Kerjasama apik demi memuaskan keinginan dirancang sejak APBD mulai dianggarkan. Siapa mendapat apa dan berapa seperti satu-satunya algoritma yang digunakan dalam menyusun anggaran belanja pemerintah. Praktek-praktek curang ini berjalan seperti sesuatu yang selayaknya. Tanpa kata, tanpa bunyi, harta tiba-tiba menggelembung.
Ahok dengan ‘Nenek Lu’-nya
Lalu, tibalah masanya Ahok menjadi penguasa Jakarta. Penguasa atas APBD dan pajak-pajak rakyat Jakarta yang membuat air liur para ‘pencuri’ itu meluncur deras. Ahok yang masih baru dan asing, tentunya lebih gampang diperas.
Ternyata pada pemain itu salah sangka. Ahok dengan kegarangan yang muncul entah dari mana, dengan gagah menolak segala keinginan para elit itu. Ahok memotong segala jalur yang mungkin digunakan untuk mengeruk uang rakyat Jakarta. Jumlahnya ngga kira-kira. Jumlah yang membuat orang akan terbelalak. Sebegitu tega kah mereka?
Ketika kemudian Ahok menemukan upaya curang mencuri uang penduduk Jakarta, dia pun murka. Di lembar-lembar dokumen APBD, Ahok secara lugas menuliskan, “Tidak bisa!”, “Gila”, dan “Nenek Lu”.
Melihat tulisan itu, meledaklah amarah mereka yang merasa akan kehilangan kesempatan mewujudkan keinginan dan mimpi-mimpi indah tentang memegang kekuasaan dan kekuatan. Para anggota dewan berupaya menjegal Ahok dengan melakukan berbagai upaya. Mereka mencoba menjegal Ahok dengan hak Angket. Upaya ini gagal dan hilang ditiup angin. Langkah anggota dewan selanjutnya mencoba melakukan penolakan rapat kerja dengan eksekutif untuk mengesahkan APBD. Perseteruan ini sampai hingga ke Menteri Dalam Negeri.
Mungkin upaya untuk mengurangi rasa malu pihak yang bersalah, oleh Kemendagri para pihak dipersilahkan untuk bertemu lagi. Masih ada upaya untuk mengajak ‘berdamai. Ahok tidak mau. Perda APBD gagal. Ahok menggunakan senjata pamungkas dengan mengeluarkan Pergub untuk menjalankan APBD.
Akhirnya pelayanan publik bisa berjalan, dan anggota DPRD-nya murka abadi. Setiap ada kesempatan untuk menyerang Ahok akan digunakan. Terlebih ketika Ahok akan menjadi gubernur menggantikan Jokowi menjadi presiden, Ahok pun diserang tanpa ampun. Tetapi, mereka gagal lagi.
Ahok tidak hanya menentang anggota DPRD, tetapi juga membersihkan lingkungan pasukannya dari para pencuri dan para pihak yang bekerja sama curang dengan para anggota dewan. Pembersihan mengakibatkan penurunan pangkat, pemecatan, pemidanaan dan tentunya promosi. Ahok juga meningkatkan kesejahteraan para punggawanya. Ahok sadar, jika dituntut banyak, bawahannya juga harus diappresiasi baik.
Salahnya Ahok Apa?
Sebenarnya Ahok tidak perlu ribut melulu dengan anggota DPRD. Sampai kapan pun anggota DPRD yang itu-itu-saja itu akan selalu mencari kesalahan dan celah untuk menjatuhkan Ahok. Ahok si penjegal harus dijegal. Itu slogannya, mungkin. Pundi-pundi yang mengering ternyata membuat hati panas dan tuntutan ‘beban’ jabatan yang tidak kunjung terpenuhi.