Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bahaya Sekolah Roboh Mengincar Anak-anak Kita

6 September 2017   17:09 Diperbarui: 6 September 2017   22:59 1434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: medan.tribunnews.com

Gempa bumi terjadi hampir setiap hari di Indonesia, negara tercinta ini. Risiko bencana gempa ini relatif merata di seluruh Indonesia. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 80% wilayah Indonesia terletak di daerah yang rawan gempa bumi. Bahkan, penelitian terbaru yang dilakukan LIPI, menunjukkan bahwa masih banyak sesar yang belum terpetakan dan menyimpan ancaman bagi keselamatan di semua sektor termasuk pendidikan. 

Kemungkinan angka ini bertambah, sebabnya, pada Juni 2016 terjadi gempa di Kalimantan Tengah dan Barat, yang sebelumnya dianggap aman dari ancaman gempa. Bahkan gempa Pidie Jaya menunjukkan adanya patahan yang belum terpetakan, yang juga menyimpan ancaman dan meningkatkan risiko bangunan sekolah, sesuai Laporan Kaji Cepat Tsunami and Disaster Mitigation and Recovery Center (TDMRC) Universitas Syah Kuala, yang dirilis pada 18 Desember 2016.

Kejadian gempa bumi di Pidie Jaya pada 7 Desember 2016 itu masih menyisakan trauma hingga kini. Gempa yang mengakibatkan korban meninggal 103 orang dan pengungsi 91.267 orang ini, mengakibatkan kerusakan 191 bangunan sekolah. Kita masih beruntung, gempa Pidie Jaya dan gempa lainnya sejak 2000 hingga 2016 terjadi di luar jam sekolah. Bisa dibayangkan jika kejadiannya saat jam sekolah. Dampak yang ditimbulkan akan luar biasa bagi warga sekolah terutama murid-murid. 

Sebagai gambaran dampaknya bisa dilihat dari kejadian gempa Sichuan pada Mei 2008. Gempa terjadi beberapa menit setelah anak-anak masuk sekolah. Menurut laporan pemerintah Cina, seperti diberitakan Guardian edisi 7 Mei 2009 setahun setelah kejadian, gempa Sichuan mengakibatkan korban meninggal dan hilangnya 5.335 murid sekolah. Angka yang dirilis pemerintah ini diragukan berbagai pihak di Cina. Sebab, banyaknya bangunan sekolah yang ambruk sementara bangunan di sekitarnya masih kokoh berdiri. Angka ini juga ditenggarai sebagai politis. Tetapi, dipastikan bahwa banyaknya korban murid-murid karena rentannya bangunan sekolah di hadapan ancaman gempa bumi. 

Kondisi yang rentan dan kapasitas yang rendah meningkatkan risiko ancaman gempa bumi. Gempa bumi setidaknya menjadi salah satu ancaman bencana paling diperhatikan pemerintah dan yang dominan terjadi di Indonesia serta dampak kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan. 

Faktor pencetus kerentanan
Relatif sama dengan di Cina, kerentanan bangunan sekolah di Indonesia ditenggarai disebabkan beberapa faktor, yakni kerusakan karena usia yang sudah melewati masa pakai, kualitas bangunan sekolah yang di bawah standar, pemeliharaan yang buruk dan kapasitas pengelolaan risiko yang tidak memadai di tingkat sekolah. Menurut data Kementerian Pendidikan tahun 2016/2017, dari total jumlah 1.711.051 ruang kelas, 70,11% mengalami kerusakan dengan rincian rusak ringan 55,44%, rusak sedang 5.84%, rusak berat 4.77% dan rusak total 4,06%. Hanya 29.89% yang benar-benar baik. Kerusakan ini meningkatkan kerentanan bangunan. 

Data ini memang masih perlu dicermati, karena kerusakan bangunan sekolah dari segi struktur yang menahan kekuatan gempa tidak terpetakan. Sebabnya, penilaian kerusakannya menggunakan metode visual dan dilakukan kepala sekolah yang belum tentu memiliki kapasitas yang sesuai.Kerusakan yang berkontribusi pada kerentanan bangunan sekolah diperburuk lagi oleh praktek-praktek 'culas' dalam pembangunan, rehabilitiasi dan pemeliharaannya. Belum lama, Sri Hartini, mantan Bupati Klaten tertangkap tangan KPK melakukan jual beli jabatan. Sri Hartini berkolaborasi dengan Kepala Dinas Pendidikannya sebagai 'pengepul' hasil jualannya. Ke belakang, ada kasus penangkapan Yon Anton Ferdian, mantan Bupati Banyuasin, Sumatera Selatan. Kasusnya terkait suap Dinas Pendidikan di daerahnya melalui praktek ijon proyek. 

Bisa dipastikan, praktek di hilirnya akan relatif sama, koruptif. Ujung-ujungnya, kualitas bangunan yang dikorbankan termasuk kualitas dan dimensi material, cara pengerjaan yang asal-asalan termasuk pengawasannya dan bahkan dimensi bangunan seperti ketebalan lantai dan kolom. 

Bangunan-bangunan sekolah yang dibangun di masa Inpres ditenggarai juga memiliki tingkat kerentanan yang tinggi. Menurut Muhammad Hamid, Dirjen Dikdasmen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bangunan sekolah tahun 1970-an-1980-an dibangun seadanya. Termasuk lokasinya yang tidak aman terhadap bencana. 

Bangunan sekolah berlokasi di tepi bukit, sempadan sungai dan juga di kawasan-kawasan yang tidak memadai seperti rawa-rawa yang ditimbun dan tanah persawahan yang dikonversi dengan pemadatan yang tidak maksimal. Ini berakibat bangunan sekolah mengalami penurunan, yang bisa mengakibatkan retaknya bangunan. Genangan air juga kerap muncul yang berpotensi pada kekuatan tulangan. 

Praktek-praktek lain yang mengakibatkan kerentanan sekolah termasuk mulai dari kompleksitas alur birokrasi hingga pemerasan politik. Hal ini diungkapkan Direktur Pembinaan Sekolah Dasar, Wowon Wirdayat. Birokrasi yang rumit mempersulit pihak sekolah untuk meyampaikan laporan. Kepala sekolah yang mendapatkan dana juga sering dijadikan 'sapi perah' oleh pejabat daerah terutama ketika pelaksanaan pemilihan kepala daerah.

Kemampuan warga sekolah juga ditenggarai masih rendah dalam hal pemahaman akan pengelolaan bencana. Di samping itu hal tersebut juga tidak menjadi prioritas sekolah. Sebabnya, masih banyak permasalahan lain yang harus dihadapi terlebih dahulu termasuk pengadaan ruang kelas dan kelengkapan sarana dan prasarana belajar serta serta rasio guru murid yang belum memadai. Terlebih lagi di daerah 3T- terpencil, termiskin dan terluar. 

Ruang fiskal pemerintah juga sangat sempit. APBN dengan jumlah 40% yang dialokasi untuk fungsi pendidikan, hanya sekitar 10% yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan. Sempitnya ruang fiskal pemerintah ini juga tidak sebanding dengan jumlah bangunan yang harus direhabilitasi untuk mengurangi kerentanan di hadapan ancaman gempa. Praktek bagi rata dalam program rehabilitasi yang dilakukan, tidak menyelesaikan permasalahan. 

Prioritas juga tidak ada, meskipun Mohammad Hamid, Dirjen Dikdasmen telah menyatakan untuk penyelesaian tuntas. Jika kelas rusaknya 10, yang diperbaiki juga harus 10. Bukan 2 atau 3, yang kemudian dalam catatan kementerian sekolah tersebut telah mendapatkan bantuan rehabilitasi. Lalu, tahun berikutnya, jika programmnya ada, tidak akan mendapatkan bantuan rehabilitiasi lagi, meskipun masih memiliki ruang kelas yang rusak. 

Sayangnya, harapan itu tidak sejalan dengan kemampuan pemerintah. Belum lagi tarik menarik kepentingan dimana daerah menuntut mendapat perlakuan yang sama. Pada akhirnya, praktek bagi rata dana rehabilitasi dilakukan. Ujungnya, proses rehabilitasi bangunan sekolah tidak bisa dilaksanakan secara tuntas, seperti yang diharapkan. 

Program sekolah aman
Upaya pengurangan tingkat risiko bencana dengan mengurangi kerentanan dan menambah kapasitas sekolah di Indonesia dapat diselaraskan dengan gerakan Satu Juta Sekolah dan Rumah Sakit Aman. Gerakan yang dideklarasikan pemerintah Indonesia pada Juli 2010 ini-bagian dari kampanye global United Nations Office for Disaster Risk Reduction (UNISDR) tahun 2009-merupakan gerakan untuk mendorong para pemangku kepentingan membangun sekolah dan rumah sakit aman. 

Sekolah Aman menurut Peraturan Kepala BNPB Nomor 4 Tahun 2012 tentang Pedoman Penerapan Sekolah/Madrasah Aman, yakni sekolah yang menerapkan standar sarana dan prasarana yang mampu melindungi warga sekolah dan lingkungannnya di sekitarnya dari bahaya bencana. 

Sekolah aman dapat dilihat dari dua faktor yakni faktor struktural dan non-struktural. Elemen struktural terkait dengan elemen-elemen fisik, yakni lokasi bangunan, struktur bangunan yang tahan gempa, desain dan penataan kelas, serta sarana dan prasarana kelas yang aman. 

Lokasi harus dipastikan tidak dekat bukit, tidak di kemiringan curam kurang dari 150, dan di tepi sungai bahkan tidak terlalu dekat dengan jalan raya dan rel kereta api. Struktur bangunan harus sesuai dengan standar bangunan tahan gempa yang dikeluarkan Kementerian Pekerjaan Umum No. 29 Tahun 2006 tentang Pedoman Teknis Rumah dan Bangunan Tahan Gempa. Ada juga SNI No. 1726 Tahun 2012 tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan dan Non-Bangunan. 

Bangunan tahan gempa tidak akan runtuh ketika terjadi gempa bumi. Desain kelas harus disesuaikan dengan rasio jumlah murid dan luas ruangan. Sesuai dengan Peraturan Kementerian Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana Sekolah/Madrasah Pendidikan Umum, untuk SD luas ruangan minimum 64m2, SMP dan SMA minimum 64m2. Ini tentunya berimplikasi pada ruang gerak siswa dalam hal evakuasi untuk menyelamatkan diri pada sebuah kejadian gempa. 

Sementara dari aspek non-struktural, terkait pengetahuan, sikap, tindakan dan keterampilan yang dimiliki oleh warga sekolah dalam menghadapi situasi darurat pada kejadian bencana gempa bumi. Dan semuanya itu dituangkan dalam bentuk kebijakan sekolah dan pembentukan organisasi sekolah dalam melakukan pengelolaan risiko bencana di sekolah serta pelatihan dan simulai yang dilakukan secara periodik dan terus menerus untuk membangun budaya sadar bencana. 

Akan tetapi, banyaknya dokumen, petunjuk teknis dan simulasi tidak akan menurunkan tingkat kerentanan bangunan sekolah di hadapan bencana gempa selama tidak ada komitmen yang kuat dari semua pemangku kepentingan untuk menciptakan sekolah aman. Apabila ruang fiskal dari pemerintah tidak mencukupi untuk melakukannya secara serentak, maka perlu dilakukan prioritas. 

Perilaku korupsi harus dihilangkan untuk menjamin gedung sekolah dibangun sesuai standar dengan pengawasan yang baik dan tentunya pemeliharaan yang diperlukan. Para pelaku korupsi ini harus dikenakan hukuman seberat-beratnya dengan memfaktorkan dampak perbuatannya pada perkembangan generasi muda bangsa ini. 

Pemerintah daerah dan warga sekolah perlu dibangun kapasitasnya dalam mengelola bencana. Kesadaran akan risiko bencana dan dampaknya juga harus terus dikembangkan. Dengan demikian, pembangunan gedung sekolah tidak lagi di daerah yang lokasinya rawan bencana. Program tidak dikorupsi. Ini juga mendorong kreativitas warga sekolah dan masyarakat di sekitarnya untuk menciptakan upaya-upaya pengurangan risiko bencana secara kolektif dan terus-menerus. 

Semua upaya-upaya di atas diharapkan akan menurunkan tingkat kerentanan bangunan sekolah. Sehingga generasi muda bangsa ini dapat mempersiapkan diri menghadapi masa depan dan persaingan yang masih akan kencang, tanpa diganggu rasa takut akibat bangunan sekolahnya yang tiba-tiba rubuh. Juga, kita tentunya tidak ingin mengalami hal yang dialami Cina akibat gempa Sichuan pada Mei 2008. Semoga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun