Tidak ada pertanggung-jawaban agen. Pokoknya, hanya menyalurkan keinginan bekerja. Ini diakibatkan tekanan hidup yang luar biasa. Murni hanya sebagai jalur. Tidak ada pengembangan kemampuan dari tenaga kerja itu sendiri.
Dalam sisi yang lain, hal serupa dan mirip terjadi pada pencalonan dan perebutan posisi pemimpin daerah. Banyak yang berniat untuk mendapatkan kekuasaan. Jika para tenaga kerja illegal itu membayar apapun karena tekanan hidup, para 'calon pemimpin' ini mau melakukan transaksi yang 'tidak ada' tetapi 'ada' itu demi mengejar kekuasaan.
Partai hanya menyalurkan keinginan para pencari kekuasaan ini. Partai menjalankan fungsi untuk merekrut pemimpin politik seperti yang disampaikan Pippa Moris di atas. Dalam konteks kontestasi politik di Indonesia, partai politik benar-benar berperilaku seperti penyalur pencari kekuasaan.
Faktanya, tidak ada kader yang benar-benar muncul dari partai dan berjuang dalam mencari jenjang dan menjadi pemimpin dalam kehidupan partai politik yang berbasis nilai-nilai ideologi bangsa. Seharusnya partai politik menjadi kawah candradimuka untuk belajar menjadi negarawan yang pada gilirannya kelak akan menjadi pemimpin bagi semua golongan masyarakat.
Para kader yang kebetulan menjadi pemimpin yang baik dan mendapatkan pengakuan dari masyarakat luas, sama sekali bukan karena pengembangan leadership dan kenegarawanan berbasis nilai-nilai Pancasila yang difasilitasi partai politik dalam waktu yang lama dan berkelanjutan.
Semuanya hanya karena karakter pribadi pemimpin itu sendiri. Bisa kita lihat dalam beberapa sosok yang mendapatkan endorsement dari masyarakat sebagai pemimpin yang amanah dan dinginkan rakyat banyak.
Untuk menyebut nama bisa kita bilang Joko Widodo, Basuki Tjahja Purnama a.k.a Ahok, dan Risma di Surabaya. Ketiga sosok ini benar-benar memiliki leadership selayaknya pemimpin rakyat sebenar-benarnya yang muncul dari pribadi dan kesadaran sendiri.
Tapi, sekali lagi, faktanya teriakan Dedi Mulyadi dari Purwakarta mungkin mewakili banyak pemimpin daerah yang punya ambisi besar untuk mendapatkan kekuasaan. Tidak adanya peluang belajar di partai, terpaksa dipompa dengan proses beauty contest yang didasarkan pada keterkenalan dan bukan pada kemampuan.
Untuk menjadi terkenal ini pun, masih dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Biaya ini di luar biaya 'mahar'. Meskipun katanya biaya yang diberikan ke partai, kalau ada, merupakan amunisi menggerakkan mesin partai untuk memenangkan calon.
Tetapi, karena tidak resmi maka tidak ada jaminan bahwa mesin akan bergerak. Bergerak, tetapi mungkin sekadarnya. Sialnya, jika menang, prestise partai akan meningkat.
"Lalu, siapa yang tertarik kami salurkan?", ujar oknum itu lantang. Suara-suara agen 'gelap' itu menggema di sudut-sudut Indonesia mencari calon penguasa untuk disalurkan.