Selanjutnya, dunia cerah. Ide pun berloncatan. Percaya diri meninggi. Mengalir berbagai tulisan. Sepertinya tertumpah begitu saja. Tulisan dengan cepat menumpuk. Dalam waktu yang tidak begitu lama, tulisan sudah mencapai 30. Ide masih terus menghentak.
Proses berjalan terus. Tulisan diupayakan bersih dan rapi. Menggunakan bahasa tulisan, bukan lisan. Tidak memakai singkatan. Tidak memindahkan bahasa lisan ke tulisan terlalu banyak. Titik, koma, tanda seru, huruf besar menjadi perhatian. Tulisan harus memiliki plot dan argumentasi harus masuk akal. Sebelum diunggah, tulisan dibaca dan dibersihkan dari salah ketik. Meskipun kesalahan itu kadang muncul juga. Â
Lewat 3 Tahun dan  Kompasiana 9 Tahun
Proses kreatif itu bergerak terus. Meskipun pernah mengalami tekanan. Sebab ada semacam kompetisi yang mendorong diri menulis setiap hari. Sementara pekerjaan menarik waktu dan perhatian juga. Lalu, suatu saat terhenti cukup lama. Aku merasa penat dengan menulis ini. Hidup menjadi tertekan.
Pikiran tidak berhenti mencari ide. Capek. Rasanya tidak tenang, jika sebuah tulisan tidak dimuat dalam satu hari. Aku bahkan pernah menulis hingga 3 tulisan sehari. Â Aku menjadi berhenti menulis. Ide banyak, tetapi aku menolak menulis. Hingga berbulan lamanya. Menulis menjadi menyiksa. Tidak lagi menyenangkan.
Tetapi, kerinduan itu datang lagi. Aku mencoba lagi dan mengatur irama. Aku harus menentukan alasan menulis. Aku menulis karena aku memang ingin menulis. Bukan karena didorong oleh sebuah kompetisi. Aku tidak lagi perduli dengan Pilihan, Headline, Featured, Terpopuler dan Nilai Tertinggi. Itu hanya membuat aku tertekan. Aku hanya fokus pada proses penulisanku.
Proses intellectual exercise. Seperti yang aku dapatkan dalam sebuah tulisan di Kompasiana soal menulis di Kompas Cetak. Aku mengikuti irama itu. Aku menulis dengan gairah baru. Aku harus menuangkan pikiranku dalam bentuk tulisanku. Ini juga mendorongku untuk membaca.
Aku menemukan duniaku lagi. Dunia yang asyik dan menyenangkan. Dunia dimana aku bisa membagikan tulisan dari proses berfikirku. Tidak melulu lagi soal tulisan itu diterima atau dibaca berapa kali. Aku tidak ditentukan oleh semua itu. Proses seterusnya lebih menyenangkan. Menulis jadi lebih santai.
Tetapi, satu hal yang pasti Kompasiana telah memberikanku tempat berekspresi tanpa takut ditolak. Disiplin aku ciptakan sendiri dengan kiblat opini di Kompas cetak. Aku menemukan keasyikan dan kemudahan menuangkan ide. Mencari kata dan makna.
Hingga akhirnya, aku memaksa anakku untuk menjadi Kompasianer. Tulisannya masih sedikit sekali. Aku terus bantu dia berproses. Menulis di Kompasiana merupakan kesempatan yang tidak layak dilewatkan. Â
Kompasiana telah memberikan banyak, tidak hanya untukku tetapi juga bagi 250an ribu lainnya. Menemukan rasa percaya diri, petualangan dan kecintaan dalam dunia menulis. Dunia yang saat ini masih sangat asing di banyak kalangan di Indonesia.