Mohon tunggu...
Rintar Sipahutar
Rintar Sipahutar Mohon Tunggu... Guru - Guru Matematika

Pengalaman mengajar mengajarkanku bahwa aku adalah murid yang masih harus banyak belajar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pemerintah Harus Terus Dikritik tetapi Bukan Dihujat

10 Februari 2021   07:49 Diperbarui: 10 Februari 2021   09:25 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
duniamanji/Tangkapan layar dari Riau24.com

Ada rasa jengkel yang akut tatkala mengalami pelayanan publik yang bertele-tele, lama dan terkesan sengaja dipersulit. Sehingga muncul pemeo yang menyebut: "Kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah".

Adek sepupu saya yang tinggal disalah satu kabupaten di Sumatera Utara, sudah satu tahun lebih melakukan perekaman e-KTP tetapi belum juga ada tanda-tanda akan selesai hingga di awal tahun kedua. Ketika petugasnya ditanya, jawabannya sederhana: "blanko habis". Sesusah itukah menyiapkan blanko bagi pemerintah?

Saya mengajukan Karpeg (Kartu Pegawai) tiga kali tetapi baru berhasil pada pengajuan keempat setelah menunggu 3 tahun lebih. Dan akibatnya saya harus mengalami keterlambatan pengusulan pangkat karena nomor Karpeg merupakan salah satu syarat mutlak untuk kenaikan pangkat.

Sementara Karis (Kartu Istri) yang selalu saya ajukan bersamaan dengan pengajuan Karpeg, hingga hari ini setelah 10 tahun menanti juga tak kunjung selesai. Dan jika ingin mendapatkannya berarti saya harus terus membuat pengajuan baru hingga saya dinyatakan "beruntung".

Ketika ditanya mengapa demikian lama, alasannya cukup menjengkelkan. Katanya saya belum pernah melakukan pengajuan. Padahal berkas berisi formulir dan syarat-syarat lengkap sudah beberapa kali saya ajukan tetapi mungkin tercecer karena kelalaian oknum petugas yang tidak bertanggung jawab.

Saya juga pernah melakukan perekaman data e-Karpeg sekitar tahun 2012. Tetapi hingga hari ini setelah lebih dari 8 tahun menunggu beritanya belum jelas. Apakah perlu dilakukan perekaman ulang lagi atau memang tidak perlu ditunggu lagi.

Berbicara mengenai urusan naik pangkat pada Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau yang sekarang disebut Aparatur Sipil Negara (ASN) khususnya untuk guru yang masuk dalam jabatan fungsional tertentu, mungkin Anda akan teringat quote ekonom Amerika Serikat Thomas Sowell yang menyebutkan:

Anda tidak akan pernah memahami birokrasi sampai Anda memahami bahwa bagi birokrat, prosedur adalah segalanya dan hasil tidak berarti sama sekali.

Dan jika Anda pernah direpotkan dengan urusan birokrasi yang panjang, berbelit-belit dan bertele-tele, ingatlah quote Human G. Rickover yang menyebutkan: 

"Jika Anda akan berbuat dosa, berdosalah terhadap Tuhan, bukan birokrasi; Tuhan akan mengampuni Anda tetapi birokrasi tidak"

Itu cerita saya dan lain lagi cerita almarhum Lae saya yang berbadan tegap dan berwajah sangar. Suatu hari sesuai dengan tanggal yang telah ditentukan, dia pergi ke kantor Disdukcapil di sebuah kabupaten untuk mengambil Akta Nikah yang sudah diurusnya beberapa hari sebelumnya. 

Tetapi ketika ditanya, dengan kalem petugasnya meminta maaf dan berkata "belum selesai" dan menyuruh agar Lae saya datang kembali beberapa hari berikutnya. Karena merasa jengkel, dengan sengaja Lae saya menendang salah satu kursi di ruangan itu hingga terbalik. Dan ajaibnya Akta Nikah itupun selesai beberapa menit kemudian. 

"Kalau ingin berurusan dengan cepat apakah salah satu caranya memang harus demikian atau ada cara lain?," kata saya.

Lae saya menjawab: "Jika Anda berbadan tegap, bermuka sangar dan punya nyali, kemungkinan kecil cara itu bisa berhasil. Tetapi cara paling populer adalah dengan memberikan sejumlah uang kepada petugasnya. Jika Anda berbadan 'kerempeng ' juga tidak mempunyai uang, berdoalah agar Anda tidak pingsan dalam antrian panjang".

Apa yang saya ceritakan di atas hanya contoh kecil saja dari jutaan permasalahan layanan publik. Contoh lainnya seperti PLN di Sumatera Utara yang bolak-balik padam sesuka hatinya kapan dia mau, juga menjadi permasalahan layanan publik yang belum terjawab hingga hari ini. Dan masih banyak lagi permasalahan pelayanan publik lainnya yang tak kalah rusaknya.

Terhadap pelayanan buruk dari pemerintah, mulai dari pemerintah desa/kelurahan, kabupaten/kota, provinsi hingga pusat apakah kita harus diam? 

Tidak. Kita sama sekali tidak boleh diam. Kita harus terus melakukan kritik dengan keras dan dengan berbagai cara. Beberapa kali saya menyampaikan kritik melalui "Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat" atau LAPOR. Dulunya pengaduan melalui layanan ini sangat cepat dan memuaskan. Bahkan aduan saya pernah dibalas kurang dari 12 jam dan langsung ditindaklanjuti.

Tetapi setelah layanan ini terhubung dengan instansi: 34 Kementerian, 100 Lembaga, 34 Provinsi, 391 Pemkab, 94 Pemkot, pernah laporan saya masuk dalam antrian panjang dan baru dibalas setelah lebih dari 8 bulan dan hingga saat ini belum ditindaklanjuti dengan baik.

Jumlah laporan per hari ini Rabu 10/2/2021/tangkapan layar dari lapor.go.id
Jumlah laporan per hari ini Rabu 10/2/2021/tangkapan layar dari lapor.go.id

Untuk menghindari antrian yang sangat panjang mungkin salah satu cara yang paling mudah untuk hanya sekedar menyampaikan kritikan adalah melalui media sosial Facebook, Twitter, Instagram dan sebagainya. Tetapi apakah cara seperti aman untuk keselamatan pengkritik?

Saya pernah membaca Facebook yang isinya kurang lebih seperti ini: "Hati-hati mengkritik pemerintah, rezim sekarang anti kritik dan lebih kejam dari rezim orde baru. Kalau tidak mau terjerat UU ITE lebih baik diam saja".

Baru-baru ini di Tapanuli Utara seseorang berinisial CD dilaporkan ke pihak kepolisian karena "mengkritik" bupati lewat komentarnya di Facebook dan membuat kesan seakan-akan bupati Tapanuli Utara anti kritik. Benarkah dia dilaporkan karena mengkritik bupati? 

Ketika saya telusuri, kasusnya berawal ketika Alfredo Sihombing membagikan berita tentang penemuan mayat Parto Hutabarat di Aek Situmandi Tarutung. Kemudian CS memberikan komentar "Sobinoto arani pemerintahanni sinikson babion" yang artinya kurang lebih: "Tak tahulah gara-gara pemerintahan Nikson (Bupati Taput) babi ini".

Apakah CS dilaporkan karena mengkritik? Jawabannya tidak, itu bukan kritik tetapi ujaran kebencian dan pencemaran nama baik. Apakah CS harus dilaporkan karena ujaran seperti itu? Menurut saya harus, agar jera dan mudah-mudahan tidak ada lagi yang ikut-ikutan seperti itu.

Itu hanya contoh kecil saja dari jutaan ujaran kebencian dan hujatan kepada pemerintah yang dilakukan oleh pengguna media sosial. Sebagian kecil sudah berhasil ditangkap dan diproses secara hukum tetapi lebih banyak yang masih bebas berkeliaran. Apakah orang-orang seperti itu ditangkap karena mengkritik pemerintah? Silahkan jawab sendiri.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kri*tik (nomina) adalah kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Sedangkan hujat atau menghujat berarti mencaci, mencela atau memfitnah.

Seharusnya orang yang berakal sehat dan mengaku beragama pasti sangat tahu membedakan keduanya. Yang mana kritik dan mana hujat, yang mana memberikan keluhan ketidakpuasan dan mana yang hanya "nyinyir". Perbedaan keduanya sangat jelas dan tak mungkin tertukar.

Apakah mengkritik berarti harus disertai dengan solusi? Menurut saya tidak. Mengkritik, mengkritik saja, tetapi kritik yang betul harus berdasar, disertai data dan fakta agar jangan menjadi fitnah, ujaran kebencian atau bisa jadi caci maki.

Demi harapan mendapatkan pelayanan yang lebih baik, pemerintah dari tingkat paling bawah hingga pusat harus terus dikritik dengan sekeras-kerasnya dan dengan berbagai macam cara jika mereka melakukan pelayanan yang buruk. Bahkan lewat demonstrasi bila diperlukan.

Tetapi mencaci, mencela, memfitnah dan sebagainya, jangan. Siapapun yang melakukannya tanpa kecuali harus diproses secara hukum. Tidak ada caci-maki, hujat-menghujat, fitnah dan ujaran kebencian untuk negara yang mengaku beradab dan berketuhanan. Orang-orang seperti itu harus berhadapan dengan hukum demi kelangsungan demokrasi yang baik, yaitu kebebasan yang bertanggung jawab.

Jangan takut mengritik tetapi takutlah menghujat, memfitnah, membuat dan menyebarkan ujaran kebencian terhadap siapapun. Kritik dan hujat keduanya memiliki perbedaan yang sangat jelas dan tidak mungkin tertukar. Jika Anda jujur dengan pemahaman Anda, Anda tidak perlu sangsi dengan sanksi hukum UU ITE. (RS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun