Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Partai Politik Indonesia Layaknya Penyalur Tenaga Kerja Ilegal

10 Oktober 2017   12:52 Diperbarui: 10 Oktober 2017   14:44 2282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dedi Mulyadi yang ingin menjadi gubernur Jawa Barat melaporkan oknum partai Golkar yang meminta uang mahar senilai 10 milyar untuk memuluskan pencalonan dirinya di pemilihan gubernur Jawa Barat 2018. Sumber: news.detik.com

Partai politik penting bagi demokrasi. Partai politik dalam dunia demokrasi merupakan pilar utama. Tanpa partai politik, tidak ada namanya demokrasi. Lalu, apa sebenarnya tugas dan fungsi partai politik sehingga keberadaannya menjadi sangat penting? Terutama dalam demokrasi perwakilan, masyarakat memberikan suaranya kepada wakilnya yang berada di dalam partai politik.

Pippa Morris dari Harvard University dalam jurnalnya Political Parties and Democracy in Theoritical and Practical Perspective (2005) menyatakan bahwa tugas partai politik yakni mengintegrasikan dan memobilisasi masyarakat, mengagregasi kepentingan masyarakat, terlibat dalam pembentukan kebijakan publik, melakukan rekruitmen pimpinan politik dan pengorganisasian parlemen dan pemerintah. 

Lalu, nilai-nilai apa yang dikandung sebuah partai politik dalam menjalankan poltiknya dan juga fungsi perwakilannya? Sudah seharusnya sebuah partai politik memiliki nilai-nilai sesuai dengan  ideologi bangsa. Nilai-nilai ideologi bangsa dimana partai politik itu berada. Jangan membawa ideologi dari luar, apalagi meminjam dan memaksakan. Tidak elok!

Dalam konteks Indonesia, ideologi yang harus diterapkan yakni Pancasila. Ideologi satu-staunya yang sah di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Nilai-nilai yang diterapkan tentunya nilai-nilai Pancasila. Apa itu nilai-nilai Pancasila? Pastinya semua sudah mengetahui. Ada dasar nilai-nilai agama, kemanusiaan dan keadaban, nilai persatuan, permusyarawatan dan juga nilai-nilai keadilan sosial. Semuanya sesuai dengan sila-sila yang ada di Pancasila. Jumlahnya lima. Jangan ditambah, apalagi diubah. Tidak boleh!

Nilai-nilai ini harus menjadi dasar partai politik di Indonesia berdasar Pancasila sebagai ideologi bangsa. Tidak ada nilai-nilai lain yang boleh diterapkan di Indonesia, selain nilai-nilai Pancasila.

Tetapi, ada satu yang mengganjal dan mungkin menjadi perhatian masyarakat luas. Ini soal perilaku partai politik di Indonesia yang sepertinya 'keluar' dari jalur nilai-nilai ideologi Pancasila. Terrefleski dalam proses pemilihan kepala daerah di Indonesia.

Fenomena Pilkada di Indonesia

Pemilihan Kepala Daerah di beberapa daerah sebagai rangkaian pemilihan serentak tahun 2024 akan dilaksanakan tahun depan, 2018. Pilkada tahun depan akan dilaksanakan di 171 daerah; 17 provinsi, 115 kabupaten dan 39 kota. Keramaian ini akan dimulai pada akhir November 2017 dengan pengajuan calon dan diakhiri pada 27 Juni 2018 padahari pencoblosan.

Prosesnya adalah calon kepala daerah harus dicalonkan oleh partai politik. Dengan threshold tertentu sesuai dengan perundang-undangan dan daerah masing-masing. Bukannya mencari calon yang sesuai dengan visi, misi dan cita-cita luhur partai, kebanyakan partai sekarang menunggu para pelamar menjadi 'penguasa' daerah.

Cerita yang sama dan aroma amis yang relatif sama terulang lagi. Benarlah pepatah Perancis itu. Nothing is new under the sun. Begitu bunyinya, kurang lebih, yang bermakna segala sesuatu di bawah matahari adalah sebuah perulangan.

