Gusti secara total dalam keabadian. 

Berpulang adalah kesempatan yang baik untuk "menatap wajah Allah secara langsung", Allah yang Kerahiman-Nya diwartakan oleh Bapa Uskup Sensi selama hidupnya. Maka, penderitaan sakit dan wafat tidak menjadi halangan untuk takut justru sebaliknya--mengutip pemikiran filosof Jerman Friedrich Nietzsche--membuat seseorang semakin mendalam dalam melihat kehidupan, bagaikan dilahirkan kembali dengan kulit baru yang lebih peka. 

.... 

Saya kagum pada sosok Bapa Uskup Sensi. Ia pribadi yang kharismatik, penuh wibawa sebagai seorang Gembala. Saya suka cara beliau menyampaikan homili. Homilinya bernas penuh wibawa karena selalu merujuk pada Sabda Yesus dalam Injil sebagai sumber otoritatif; dan tajam tetapi tanpa menyakiti rasa perasaan umatnya. 

Ketika mendengar homili Bapa Uskup Sensi, kita tidak sedang mendengar retorika seorang Uskup tetapi melihat dengan jernih wajah Yesus dalam keseluruhan isi homili tersebut. Homili adalah jalan pewartaan agar kita tiba pada Yesus bukan hal melucu atau ikhwal mempersoalkan tradisi dan ritus kelompok lain. 

Dengan rendah hati beliau katakan, "izinkan saya menawarkan satu-dua pemikiran...." Saya temukan gaya ini juga pada diri Kardinal Suharyo. Betapa rendah hati para Gembala kita ini padahal mereka adalah wakil Kristus di dunia ini. Ini suatu kesadaran bahwa Bapa Uskup juga adalah seorang manusia yang ada batas. 

Momen berpulangnya Bapa Uskup Sensi adalah suatu kehilangan besar bagi kita baik sebagai umat Keuskupan Agung Ende maupun sebagai bagian dari masyarakat kota/kabupaten Ende. 

Kita kehilangan sosok Gembala yang memberikan arahan dan tuntunan moral-spiritual sebagai koridor untuk melangkah tetapi juga ajaran-ajarannya menginspirasi dalam hal moral-politik yang bercorak Kristiani dan memihak kepada kemanusiaan terutama option for the poorest. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun