Di ruang kosan di Bandung, awal 1990-an, dengan mesin ketik yang satu kakinya patah, seorang anak SMA mencoba menulis cerpen. Berhari-hari dihabiskan untuk menyelesaikan cerpen romantisnya. Dengan imajinasi tinggi, tentang kasmarannya yang coba dituangkan di beberapa lembar kwarto. Setelah cerita terangkai, tergesa dia mengirimkannya ke Kompas. Tidak berbilang bulan, jawaban diterima. Tulisan ditolak.
Dunia sepertinya runtuh, dengan segala kepolosan berfikir bahwa tulisan yang dikirimkan akan semua dimuat. Kecewa mendera. Proses kreatif terhenti. Tidak ada lagi imajinasi. Meskipun ratusan puisi tercipta untuk asmara remaja tiada terkata.
Bahkan, seorang gadis yang dikangeni berhasil mengimajinasi 40 puisi yang tersimpan rapi. Lalu, hilang begitu saja. Anak lelaki remaja  itu pun berhenti menghentakkan jemari di papan ketik mesin ketik Brother itu. Remaja itu adalah aku.
Puluhan tahun kemudian, di jelang paruh hidupnya, lelaki itu terhentak oleh sebuah pertanyaan yang muncul akan kesadaran. Apakah yang akan aku tinggalkan nanti? Kemana hasil dari diskusi berbusa-busa di ruang kelas? Kemudian waktu akan sia-sia, yang dihabiskan dalam proses dialektika formal dan non formal? Ketika itu, setelah menyelesaikan program pendidikan tingkat pascasarjananya, kegelisahanku muncul.
Hentakan itu menghantar dalam sebuah penelusuran di dunia maya. Meskipun sudah banyak potongan kalimat yang dituangkan di berbagai media sosial, rasanya itu bukan sebuah karya proses berfikir berbentuk tulisan yang seutuhnya.
Hasil penjelajahan mempertemukan aku dengan Kompasiana. Sebuah bentuk yang awalnya tidak dimengerti. Lalu sibuk membaca artikel-artikel yang ada. Tiba-tiba sedikit rasa percaya diri muncul. "Kok rasanya tulisan-tulisannya tidak istimewa", sebuah suara batin meluncur begitu saja.
Dalam pengertianku, tulisan itu adalah opini di Kompas Cetak. Itulah bentuk tulisan yang diinginkan. Bukan bentuk lain. Bukan puisi, meskipun dulu pernah mencipta banyak puisi. Bukan cerita pendek, meskipun tulisan pertama yang dikirimkan ke Kompas cerita pendek. Opini Kompas cetak, yang sekarang konsisten di halaman 6, akhirnya menjadi standar.
Dengan itulah, aku melihat tulisan di Kompasiana. Aku seperti menemukan sebuah tempat untuk menyalurkan keinginan menulis yang dulu sekali termatikan. Semakin sering membaca, semakin aku ingin mencurahkan isi kepala dalam tulisan dan memuatnya ke Kompasiana.
Setelah cukup lama memperhatikan, pada 25 Juli tahun 2014, aku pun menjadi kompasianer. Tiba-tiba otak menjadi kelu. Ketika hendak menulis, tulisan tidak terbentuk. Ide sudah menggelinjang di kepala, tetapi tidak mau ruah ke dalam tulisan.
Tiba-tiba sejuta pertanyaan melayang dan menghantui lagi. Layaknya hantu yang menakuti dan membuatku tiarap dalam gelap berkepanjangan. Beribu pertanyaan muncul dan selalu berulang. Apakah tulisanku bagus dan benar? Nanti bagaimana kalau tidak bagus?
Pertanyaan masih berlanjut. Apa komentar pembaca? Nanti aku di-bully karena tulisan jelek? Apakah aku sudah paham dengan penggunaan titik, koma dan huruf besar serta kalimat dalam kutipan? Bagaimana menempatkan dialog dalam sebuah tulisan? Apakah diksi sudah tepat dan menggambarkan pikiranku? Apakah alur tulisan sudah logis?
Seluruh pertanyaan itu kembali menghantam kesadaran. "Aku belum saatnya menulis", lagi-lagi sebuah pikiran muncul. Sementara aku merasa usia sudah merambat deras. Menua! Usia akan meninggalkan aku dan tidak memiliki apa pun sebagai legasi.
Semakin nelangsa, karena ketika itu aku hampir mendapatkan gelar master dari Universitas Indonesia. "Lalu, seorang master tidak menghasilkan tulisan apa pun?", benakku tidak berhenti bertanya.
Mencoba melengkapi kemampuan dan meningkatkan kepercayaan diri, aku mengikuti beberapa kelas menulis. Kelas berbayar maupun gratisan yang dilaksanakan berbagai organisasi kemasyarakatan.
Satu kalimat yang teringat, ya hanya satu kalimat tidak lengkap. "Tulis  aja dulu". Ujaran para pelatih itu sangat membekas. "Tidak ada gunanya berbagai teori yang diajarkan jika tidak menulis. Maka tulislah apa yang kamu pikirkan. Ya, tulis saja", terngiang-ngiang dalam benak.
Di 21 Februari 2016
Dengan mengumpulkan energi semesta alam, aku akhirnya berani menayangkan tulisan di Kompasiana. Judulnya, Menepis Sedikit Lagi Kecemasan Naik Bus Transjakarta. Ketika itu menjelang tengah malam. Begitu tabtayangkan diklik, bergetar jiwa dan raga.
What? Aku sudah upload? Bagaimana nanti reaksi orang lain? Pasti akan banyak caci-maki. Tidak ada yang akan baca? Tidak ada bagus-bagusnya. Harusnya tadi aku menulis begini dan bukan begitu?
Pikiran itu berkecamuk hebat. Selanjutnya, mata terus nanar dalam gelap kamar tidur di lewat tengah malam. Pikiran berputar terus. Badan sudah lelah, tetapi tidur tak kunjung menyapa.
Hingga azan bergema dari masjid dekat rumah, mata tidak juga terpejam. Entah bagaimana ceritanya, akhirnya rasanya hilang juga dalam tidur. Tidak lelap. Aku benar-benar tertekan. Jauh lebih tertekan dibandingkan menghadapi sidang master dua minggu sebelumnya.
Terbangun paginya, badanku lemas. Kurang tidur membuat hari menjadi tidak ceria. Belum lagi kekhawatiran akan tulisan yang dimuat jelang tengah malam kemarin. Hingga pagi itu, aku tidak berani untuk menjenguknya. Rasa penasaran itu tetap mengajak dan menggangu. Siang menjadi gelisah. Makin kuat rasa khawatir dan sekaligus penasaran.
Selewat makan siang, sekitar pukul dua, aku beranikan melihat tulisan itu. Komentar tidak ada. Tetapi ada tulisan biru di bagian kiri atas judul. Pilihan. Lalu, Headline. Di bagian jumlah pembaca tertera angka 600. Aku tidak mengerti tentang itu semua. Aku peduli hanya pada kenyataan bahwa tidak ada komentar negatif, apalagi melecehkan. Itu saja.
Selanjutnya, dunia cerah. Ide pun berloncatan. Percaya diri meninggi. Mengalir berbagai tulisan. Sepertinya tertumpah begitu saja. Tulisan dengan cepat menumpuk. Dalam waktu yang tidak begitu lama, tulisan sudah mencapai 30. Ide masih terus menghentak.
Proses berjalan terus. Tulisan diupayakan bersih dan rapi. Menggunakan bahasa tulisan, bukan lisan. Tidak memakai singkatan. Tidak memindahkan bahasa lisan ke tulisan terlalu banyak. Titik, koma, tanda seru, huruf besar menjadi perhatian. Tulisan harus memiliki plot dan argumentasi harus masuk akal. Sebelum diunggah, tulisan dibaca dan dibersihkan dari salah ketik. Meskipun kesalahan itu kadang muncul juga. Â
Lewat 3 Tahun dan  Kompasiana 9 Tahun
Proses kreatif itu bergerak terus. Meskipun pernah mengalami tekanan. Sebab ada semacam kompetisi yang mendorong diri menulis setiap hari. Sementara pekerjaan menarik waktu dan perhatian juga. Lalu, suatu saat terhenti cukup lama. Aku merasa penat dengan menulis ini. Hidup menjadi tertekan.
Pikiran tidak berhenti mencari ide. Capek. Rasanya tidak tenang, jika sebuah tulisan tidak dimuat dalam satu hari. Aku bahkan pernah menulis hingga 3 tulisan sehari. Â Aku menjadi berhenti menulis. Ide banyak, tetapi aku menolak menulis. Hingga berbulan lamanya. Menulis menjadi menyiksa. Tidak lagi menyenangkan.
Tetapi, kerinduan itu datang lagi. Aku mencoba lagi dan mengatur irama. Aku harus menentukan alasan menulis. Aku menulis karena aku memang ingin menulis. Bukan karena didorong oleh sebuah kompetisi. Aku tidak lagi perduli dengan Pilihan, Headline, Featured, Terpopuler dan Nilai Tertinggi. Itu hanya membuat aku tertekan. Aku hanya fokus pada proses penulisanku.
Proses intellectual exercise. Seperti yang aku dapatkan dalam sebuah tulisan di Kompasiana soal menulis di Kompas Cetak. Aku mengikuti irama itu. Aku menulis dengan gairah baru. Aku harus menuangkan pikiranku dalam bentuk tulisanku. Ini juga mendorongku untuk membaca.
Aku menemukan duniaku lagi. Dunia yang asyik dan menyenangkan. Dunia dimana aku bisa membagikan tulisan dari proses berfikirku. Tidak melulu lagi soal tulisan itu diterima atau dibaca berapa kali. Aku tidak ditentukan oleh semua itu. Proses seterusnya lebih menyenangkan. Menulis jadi lebih santai.
Tetapi, satu hal yang pasti Kompasiana telah memberikanku tempat berekspresi tanpa takut ditolak. Disiplin aku ciptakan sendiri dengan kiblat opini di Kompas cetak. Aku menemukan keasyikan dan kemudahan menuangkan ide. Mencari kata dan makna.
Hingga akhirnya, aku memaksa anakku untuk menjadi Kompasianer. Tulisannya masih sedikit sekali. Aku terus bantu dia berproses. Menulis di Kompasiana merupakan kesempatan yang tidak layak dilewatkan. Â
Kompasiana telah memberikan banyak, tidak hanya untukku tetapi juga bagi 250an ribu lainnya. Menemukan rasa percaya diri, petualangan dan kecintaan dalam dunia menulis. Dunia yang saat ini masih sangat asing di banyak kalangan di Indonesia.
Dunia yang tidak pernah dibentuk pendidikan kita. Hingga pada akhirnya kita selalu ketinggalan dalam pengetahuan. Karena menulis itu meningkatkan dan sekalisgus melestarikan pengetahuan.
Kompasiana telah memberikan ruang untuk berdialektika. Bahkan untuk diri sendiri sekalipun. Peluang ini harus dimanfaatkan. Kompasiana telah mengantarkan aku ke beberapa kesempatan untuk bertemu rekan-rekan dengan kecintaan yang sama.
Pada kesempatan lainnya, aku juga diminta menjadi executive writer. Sesuatu yang tidak pernah terbayangkan. Tulisanku mendapat sedikit apresiasi. Tidak besar, dari banyak kacamata. Tetapi dahsyat dari kacamataku. Pernah juga diundang diskusi di Kompas, tentang media sosial.
Di usianya ke 9 tahun, Kompasiana telah banyak memberikan kebaikan bagi banyak anak bangsa. Tetapi memang, jika masih 250-an ribu, masih banyak yang harus dilakukan untuk menciptakan masyarakat dengan literasi tinggi. Masyarakat penulis. Pastinya, akan juga menjadi masyarakat pembaca. Angka itu masih terlalu kecil dibandingka hampir 250 juta penduduk Indonesia.
Jiwa-jiwa penulis telah dikembangkan Kompasiana. Sama seperti aku. Setidaknya aku sekarang mengikuti 4 platfrom blogging. Semuanya bermula ketika Kompasiana memberikan ruang berbagi ide.
Butuh bertahun untuk mengembalikannya, keberanian itu. Â Masih butuh waktu untuk belajar hingga mimpi nanti tulisanku muncul di Kompas cetak. Ketika tiga bulan lalu tulisanku dikembalikan Kompas cetak, aku malah terpacu untuk menulis lagi. Tidak tumbang seperti ketika remaja dulu.
Pada satu titik, aku membayangkan betapa dia yang menciptakan Kompasiana layaknya the chosen. Dia yang dipilih untuk menyelamatkan banyak jiwa dan pikiran. Upaya untuk mendorong Indonesia menjadi bangsa pembaca dan penulis. Menjadi bangsa pemenang.
Setidaknya, ruang di Kompasiana tidak akan mematikan imajinasi anak Indonesia yang belajar menuangkan ide dalam bentuk tulisan. Pada gilirannya, Kompasiana menjadi sebuah katalis gersangnya proses kreatif ini di ruang-ruang kelas. Kompasiana, di usianya yang ke 9, telah menjadi gap filler, untuk ketimpangan proses kreatif tulis menulis di Indonesia.
Untuk itu, teruslah menjaring jiwa-jiwa kreatif itu. Biarkan mereka berdialektika dalam ruang Kompasiana yang diciptakan oleh dia yang terberkati.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H