Mohon tunggu...
Rintar Sipahutar
Rintar Sipahutar Mohon Tunggu... Guru - Guru Matematika

Pengalaman mengajar mengajarkanku bahwa aku adalah murid yang masih harus banyak belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[BeCak] Dialog dengan Malaikat

18 September 2018   14:24 Diperbarui: 18 September 2018   14:58 848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Ilustrasi : manaberita.com)

Di rembang tengah hari ketika aku terkapar di hamparan batu-batu sungai yang setengah kering, aku menengadah ke langit. Sambil berkhayal akan melihat kerumunan malaikat turun dari langit, menumpang mandi di sungai tempat aku mengharapkan sebuah keajaiban. "Tapi apakah malaikat itu perlu mandi?", tanyaku dalam hati.

Perlu mandi atau tidak, itu bukan urusanku. Tambah pusing pula aku memikirkan urusan malaikat. Urusanku saja sudah terlalu berat untuk kupikirkan. Tetapi jika mereka menemukanku di sungai itu, tentulah mereka akan iba melihat nasibku. Mereka akan bertanya tentang pergumulanku, mengeluarkan sebuah tongkat ajaib yang di ujungnya terdapat bintang kristal, dan mengarahkannya kepadaku, cling... semuanya berubah menjadi baru dan cling... semuanya berubah menjadi mudah, dan cling...

... tiba-tiba saja dari arah hulu sungai sesosok makhluk aneh muncul dan berjalan mendekat ke arah tempatku berbaring. Tubuhnya sudah renta, rambut, kumis dan janggutnya panjang tak terurus dan sudah uban semua. Di pusaran rambutnya tak terdapat sedikit rambut pun. Botak membentuk lingkaran berdiameter 10 centi meter, kosong melompong seperti hutan gundul. Sedang rambut disekitarnya kriwil-kriwil dan gimbal seperti tak pernah disentuh disisir.

Makhluk aneh itu hanya memakai singlet usang untuk menutupi badannya yang masih terlihat kekar. Dan sebuah celana panjang dari bahan belacu tua, yang digulung hingga melewati lututnyanya. Ia menenteng sebuah jala di tangan kirinya. Dan sekitar jarak 10 meter dari tempatku mengawasinya, dia berhenti. Saya yakin dia melihatku tetapi dia pura-pura tak melihat. 

Dia melemparkan jalanya ke atas hamparan batu-batu kering, mengembang sempurna. Barangkali dia ingin mengeringkan jalanya, pikirku. Ia duduk di atas batu yang agak besar dan menoleh ke arahku. Ketika mata kami bertemu, dia tersenyum ramah dan menegurku: "halo, ada orang rupanya, hahahaha...", katanya dengan suara yang berwibawa. "Halo juga", jawabku singkat dengan senyum yang dipaksakan.

"Lagi ngapain?", tanyanya masih dengan wajah yang ramah dan bersahabat.

"Menunggu malaikat turun dari surga", jawabku.

"Hah... menunggu malaikat? Kamu sudah pernah melihat malaikat?"

"Belum. Saya hanya melihat dari gambar-gambar dalam buku. Dalam film-film juga"

"Seperti apa rupanya?"

"Seperti manusia. Tetapi badan dan pakaiannya putih bersih-blinyang dan dipunggungnya terdapat sepasang sayap berbulu putih bersih-blinyang pula"

"Oh, begitu... Kata siapa malaikat seperti itu? Kamu percaya sosok malaikat seperti di gambar-gambar dan film-film itu?"

"Ya, aku tak pernah melihat sosok lain. Untuk sementara aku mempercayai yang itu"

"Itu salah dan itu tidak baik. Itu hanya  hasil imajinasi para perupa. Ketika Yakub bermimpi melihat tangga ke langit dan malaikat lalu lalang turun-naik tangga, beberapa pelukis mengimajinasikannya seperti itu, dan seterus-seterusnya, perupa lain pun ikut-ikutan latah"

"Aku tak percaya kata-katamu sebelum aku melihat wujudnya yang asli"

"Oh, begitu. Aku tidak bisa memaksamu. Tuhan pun tidak. Sebagai manusia kamu punya hak dan kehendak bebas. Itulah salah satu kelebihanmu dari malaikat-malaikat itu. Menurut kamu malaikat itu ada berapa?"

