Dunia yang tidak pernah dibentuk pendidikan kita. Hingga pada akhirnya kita selalu ketinggalan dalam pengetahuan. Karena menulis itu meningkatkan dan sekalisgus melestarikan pengetahuan.
Kompasiana telah memberikan ruang untuk berdialektika. Bahkan untuk diri sendiri sekalipun. Peluang ini harus dimanfaatkan. Kompasiana telah mengantarkan aku ke beberapa kesempatan untuk bertemu rekan-rekan dengan kecintaan yang sama.
Pada kesempatan lainnya, aku juga diminta menjadi executive writer. Sesuatu yang tidak pernah terbayangkan. Tulisanku mendapat sedikit apresiasi. Tidak besar, dari banyak kacamata. Tetapi dahsyat dari kacamataku. Pernah juga diundang diskusi di Kompas, tentang media sosial.
Di usianya ke 9 tahun, Kompasiana telah banyak memberikan kebaikan bagi banyak anak bangsa. Tetapi memang, jika masih 250-an ribu, masih banyak yang harus dilakukan untuk menciptakan masyarakat dengan literasi tinggi. Masyarakat penulis. Pastinya, akan juga menjadi masyarakat pembaca. Angka itu masih terlalu kecil dibandingka hampir 250 juta penduduk Indonesia.
Jiwa-jiwa penulis telah dikembangkan Kompasiana. Sama seperti aku. Setidaknya aku sekarang mengikuti 4 platfrom blogging. Semuanya bermula ketika Kompasiana memberikan ruang berbagi ide.
Butuh bertahun untuk mengembalikannya, keberanian itu. Â Masih butuh waktu untuk belajar hingga mimpi nanti tulisanku muncul di Kompas cetak. Ketika tiga bulan lalu tulisanku dikembalikan Kompas cetak, aku malah terpacu untuk menulis lagi. Tidak tumbang seperti ketika remaja dulu.
Pada satu titik, aku membayangkan betapa dia yang menciptakan Kompasiana layaknya the chosen. Dia yang dipilih untuk menyelamatkan banyak jiwa dan pikiran. Upaya untuk mendorong Indonesia menjadi bangsa pembaca dan penulis. Menjadi bangsa pemenang.
Setidaknya, ruang di Kompasiana tidak akan mematikan imajinasi anak Indonesia yang belajar menuangkan ide dalam bentuk tulisan. Pada gilirannya, Kompasiana menjadi sebuah katalis gersangnya proses kreatif ini di ruang-ruang kelas. Kompasiana, di usianya yang ke 9, telah menjadi gap filler, untuk ketimpangan proses kreatif tulis menulis di Indonesia.
Untuk itu, teruslah menjaring jiwa-jiwa kreatif itu. Biarkan mereka berdialektika dalam ruang Kompasiana yang diciptakan oleh dia yang terberkati.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H