Masih segar dalam ingatan, bagaimana Dedi Mulyadi calon gubernur Jawa Barat mengatakan bahwa ada 'oknum' partai Golkar yang meminta uang mahar senilai 10 milyar untuk memuluskan surat rekomendasi pencalonan dirinya sebagai gubernur Jawa Barat.

Sulit diklarifikasi praktek-praktek seperti ini, karena semuanya lisan. Seperti kentut, terasa baunya tetapi tidak kelihatan bentuk dan sumbernya. Tetapi, untuk hal-hal di luar prosedur, memang dinamikanya seperti itu. Tidak terang. Mengaku mewakili partai. Tetapi partai menolak.

Bahkan partai berbusa-busa mengatakan bahwa tidak ada mahar dalam pencalonan para pemimpin termasuk gubernur, walikota dan bupati. Tetapi, suara-suara galau soal adanya 'permaharan' ini nyaring terdengar. Untuk hal mahar yang beliau teriakkan, Dedi Mulyadi siap dikonfrontasi, seperti disampaikan ke media. Mungkin beliau punya buktinya.

Kembali, klaim-klaim suara-suara galau itu menciptakan gelembung buruk di ujungnya, dimana banyak pemimpin daerah yang terkena kasus korupsi. Kasus korupsi yang ditenggarai dilakukan untuk mengembalikan 'investasi' yang dilakukan dalam masa pencalonan. Lalu, diambil lebih untuk 'investasi' di periode selanjutnya. Tertarik lagi menjadi penguasa satu periode lagi, soalnya kekuasaan itu nikmat.

Bisa jadi 'investasi' ini dilakukan dengan meminjam dari para pemodal. Dimana pada gilirannya pemodal akan meminta kembali 'pinjaman' itu dalam bentuk proyek-proyek pemerintah daerah. Jika seperti ini alur ceritanya, mohon tidak berharap output-nya akan bagus.

Fenomena ini sempat menyeruak sangat kencang di masa-masa awal pemilihan gubernur DKI. Ahok, ketika itu yang ingin ikut dalam pesta demokrasi di ibukota itu, harus memilih ikut lewat jalur independen, karena penolakannya dengan uang mahar ini.

Jalur independen yang mengakibatkan PDIP tersinggung berat. Bahkan Gerindra, partai yang mengusung Ahok pada 2012 pun ditinggalkan karena praktek-praktek partai politik yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dipegang erat oleh Ahok. Ahok berteriak keras soal uang mahar ini. Tetapi, PDIP yang melihat elektabilitas Ahok yang tinggi, akhirnya memilih mencalonkan Ahok. Selanjutnya cerita soal mahar itu pun reda. Bukan berarti praktenya reda juga. Teriakan-teriakan itu masih terdengar sayup-sayup.

Partai lain,  PKS,  menyatakan bahwa partai ini tidak meminta uang mahar. Tetapi lebih kepada uang perjuagan. Uang yang digunakan untuk perjuangan memenangkan calon tersebut. Entah apa pun judulnya, proses yang  dilakukan dalam 'gelap-nya' dunia politik itu, memberatkan calon pemimpin.

Penyalur Tenaga Kerja Ilegal

Tindakan itu mirip-mirip dengan praktek-praktek yang dilakukan oleh agen penyaur tenaga kerja ke luar negeri secara ilegal. Praktek-praktek curang dilakukan. Tarif yang tinggi dikenakan. Paspor bisa dipalsukan. Agen-agen lapangan yang menjajakan nikmatnya bekerja di luar negeri disebarkan. Jika usia terlalu muda, usia bisa dipalsukan. Semua bisa dipalsukan. Nilai transaksi untuk pengurusannya tidak pernah jelas. Selalu tidak ada catatan dan laporan yang terdata.

Jika kemudian tenaga kerja itu meninggal dunia, maka itu urusan pribadi pencari kerja tersebut. Tetapi keinginan yang tinggi untuk mendapatkan pekerjaan, terpaksa mereka melakoni proses gelap untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Setidaknya dalam versi mereka.

Para agensi penyalur ini menyalurkan tenaga kerja lewat prosedur yang tidak transparan dan harga jasa yang ditawarkan tidak jelas dan cenderung lebih mahal serta akibat tanggung sendiri. Kalau kapal tenggelam, ya mati sendiri. Jika tidak sampai ditujuan, ya derita elu. Seperti narasi generasi milenial.

Tidak ada pertanggung-jawaban agen. Pokoknya, hanya menyalurkan keinginan bekerja. Ini diakibatkan tekanan hidup yang luar biasa. Murni hanya sebagai jalur. Tidak ada pengembangan kemampuan dari tenaga kerja itu sendiri.

Dalam sisi yang lain, hal serupa dan mirip terjadi pada pencalonan dan perebutan posisi pemimpin daerah. Banyak yang berniat untuk mendapatkan kekuasaan. Jika para tenaga kerja illegal itu membayar apapun karena tekanan hidup, para 'calon pemimpin' ini mau melakukan transaksi yang 'tidak ada' tetapi 'ada' itu demi mengejar kekuasaan.

Partai hanya menyalurkan keinginan para pencari kekuasaan ini. Partai menjalankan fungsi untuk merekrut pemimpin politik seperti yang disampaikan Pippa Moris di atas. Dalam konteks kontestasi politik di Indonesia, partai politik benar-benar berperilaku seperti penyalur pencari kekuasaan.

Faktanya, tidak ada kader yang benar-benar muncul dari partai dan berjuang dalam mencari jenjang dan menjadi pemimpin dalam kehidupan partai politik yang berbasis nilai-nilai ideologi bangsa. Seharusnya partai politik menjadi kawah candradimuka untuk belajar menjadi negarawan yang pada gilirannya kelak akan menjadi pemimpin bagi semua golongan masyarakat.

Para kader yang kebetulan menjadi pemimpin yang baik dan mendapatkan pengakuan dari masyarakat luas, sama sekali bukan karena pengembangan leadership dan kenegarawanan berbasis nilai-nilai Pancasila yang difasilitasi partai politik dalam waktu yang lama dan berkelanjutan.

Semuanya hanya karena karakter pribadi pemimpin itu sendiri. Bisa kita lihat dalam beberapa sosok yang mendapatkan endorsement dari masyarakat sebagai pemimpin yang amanah dan dinginkan rakyat banyak.

Untuk menyebut nama bisa kita bilang Joko Widodo, Basuki Tjahja Purnama a.k.a Ahok, dan Risma di Surabaya. Ketiga sosok ini benar-benar memiliki leadership selayaknya pemimpin rakyat sebenar-benarnya yang muncul dari pribadi dan kesadaran sendiri.

Tapi, sekali lagi, faktanya teriakan Dedi Mulyadi dari Purwakarta mungkin mewakili banyak pemimpin daerah yang punya ambisi besar untuk mendapatkan kekuasaan. Tidak adanya peluang belajar di partai, terpaksa dipompa dengan proses beauty contest yang didasarkan pada keterkenalan dan bukan pada kemampuan.

Untuk menjadi terkenal ini pun, masih dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Biaya ini di luar biaya 'mahar'. Meskipun katanya biaya yang diberikan ke partai, kalau ada, merupakan amunisi menggerakkan mesin partai untuk memenangkan calon.

Tetapi, karena tidak resmi maka tidak ada jaminan bahwa mesin akan bergerak. Bergerak, tetapi mungkin sekadarnya. Sialnya, jika menang, prestise partai akan meningkat.

"Lalu, siapa yang tertarik kami salurkan?", ujar oknum itu lantang. Suara-suara agen 'gelap' itu menggema di sudut-sudut Indonesia mencari calon penguasa untuk disalurkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun