Dalam keterangannya kepada awak media, Sekjen KPU Arif Rahman mengatakan bahwa update data per 30 April 2019 hingga pukul 15.00 WIB, jumlah petugas KPPS yang meninggal dunia sudah mencapai 331 orang, sakit sebanyak 2.232 orang, sehingga total petugas KPPS yang meninggal dan sakit menjadi 2.563 orang (detik.com 30/4/2019).
Pemilu serentak perdana yang menyatukan pemungutan dan penghitungan 5 macam surat suara untuk memilih DPR, DPD, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota) dan Presiden/Wakil Presiden, sebelumnya digadang-gadang akan menjadi Pemilu terbaik dari segi efisiensi dan efektifitas.
Tetapi kenyataannya Pemilu serentak tersebut telah berubah menjadi Pemilu terparah sepanjang sejarah pelaksanaan pesta demokrasi di Indonesia dari segi banyaknya petugas KPPS yang sakit dan meninggal dalam menjalankan tugasnya akibat kelelahan.
Pemilu Paling Rumit di Dunia
Seperti dikatakan banyak pengamat bahwa Pemilu di Indonesia adalah pemilu yang paling rumit di dunia karena skalanya yang sangat besar dan semua proses pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara dilaksanakan hanya dalam satu hari saja.
Data KPU menyebutkan, Pemilu serentak 2019 dilakukan di 34 provinsi, 514 kabupaten/kota, 7.201 kecamatan, 83.404 desa/kelurahan dan  130 perwakilan RI di seluruh dunia.Â
Semua daerah tersebut kemudian dibagi menjadi 810.280 Tempat Pemungutan Suara (TPS), yang terdiri dari 809.497 TPS di Indonesia, 783 TPS di luar negeri ditambah 2.345Kotak Suara Keliling (KSK) dan memfasilitasi 429 kantor pos bagi pemilih yang menggunakan hak suaranya melalui surat atau pos.
Pemilu serentak 2019 diikuti 16 partai politik nasional dan 4 partai politik lokal khusus untuk provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Adapun alokasi kursi yang diperebutkan adalah: 575 kursi untuk DPRRI, 2.207 kursi untuk DPRD Provinsi, 17.610 kursi untuk DPRD Kabupaten/Kota, 136 kursi untuk DPDRI dan 2 kursi Presiden/Wakil Presiden, yang diperebutkan lebih dari 245.000 calon legislatif dan DPD.
Akibat Banyaknya Anggota KPPS yang Sakit dan Meninggal, Apakah Pemilu Serentak 2019 Sebaiknya dihentikan?
Tidak perlu buru-buru mengambil keputusan emosional untuk menghentikan pemilu serentak untuk periode berikutnya yang akan dilaksanakan 5 tahun lagi. Bagaimana pun dari segi biaya terutama dalam ongkos distribusi logistik, pemilu serentak 2019 pasti lebih murah karena dilakukan hanya 1 kali saja.
Yang perlu dilakukan adalah evaluasi menyeluruh mengenai proses pelaksanaan pemilu serentak tahun 2019, dimana titik kelemahannya dan terutama bagaimana cara menyederhanakan pemilu terumit di dunia ini agar lebih elegan.
Apa yang Menyebabkan Pemilu Serentak 2019 Menjadi Rumit?
Dari pengalaman penulis yang sudah 5 kali ditunjuk sebagai Petugas/Ketua KPPS baik dalam Pemilu (Pemilihan DPR/DPRD/DPD), Pilpres dan Pilkada (Pemilihan Gubernur dan Bupati), proses pemungutan dan penghitungan suara untuk DPRRI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota adalah yang paling lama.
Seperti pemilihan presiden/wakil presiden tahun 2014 lalu yang diikuti 2 pasangan calon, proses pemungutan, penghitungan dan pengembalian kotak suara ke PPS sudah selesai sebelum pukul 15.00 WIB.
Demikian juga dalam Pilkada 2015 untuk memilih Gubernur/Wakil Gubernur Kepri dan Bupati/Wakil Bupati Lingga yang masing-masing terdiri dari 2 pasangan calon, proses pemungutan, penghitungan suara hingga pengembalian kotak suara ke PPS juga sudah selesai sebelum pukul 14.00 WIB.
Tetapi untuk proses pemilu DPRRI/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten-Kota/DPDRI, selalu selesai di atas pukul 01.00 WIB. Mengapa demikian?Â
Jawaban sederhananya adalah karena banyaknya partai politik peserta pemilu dan banyaknya calon legislatif dan DPD yang akan dipilih sehingga berpengaruh kepada ukuran surat suara dan proses penghitungan suara di Plano yang ditempelkan di dinding.
Lalu Bagaimana Cara Menyederhanakan Pemilu Serentak pada Periode Berikutnya?
Saya pikir sangat mudah untuk menyederhanakan pemilu serentak untuk periode berikutnya. Dua diantaranya adalah:
1. Membatasi Partai Politik Peserta Pemilu.
Saya pikir sudah saatnya pembuat undang-undang untuk merancang UU Pemilu yang memperketat syarat partai politik untuk bisa ikut bertarung pada pemilu mendatang.
Demokrasi yang baik itu tidak selamanya identik dengan banyaknya partai politik (multi partai). Tetapi lebih kepada bagaimana partai politik yang ada dapat menyalurkan aspirasi masyarakat. Seperti di negara superpower Amerika Serikat yang hanya terdiri dari dua partai politik, Demokrat dan Republik, apakah berarti demokrasi di Amerika Serikat tidak baik?
Untuk itu perlu kesadaran dari elit-elit yang ingin mendirikan partai politik baru. Mungkin akan lebih bijaksana jika elit tersebut bergabung ke partai politik yang sudah ada yang ideologi, visi dan misinya hampir sama daripada hanya haus jabatan Ketum/Sekum/DPD/DPC, dsb.
2. Sistem Pemilihan Legislatif dengan Proporsional Daftar Tertutup.
Salah satu yang memperlambat proses pemungutan dan penghitungan suara legislatif adalah banyaknya daftar calon legislatif yang akan dipilih dan dihitung.
Untuk itu salah satu cara yang paling efektif untuk mengatasi itu semua adalah dengan menerapkan sistem proporsional daftar tertutup. Yaitu pemilih hanya akan memilih partai politik, tanpa nama-nama calon legislatif.
Dengan sistem ini otomatis ukuran surat suara akan lebih kecil hingga 10 kali dan proses penghitungan suara di Plano juga akan berkurang 3 hingga 4 kali lebih cepat.Â
Dengan sistem ini juga akan mengurangi politik uang yang dilakukan perorangan dan juga kepedulian pemilih terhadap partai akan semakin kuat. Karena selama ini pemilih memilih wakilnya di DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota bukan berdasarkan partainya tetapi berdasarkan celegnya.
Dan saya pikir tidak ada jaminan bahwa caleg yang terpilih sesuai dengan nama dan nomor urutnya lebih baik dari sistem proporsional tertutup.
(RS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H