Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kala Anggaran Dibelokkan dari Pinjaman ke Uang Rakyat

12 April 2017   14:25 Diperbarui: 30 Juli 2017   06:23 712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: baranews.co

Pasca penyiraman air keras ke Novel Baswedan oleh orang tak dikenal pada Selasa (11/4), kasus mega korupsi KTP-el sedikit muncul ke permukaan. Penyidik KPK par excelence ini memang terlibat dalam penyelidikan kasus korupsi yang melibatkan banyak politikus, elit partai, dan juga partai-partai besar. Bahkan hampir seluruh anggota Komisi II DPR tahun 2009-2014 tersebut dalam kasus ini.

Tidak urung, perlawanan dari para ‘aktor’ kasus korupsi yang namanya tercantum dalam berkas persidangan tersangka Irman, Sugiharto dan Miryam, secara sistematis terjadi. Irman, mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil, sudah tersangka. Sugiharto, mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kementerian Dalam Negeri, juga sudah menjadi pesakitan. Miryam, mantan anggota DPR dari partai Hanura, telah terlihat di kursi tersangka.

Bahkan, Badan Keahlian DPR (BKD) melakukan sosialisasi revisi Undang-Undang KPK ke kampus-kampus. Revisi yang berupaya melemahkan. Sosialisasi berwujud seminar bertema Urgensi Revisi Undang-Undang KPK. Upaya revisi Undang-Undang No 30 Tahun 2012 tentang KPK sebenarnya sudah lagu lama. Tetapi, selalu dimunculkan ketika DPR mendapat sorotan negatif atas kerja pemberantasan korupsi KPK.

Tidak berhenti sampai disitu, Fahri Hamzah, wakil ketua DPR, juga menggadang-gadang penyelenggaraan hak angket. Alasan anggota DPR tanpa partai ini menggulirkan hak angket yakni untuk mempertanyakan penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik. Kasus yang juga diduga melibatkan Setya Novanto.

Terlepas dari teror ke penyidik KPK dan nama-nama ‘besar’ yang diduga terlibat, ada satu fakta menarik dari kasus korupsi yang nyaris sempurna ini. Proses perancangan korupsi dimulai dari pembahasan anggaran di DPR hingga pelaksanaannya yang semuanya sudah diatur secara seksama. Para pemenang tender pun sepertinya sudah disiapkan dari awal.

Fakta menraiknya adalah adanya perubahan sumber pembiayaan dari rencana awal yang telah diatur secara seksama. Untuk proyek pengadaan KTP ini, awalnya pembiayaannya diusulkan berasal dari dari pinjaman. Tetapi, akhirnya diubah. Pembiayaan dari APBN murni atau menggunakan uang rakyat. Uang hasil keringat rakyat Indonesia. Disepakati anggaran Rp. 5,9 triyun. Lalu disikat sejumlah Rp. 2,3 trilyun. Pertanyaannya, mengapa sumber pembiayaan itu diubah?

Pinjaman itu Menyusahkan?

Dalam konteks pembiayaan pembangunan di Indonesia, pinjaman menjadi salah satu sumber. Di tengah keterbatasan ruang fiskal pemerintah, pinjaman menjadi penutup defisit anggaran negara. Pinjaman sifatnya bisa unilateral. Misalkan pinjaman Indonesia kepada satu negara, seperti Jepang. Pinjaman juga bisa dari badan-badan multilateral seperti World Bank, Asian Develepment Bank (ADB), Islamic Development Bank (IDB) dan sekarang yang baru muncul Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang digagas negara Cina.

Pinjaman menjadi menarik karena sifatnya tidak komersial, memiliki grace periode yang cukup lama dan tenor puluhan tahun. Bunga pinjaman bahkan di bawah London Inter Bank Overnight Rate(Libor).

Tetapi pinjaman ini tentunya ketat. Pinjaman tidak bisa ‘dimainkan’ karena pihak pemberi pinjaman biasanya memberikan syarat-syarat yang juga ketat. Syarat-syarat ini ditentukan untuk memastikan pinjaman digunakan sesuai tujuan peminjaman. Bahkan World Bank biasanya menyediakan dana hibah untuk melakukan pendampingan pelaksanaan program yang didanai dari pinjaman Bank Dunia.

Terkait susahnya ‘memainkan’ dana pinjaman ini, ada rumor yang beredar di Kementerian Pekerjaan Umum. Kementerian ini, setidaknya dahulu ketika rumor ini beredar, selalu berupaya menggunakan pinjaman sebagai matching fund untuk dana APBN di anggarannya. Pembiayaan pekerjaan Kementerian PU dari APBN murni ditandemkan dengan pinjaman. Anggaran ‘tandem’ tersebut, katanya, pasti tidak akan diotak-atik oleh anggota DPR. Pembiayaan Kementerian PU akan aman dari upaya-upaya menggembosi dana anggaran proyeknya.

Patut diduga, salah satu kemungkinan berubahnya sumber pembiayaan dari pinjaman menjadi APBN murni, adalah faktor di atas. Pasti ada kemungkinan lainnya juga yang tentunya hanya anggota DPR dan ‘aktor’ lainnya yang terlibat, yang tahu.

Pinjaman dan Prudence-nya

Pnjaman-pinjaman yang penuh dengan syarat tersebut tentu baik adanya. Meskipun kadang-kadang cukup ‘menyedihkan’, ketika mengetahui fakta dibaliknya.

Coba lihat pekerjaan MRT yang dibiayai pinjaman dari Jepang. Banyak pekerja tingkat seniornya yang berasal dari Jepang. Jepang ingin memastikan bahwa pekerjaan selesai dan tanpa korupsi. Dengan mempekerjakan orang Jepang, biaya lebih mahal dan sebagian uangnya kembali ke Jepang. Indonesia harus membayar seluruhnya. Ini terkait tentunya dengan ketidakpercayaan kepada kapasitas Indonesia dalam melaksanakan pembangunannya termasuk manajemen proyeknya.

China juga demikian. Sebagai pendatang baru dalam pinjaman dengan AIIB-nya, China menggunakan syarat yang lebih longgar dibandingkan World Bank dan ADB. Akan tetapi, China akan mensyaratkan penggunaan tenaga kerjanya, tidak seluruhnya, untuk menyukseskan proyek yang dibiayai. Apalagi yang modelnya Build Operate Transfer (BOT).

Sementara Asian Development Bank menegaskan perlunya akuntabilitas dengan standar tinggi untuk setiap pinjaman yang diberikan. Mekanisme akuntabilitas bahkan dibuat dalam dokumen sendiri yang diberi judul Kebijakan Mekanisme Akuntabilitas keluaran tahun 2012. Dalam dokumen tersebut tegas disebutkan tentang kepatuhan, proses satu pintu, efisiensi, transparansi dan pengungkapan informasi.

Dengan demikian, setiap pinjaman dari ADB harus melaksanakan prinsip-prinsip di atas secara ketat. Itu menjadi persyaratan akan disetujuinya pinjaman yang diajukan oleh pemerintah Indonesia.

World Bank juga relatif menggunakan pendekatan yang sama. Dalam Project Document yang selalu disiapkan sebelum pinjaman dapat diproses, mekanisme akuntabilitas merupakan hal yang digariskan dengan tegas.

Di dalam Project Dcoument, atau sejenisnya, dicantumkan kerangka kerja, monitoringnya, besaran biaya secara rinci, manajemen keuangan (financial management), manajemen pencairan (disbursement management), dan manajemen pengadaan (procurement management). Indikator-indikator, output dan otucome proyek juga dijabarkan secara rinci. Manfaat pinjaman serta risiko yang muncul dari berbagai faktor juga diidentifikasi. Monitoring tata kelola pinjaman juga ditentukan dan disyaratkan.

Tentunya dengan adanya berbagai aturan dan syarat pinjaman, akan membantu pelaksanaan kegiatan mencapai tujuan yang diharapkan. Tujuan dari pinjaman tentunya menjadi hal yang harus pertama kali dijabarkan, baru kemudian dilakukan kelayakan pinjaman oleh pemberi pinjaman.

Biasanya, waktu yang diperlukan sejak mengajukan pinjaman hingga realisasi memerlukan waktu yang lama. Prosesnya bahkan bisa sampai 2 tahun. Banyak diskusinya terkait hal-hal yang memastikan bahwa pinjaman akan digunakan dengan tepat sesuai dengan tujuan, output dan outcome yang ditentukan.

Menjadi jelas kemudian, dengan waktu yang relatif lama dalam perencanaan dan ruang sempit ‘manuver’ untuk memainkan pembiayaan dari pinjaman, bisa jadi motivasi para perancang proyek pengadaan KTP-el itu mengubah sumber pembiayaan dari pinjaman menjadi APBN murni.

Sementara dengan APBN murni, para perancang korupsi itu yakin semuanya bisa diatur. Mereka percaya pada pendapat yang mengatakan bahwa jika “What’s in it for me”-nya jelas untuk setiap ‘aktor’, maka proyek akan mulus dan berjalan lancar.

Tetapi, sayangnya para perancang korupsi ini lupa bahwa ada pepatah yang mengatakan sebaik-baiknya menyimpan bangkai, akan kecium juga. Bau korupsinya sudah meruap. Sekarang tinggal KPK yang bekerja keras.

Upaya menelikung dengan mengubah sumber pembiayaan, ternyata hanya akal bulus memuluskan ‘pencurian’. Karena menurut mereka pinjaman itu susah ditelikung, sementara APBN murni dapat dengan mudah digasak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun