Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bahaya Sekolah Roboh Mengincar Anak-anak Kita

6 September 2017   17:09 Diperbarui: 6 September 2017   22:59 1434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemampuan warga sekolah juga ditenggarai masih rendah dalam hal pemahaman akan pengelolaan bencana. Di samping itu hal tersebut juga tidak menjadi prioritas sekolah. Sebabnya, masih banyak permasalahan lain yang harus dihadapi terlebih dahulu termasuk pengadaan ruang kelas dan kelengkapan sarana dan prasarana belajar serta serta rasio guru murid yang belum memadai. Terlebih lagi di daerah 3T- terpencil, termiskin dan terluar. 

Ruang fiskal pemerintah juga sangat sempit. APBN dengan jumlah 40% yang dialokasi untuk fungsi pendidikan, hanya sekitar 10% yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan. Sempitnya ruang fiskal pemerintah ini juga tidak sebanding dengan jumlah bangunan yang harus direhabilitasi untuk mengurangi kerentanan di hadapan ancaman gempa. Praktek bagi rata dalam program rehabilitasi yang dilakukan, tidak menyelesaikan permasalahan. 

Prioritas juga tidak ada, meskipun Mohammad Hamid, Dirjen Dikdasmen telah menyatakan untuk penyelesaian tuntas. Jika kelas rusaknya 10, yang diperbaiki juga harus 10. Bukan 2 atau 3, yang kemudian dalam catatan kementerian sekolah tersebut telah mendapatkan bantuan rehabilitasi. Lalu, tahun berikutnya, jika programmnya ada, tidak akan mendapatkan bantuan rehabilitiasi lagi, meskipun masih memiliki ruang kelas yang rusak. 

Sayangnya, harapan itu tidak sejalan dengan kemampuan pemerintah. Belum lagi tarik menarik kepentingan dimana daerah menuntut mendapat perlakuan yang sama. Pada akhirnya, praktek bagi rata dana rehabilitasi dilakukan. Ujungnya, proses rehabilitasi bangunan sekolah tidak bisa dilaksanakan secara tuntas, seperti yang diharapkan. 

Program sekolah aman
Upaya pengurangan tingkat risiko bencana dengan mengurangi kerentanan dan menambah kapasitas sekolah di Indonesia dapat diselaraskan dengan gerakan Satu Juta Sekolah dan Rumah Sakit Aman. Gerakan yang dideklarasikan pemerintah Indonesia pada Juli 2010 ini-bagian dari kampanye global United Nations Office for Disaster Risk Reduction (UNISDR) tahun 2009-merupakan gerakan untuk mendorong para pemangku kepentingan membangun sekolah dan rumah sakit aman. 

Sekolah Aman menurut Peraturan Kepala BNPB Nomor 4 Tahun 2012 tentang Pedoman Penerapan Sekolah/Madrasah Aman, yakni sekolah yang menerapkan standar sarana dan prasarana yang mampu melindungi warga sekolah dan lingkungannnya di sekitarnya dari bahaya bencana. 

Sekolah aman dapat dilihat dari dua faktor yakni faktor struktural dan non-struktural. Elemen struktural terkait dengan elemen-elemen fisik, yakni lokasi bangunan, struktur bangunan yang tahan gempa, desain dan penataan kelas, serta sarana dan prasarana kelas yang aman. 

Lokasi harus dipastikan tidak dekat bukit, tidak di kemiringan curam kurang dari 150, dan di tepi sungai bahkan tidak terlalu dekat dengan jalan raya dan rel kereta api. Struktur bangunan harus sesuai dengan standar bangunan tahan gempa yang dikeluarkan Kementerian Pekerjaan Umum No. 29 Tahun 2006 tentang Pedoman Teknis Rumah dan Bangunan Tahan Gempa. Ada juga SNI No. 1726 Tahun 2012 tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan dan Non-Bangunan. 

Bangunan tahan gempa tidak akan runtuh ketika terjadi gempa bumi. Desain kelas harus disesuaikan dengan rasio jumlah murid dan luas ruangan. Sesuai dengan Peraturan Kementerian Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana Sekolah/Madrasah Pendidikan Umum, untuk SD luas ruangan minimum 64m2, SMP dan SMA minimum 64m2. Ini tentunya berimplikasi pada ruang gerak siswa dalam hal evakuasi untuk menyelamatkan diri pada sebuah kejadian gempa. 

Sementara dari aspek non-struktural, terkait pengetahuan, sikap, tindakan dan keterampilan yang dimiliki oleh warga sekolah dalam menghadapi situasi darurat pada kejadian bencana gempa bumi. Dan semuanya itu dituangkan dalam bentuk kebijakan sekolah dan pembentukan organisasi sekolah dalam melakukan pengelolaan risiko bencana di sekolah serta pelatihan dan simulai yang dilakukan secara periodik dan terus menerus untuk membangun budaya sadar bencana. 

Akan tetapi, banyaknya dokumen, petunjuk teknis dan simulasi tidak akan menurunkan tingkat kerentanan bangunan sekolah di hadapan bencana gempa selama tidak ada komitmen yang kuat dari semua pemangku kepentingan untuk menciptakan sekolah aman. Apabila ruang fiskal dari pemerintah tidak mencukupi untuk melakukannya secara serentak, maka perlu dilakukan prioritas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun