Sulit diklarifikasi praktek-praktek seperti ini, karena semuanya lisan. Seperti kentut, terasa baunya tetapi tidak kelihatan bentuk dan sumbernya. Tetapi, untuk hal-hal di luar prosedur, memang dinamikanya seperti itu. Tidak terang. Mengaku mewakili partai. Tetapi partai menolak.
Bahkan partai berbusa-busa mengatakan bahwa tidak ada mahar dalam pencalonan para pemimpin termasuk gubernur, walikota dan bupati. Tetapi, suara-suara galau soal adanya 'permaharan' ini nyaring terdengar. Untuk hal mahar yang beliau teriakkan, Dedi Mulyadi siap dikonfrontasi, seperti disampaikan ke media. Mungkin beliau punya buktinya.
Kembali, klaim-klaim suara-suara galau itu menciptakan gelembung buruk di ujungnya, dimana banyak pemimpin daerah yang terkena kasus korupsi. Kasus korupsi yang ditenggarai dilakukan untuk mengembalikan 'investasi' yang dilakukan dalam masa pencalonan. Lalu, diambil lebih untuk 'investasi' di periode selanjutnya. Tertarik lagi menjadi penguasa satu periode lagi, soalnya kekuasaan itu nikmat.
Bisa jadi 'investasi' ini dilakukan dengan meminjam dari para pemodal. Dimana pada gilirannya pemodal akan meminta kembali 'pinjaman' itu dalam bentuk proyek-proyek pemerintah daerah. Jika seperti ini alur ceritanya, mohon tidak berharap output-nya akan bagus.
Fenomena ini sempat menyeruak sangat kencang di masa-masa awal pemilihan gubernur DKI. Ahok, ketika itu yang ingin ikut dalam pesta demokrasi di ibukota itu, harus memilih ikut lewat jalur independen, karena penolakannya dengan uang mahar ini.
Jalur independen yang mengakibatkan PDIP tersinggung berat. Bahkan Gerindra, partai yang mengusung Ahok pada 2012 pun ditinggalkan karena praktek-praktek partai politik yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dipegang erat oleh Ahok. Ahok berteriak keras soal uang mahar ini. Tetapi, PDIP yang melihat elektabilitas Ahok yang tinggi, akhirnya memilih mencalonkan Ahok. Selanjutnya cerita soal mahar itu pun reda. Bukan berarti praktenya reda juga. Teriakan-teriakan itu masih terdengar sayup-sayup.
Partai lain,  PKS,  menyatakan bahwa partai ini tidak meminta uang mahar. Tetapi lebih kepada uang perjuagan. Uang yang digunakan untuk perjuangan memenangkan calon tersebut. Entah apa pun judulnya, proses yang  dilakukan dalam 'gelap-nya' dunia politik itu, memberatkan calon pemimpin.
Penyalur Tenaga Kerja Ilegal
Tindakan itu mirip-mirip dengan praktek-praktek yang dilakukan oleh agen penyaur tenaga kerja ke luar negeri secara ilegal. Praktek-praktek curang dilakukan. Tarif yang tinggi dikenakan. Paspor bisa dipalsukan. Agen-agen lapangan yang menjajakan nikmatnya bekerja di luar negeri disebarkan. Jika usia terlalu muda, usia bisa dipalsukan. Semua bisa dipalsukan. Nilai transaksi untuk pengurusannya tidak pernah jelas. Selalu tidak ada catatan dan laporan yang terdata.
Jika kemudian tenaga kerja itu meninggal dunia, maka itu urusan pribadi pencari kerja tersebut. Tetapi keinginan yang tinggi untuk mendapatkan pekerjaan, terpaksa mereka melakoni proses gelap untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Setidaknya dalam versi mereka.
Para agensi penyalur ini menyalurkan tenaga kerja lewat prosedur yang tidak transparan dan harga jasa yang ditawarkan tidak jelas dan cenderung lebih mahal serta akibat tanggung sendiri. Kalau kapal tenggelam, ya mati sendiri. Jika tidak sampai ditujuan, ya derita elu. Seperti narasi generasi milenial.