"Ada banyak"

"Banyaknya berapa?"

"Berlaksa-laksa"

"Maksudmu tak terhitung begitu?"

"Begitulah"

"Kalau aku berkata bahwa aku adalah salah satu diantara yang berlaksa-laksa itu, kamu percaya?"

"Jelas tidak"

"Mengapa?"

"Malaikat itu penampilannya pasti tidak seperti kamu"

"Maksudmu karena aku dekil, tua-bangka, memakai singlet tua dan celana lusuh?"

Aku diam tidak tahu tahu harus menjawab apa.

"Aku bertanya kepadmu, untuk apa kamu menunggu malaikat yang kamu sendiri tidak tahu pasti wujudnya seperti apa?"

"Aku butuh pertolongannya"

"Memang tugas malaikat itu menurut kamu apa?"

"Tugas malaikat itu, ya... menolong. Ya, itu... menolong"

"Kalau itu malaikat maut? Apakah itu malaikat penolong juga?"

"Ya, menolong manusia seperti aku yang sudah bosan hidup. Supaya cepat pergi dari dunia fana ini"

"Hah... Apa kamu sudah bosan hidup? Putus asa, maksudmu?

"Kamu sudah sudah tahu, tak perlu aku ulangi lagi"

"Putus asa? Tunggu dulu, kamu tak percaya Tuhan itu ada?"

"Percaya"

"Sejauh apa kamu percaya?"

"Itu urusanku dengan Tuhan, bukan urusanmu"

"Hahahaha... sudah saya duga, pasti jawaban kamu demikian"

"Maksudmu?"

"Kalau ditanya, hampir semua manusia itu jawabannya seperti kamu. Semua percaya tetapi sejauh mana, dia tak bisa buktikan"

"Maksudnya kamu meminta bukti? Saya pikir itu tak perlu"

"Kalau hanya sekedar percaya, iblis pun percaya dan mengakui adanya Tuhan dan mendengar namaNya saja iblis-iblis itu gemetar"

"Jadi kamu menyamakan aku dengan iblis"

"Ya, kalau percaya saja tanpa tindakan? Kamu berarti pengikut iblis. Anak iblis"

"Terserah kamulah. Bukti apa lagi? Aku tidak mengerti maksudmu"

"Katamu kamu percaya Tuhan tapi kamu putus asa dan minta mati lagi. Disini kamu menantikan malaikat. Malaikat penolong atau malaikat maut, sama saja. Orang yang percaya kepada Tuhan itu tidak putus asa seperti kamu. Dia punya pengharapan di dalam Tuhan. Apakah kamu benar-benar sudah siap untuk mati?"

"Sudah"

"Yakin?"

"Yakin"

"Bagaimana dengan anak-anak kamu yang masih kecil-kecil? Sudah siapkah kamu meninggalkannya? Bagaimana dengan istrimu yang tidak mempunyai pekerjaan sama sekali? Bagaimana dia membesarkan dan menafkahi mereka nantinya? Bagaimana dengan semua orang-orang yang kamu kasihi dan yang mengasihimu, sudah siapkah kamu meninggalkan mereka? Bagaimana dengan... bla... bla... bla...

Dia terus bertanya dan bertanya tanpa jeda dan tidak memberikan kesempatan kepadaku untuk menjawab. Dan tiba-tiba dia meraih jala di depannya, memakaikannya seperti baju terusan mulai dari ujung kepalanya hingga menutupi kakinya. Dan lagi-lagi semuanya berubah menjadi gelap. Jala ditubuhnya berubah menjadi jubah hitam, wajahnya berubah gelap dan menakutkan. Matanya bersinar, lebih terang dari cahaya senter 50 watt.

Belum lagi aku menjawabnya, tiba-tiba dia sudah mengambil sabit mautnya dan menghujamkannya persis mengenai ulu hatiku. Dan... seketika semuanya berubah menjadi terang. Aku seperti berada di dunia lain. Terang... terang... dan tak pernah gelap lagi.

(Pancur-Lingga Utara, Selasa, 18/9/2 018)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun