"Kalau ingin berurusan dengan cepat apakah salah satu caranya memang harus demikian atau ada cara lain?," kata saya.
Lae saya menjawab: "Jika Anda berbadan tegap, bermuka sangar dan punya nyali, kemungkinan kecil cara itu bisa berhasil. Tetapi cara paling populer adalah dengan memberikan sejumlah uang kepada petugasnya. Jika Anda berbadan 'kerempeng ' juga tidak mempunyai uang, berdoalah agar Anda tidak pingsan dalam antrian panjang".
Apa yang saya ceritakan di atas hanya contoh kecil saja dari jutaan permasalahan layanan publik. Contoh lainnya seperti PLN di Sumatera Utara yang bolak-balik padam sesuka hatinya kapan dia mau, juga menjadi permasalahan layanan publik yang belum terjawab hingga hari ini. Dan masih banyak lagi permasalahan pelayanan publik lainnya yang tak kalah rusaknya.
Terhadap pelayanan buruk dari pemerintah, mulai dari pemerintah desa/kelurahan, kabupaten/kota, provinsi hingga pusat apakah kita harus diam?Â
Tidak. Kita sama sekali tidak boleh diam. Kita harus terus melakukan kritik dengan keras dan dengan berbagai cara. Beberapa kali saya menyampaikan kritik melalui "Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat" atau LAPOR. Dulunya pengaduan melalui layanan ini sangat cepat dan memuaskan. Bahkan aduan saya pernah dibalas kurang dari 12 jam dan langsung ditindaklanjuti.
Tetapi setelah layanan ini terhubung dengan instansi: 34 Kementerian, 100 Lembaga, 34 Provinsi, 391 Pemkab, 94 Pemkot, pernah laporan saya masuk dalam antrian panjang dan baru dibalas setelah lebih dari 8 bulan dan hingga saat ini belum ditindaklanjuti dengan baik.
Untuk menghindari antrian yang sangat panjang mungkin salah satu cara yang paling mudah untuk hanya sekedar menyampaikan kritikan adalah melalui media sosial Facebook, Twitter, Instagram dan sebagainya. Tetapi apakah cara seperti aman untuk keselamatan pengkritik?
Saya pernah membaca Facebook yang isinya kurang lebih seperti ini: "Hati-hati mengkritik pemerintah, rezim sekarang anti kritik dan lebih kejam dari rezim orde baru. Kalau tidak mau terjerat UU ITE lebih baik diam saja".
Baru-baru ini di Tapanuli Utara seseorang berinisial CD dilaporkan ke pihak kepolisian karena "mengkritik" bupati lewat komentarnya di Facebook dan membuat kesan seakan-akan bupati Tapanuli Utara anti kritik. Benarkah dia dilaporkan karena mengkritik bupati?Â
Ketika saya telusuri, kasusnya berawal ketika Alfredo Sihombing membagikan berita tentang penemuan mayat Parto Hutabarat di Aek Situmandi Tarutung. Kemudian CS memberikan komentar "Sobinoto arani pemerintahanni sinikson babion" yang artinya kurang lebih: "Tak tahulah gara-gara pemerintahan Nikson (Bupati Taput) babi ini".