Kedua anaknya memiliki kepribadian yang kasar dan liar, dan bisa jadi mereka juga kelak akan membangun hubungan toksik dengan pasangannya masing-masing.
***
Apa yang saya ceritakan di atas bukan cerita fiksi dan bukan pula bermaksud membuka aib orang lain. Saya tidak menyebutkan identitas mereka bahkan inisialnyapun tidak.
Jika ada yang mencoba menerka-nerka tokoh-tokoh dalam cerita yang saya maksud, itu menjadi urusan yang menebaknya.
Tetapi apa yang saya ceritakan disini adalah untuk menegaskan bahwa hubungan toksik itu benar-benar ada bahkan mungkin lebih banyak lagi dikalangan kalangan muda-mudi dan jika tetap berlanjut akan berakhir dalam penderitaan.
Dari apa yang saya amati langsung di lapangan dan dari apa yang saya ketahui dari berbagai sumber, beberapa hal agar lepas dari jebakan hubungan toksik adalah sebagai berikut:
1. Jangan Lebih Mementingkan Perasaan daripada LogikaÂ
Beberapa pasangan yang terjebak dalam hubungan toksik sering beranggapan bahwa konflik adalah bagian dari hubungan percintaan.
Hal itu tidak salah tetapi konflik tak wajar dan berlebihan, seperti sering saling melukai atau mengucapkan kata-kata kotor yang sangat menyakitkan, harus diketahui sebagai  hubungan yang tidak sehat.
Beberapa pasangan hubungan toksik yang saya kenal sering merasa "bahagia" dengan konflik tak wajar yang selalu mereka ulangi. Mereka seperti orang mabuk alkohol atau dalam pengaruh obat bius. Mereka menganggap bahwa konflik yang sering terjadi diantara mereka adalah bunga-bunga asmara nikmat.
Dalam posisi seperti ini pasti ada sesuatu yang tidak beres. Maka cinta harus lebih didasarkan pada logika dan bukan pada perasaan cinta yang palsu. Merasa "bahagia" walau sudah saling menyakiti berulang-ulang, bukankah itu sesuatu pertanda yang sangat buruk?