"Jadi kamu menyamakan aku dengan iblis"
"Ya, kalau percaya saja tanpa tindakan? Kamu berarti pengikut iblis. Anak iblis"
"Terserah kamulah. Bukti apa lagi? Aku tidak mengerti maksudmu"
"Katamu kamu percaya Tuhan tapi kamu putus asa dan minta mati lagi. Disini kamu menantikan malaikat. Malaikat penolong atau malaikat maut, sama saja. Orang yang percaya kepada Tuhan itu tidak putus asa seperti kamu. Dia punya pengharapan di dalam Tuhan. Apakah kamu benar-benar sudah siap untuk mati?"
"Sudah"
"Yakin?"
"Yakin"
"Bagaimana dengan anak-anak kamu yang masih kecil-kecil? Sudah siapkah kamu meninggalkannya? Bagaimana dengan istrimu yang tidak mempunyai pekerjaan sama sekali? Bagaimana dia membesarkan dan menafkahi mereka nantinya? Bagaimana dengan semua orang-orang yang kamu kasihi dan yang mengasihimu, sudah siapkah kamu meninggalkan mereka? Bagaimana dengan... bla... bla... bla...
Dia terus bertanya dan bertanya tanpa jeda dan tidak memberikan kesempatan kepadaku untuk menjawab. Dan tiba-tiba dia meraih jala di depannya, memakaikannya seperti baju terusan mulai dari ujung kepalanya hingga menutupi kakinya. Dan lagi-lagi semuanya berubah menjadi gelap. Jala ditubuhnya berubah menjadi jubah hitam, wajahnya berubah gelap dan menakutkan. Matanya bersinar, lebih terang dari cahaya senter 50 watt.
Belum lagi aku menjawabnya, tiba-tiba dia sudah mengambil sabit mautnya dan menghujamkannya persis mengenai ulu hatiku. Dan... seketika semuanya berubah menjadi terang. Aku seperti berada di dunia lain. Terang... terang... dan tak pernah gelap lagi.
(Pancur-Lingga Utara, Selasa, 18/9/2 018)