Mohon tunggu...
Rinto Namang
Rinto Namang Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menyukai rujak dan gado-gado

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Praedica Verbum Opportune Importune

23 November 2023   20:13 Diperbarui: 23 November 2023   20:17 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

( . ) 

Ketika mendengar kabar Bapa Uskup Sensi dirawat di RS Sint Carolus-Jakarta, saya berkesempatan untuk menjenguk beliau. Di ruang tunggu kami bertemu dengan Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Ende Romo Yoseph Daslan, kaka Alex Leda dan bung Angelo Wake Kako  serta bung Manto Ema. Nama terakhir ini khusus didatangkan dari Ende untuk menjaga Bapa Uskup Sensi selama dirawat di RS Sint Carolus. 

Dari balik kaca ruang ICU, Bapa Uskup terbaring, lemah, dan tampak sangat menderita, tetapi memancarkan ketenangan yang dalam. Ruang ICU sangat hening, tetapi ada genting yang timbul dari wajah para pembesuk. 

Dari pengakuan para suster dan perawat yang merawat Bapa Uskup Sensi, untuk jenis "penyakit serius" yang dideritai Bapa Uskup Sensi ini, beliau termasuk manusia langka yang bisa melewati situasi tersebut dengan sangat tenang. 

Rupanya, pengalaman senada juga diutarakan oleh Duta Besar Vatikan untuk Indonesia Uskup Agung Mgr. Piero Pioppo yang menjenguk Bapa Uskup Sensi hari kedua setelah beliau dirawat. Dalam pesan singkat Nuntius kepada Kardinal Suharyo, ia menulis: "Saya merasakan Mgr. Sensi sangat lemah dan banyak menderita tetapi wajahnya memancarkan aura kebahagiaan..."

Kebahagiaan dan ketenangan macam apa yang dialami oleh Bapa Uskup Sensi yang sedang sakit ini? Sulit dijelaskan, tetapi hanya mereka yang telah akrab dengan Tuhan yang bisa memandang kematian--seperti Santo Fransiskus dari Asissi--sebagai saudari! 

Tanggal 19 November 2023, saya kembali membesuk Bapa Uskup Sensi yang tidak lagi dirawat di ICU tetapi di ruangan Ignasius No 15, kali ini beliau telah "sembuh" selamanya dan dengan tenang berpulang kembali kepada Tuhan. 

Bersama dengan para suster, perawat, ponakan Bapa Uskup dan satu dua orang Ende yang hadir, kami mendaraskan Rosario. Wajah mendiang Bapa Uskup Sensi sangat damai dan tenang, sama sekali tidak menampakkan rasa sakit serius sebagaimana senyatanya. 

.... 

Bapa Uskup Sensi, sebagaimana motto tahbisan episkopalnya "Praedica Verbum Opportune Importune" (Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran; 2 Timotius 4:2), adalah pribadi yang walk the talk.

Ia adalah pribadi yang melaksanakan apa yang diucapkannya, lebih tepatnya apa yang Kristus kehendaki untuk dilaksanakan oleh sang Gembala kita ini. Hidupnya adalah karya pewartaan iman kepada para domba dalam segala situasi termasuk dalam keadaan sakit.

Sebagaimana dikisahkan oleh seorang ponakan beliau, Gusti Poto, yang hadir ketika Bapa Uskup menghembuskan nafas terakhir: "Bapa tua masih mendaraskan do'a Angelus pukul 18.00 WIB bersama kami, tangannya masih menggenggam Rosario." 21 menit kemudian, pukul 18.21 WIB tanggal 19 November 2023, Bapa Uskup Sensi menyatu dengan keabadian.

Sekalipun dalam penderitaan yang teramat sangat ini, Bapa Uskup Sensi sama sekali tidak memperlihatkan raut wajah penderitaan dan bersungut-sungut. Ia melewati semua penderitaan dengan penuh iman sebagaimana Rasul Paulus yang memandang penderitaan sebagai penggenapan kemuliaan di dalam Kristus. 

Bagi Bapa Uskup Sensi sakit dan mati adalah bagian tak terpisahkan dari pengalaman pewartaan iman. Maka, "wafat", meminjam istilah Kardinal Suharyo, "adalah berpulang bukan meninggal."

Berpulang sebagai gerak aktif kesadaran manusia akan sangkan-paraning dumadi yakni Allah sumber dari mana kita berasal dan ke mana kita menuju. Kesadaran ini membuat Bapa Uskup Sensi menghadapi saudari kematian dengan suka cita dan damai; kerinduan kawula untuk manunggal dengan Gusti secara total dalam keabadian. 

Berpulang adalah kesempatan yang baik untuk "menatap wajah Allah secara langsung", Allah yang Kerahiman-Nya diwartakan oleh Bapa Uskup Sensi selama hidupnya. Maka, penderitaan sakit dan wafat tidak menjadi halangan untuk takut justru sebaliknya--mengutip pemikiran filosof Jerman Friedrich Nietzsche--membuat seseorang semakin mendalam dalam melihat kehidupan, bagaikan dilahirkan kembali dengan kulit baru yang lebih peka. 

.... 

Saya kagum pada sosok Bapa Uskup Sensi. Ia pribadi yang kharismatik, penuh wibawa sebagai seorang Gembala. Saya suka cara beliau menyampaikan homili. Homilinya bernas penuh wibawa karena selalu merujuk pada Sabda Yesus dalam Injil sebagai sumber otoritatif; dan tajam tetapi tanpa menyakiti rasa perasaan umatnya. 

Ketika mendengar homili Bapa Uskup Sensi, kita tidak sedang mendengar retorika seorang Uskup tetapi melihat dengan jernih wajah Yesus dalam keseluruhan isi homili tersebut. Homili adalah jalan pewartaan agar kita tiba pada Yesus bukan hal melucu atau ikhwal mempersoalkan tradisi dan ritus kelompok lain. 

Dengan rendah hati beliau katakan, "izinkan saya menawarkan satu-dua pemikiran...." Saya temukan gaya ini juga pada diri Kardinal Suharyo. Betapa rendah hati para Gembala kita ini padahal mereka adalah wakil Kristus di dunia ini. Ini suatu kesadaran bahwa Bapa Uskup juga adalah seorang manusia yang ada batas. 

Momen berpulangnya Bapa Uskup Sensi adalah suatu kehilangan besar bagi kita baik sebagai umat Keuskupan Agung Ende maupun sebagai bagian dari masyarakat kota/kabupaten Ende. 

Kita kehilangan sosok Gembala yang memberikan arahan dan tuntunan moral-spiritual sebagai koridor untuk melangkah tetapi juga ajaran-ajarannya menginspirasi dalam hal moral-politik yang bercorak Kristiani dan memihak kepada kemanusiaan terutama option for the poorest. 

Di tengah situasi politik yang minus etika kepemimpinan dalam urusan publik, rasa-rasanya kita sungguh-sungguh kehilangan sosok gembala moral. Tentu saja ini bukan berarti para pemimpin kita tidak bermoral, sebaliknya momen berpulangnya Bapa Uskup Sensi ini harus menjadi kesempatan untuk kembali merenungkan apa-apa yang perlu kita benahi. 

Tentu saja orang bisa berbeda pandangan dengan seruan moral-politik Bapa Uskup Sensi, tetapi itulah tugas kegembalaan yang diemban oleh beliau untuk senantiasa mewartakan firman baik atau tidak baik waktunya, menegor dan memberi nasihat kepada para dombanya. 

Kata Romo John Podhi ketika kami ngobrol sesaat setelah jenazah Bapa Uskup Sensi tiba di Katedral Jakarta: "Bapa Uskup mmempunyai visi jauh ke depan untuk umat dan itu memang sulit dipahami oleh mereka yang terbatas jarak pandang." 

Satu keteladanan yang bisa menjadi pegangan kita selama sede vacante (kekosongan tahta) di Keuskupan Agung Ende adalah keteladanan kasih yang selalu Bapa Uskup Sensi gelorakan selama hidupnya. Pemimpin adalah manifestasi kasih  yang memihak kepada manusia terutama mereka yang paling miskin dan terpinggirkan. 

Kepemimpinan politik tanpa kasih hanyalah jalan ninja untuk memperkaya diri dan mempertahankan kekuasaan secara membabi buta. Kepemimpinan spiritual tanpa kasih yang memancarkan peristiwa Yesus adalah bentuk lain dari narsisme yang egois. 

Bapa Uskup Sensi telah memperlihatkan keteladanan kasih. Banyak orang mengantar kepergian beliau mulai dari Jakarta, Kupang, dan lautan manusia menyambutnya di tanah kelahirannya di Ende. Inilah ekspresi cinta orang-orang  yang dikasihi. 

"Jika cinta datang dari kedalaman jiwa, maka orang tuli pun dapat mendengarkan."

Selamat jalan kekasih kami, Yang Mulia Bapa Uskup Keuskupan Agung Ende Mgr. Vincentius Sensi Potokota

Penulis adalah Pengurus Pusat PMKRI 2018-2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun