[caption caption="Ahok dan Masyarakat yang Dilayaninya. Sumber: islamnkri.com"][/caption]Sebanyak 250.000 pekerja kontrak Pemda Jakarta akan mendapatkan jaminan kesehatan. Iuran 5,7% dari gaji dibayarkan oleh pemerintah Jakarta. Pembayaran jaminan kesehatan ini dianggarkan di APBD. Tidak ada potongan dari gaji para pekerja tersebut yang sudah menerima Upah Minimum Regional Jakarta.
Dengan ikut kepersertaan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan ini, maka jika seorang pekerja sakit, BJPS yang akan bertanggung-jawab membiayai seluruh biaya pengobatan tanpa batas maksimum. Jika pekerja meninggal, anak-anaknya mendapat beasiswa dan santunan kematian hingga Rp. 24 juta.
Begitulah berita Harian Kompas tertanggal 17 Maret 2016. Pembayaran jaminan kesehatan pekerja kasar tersebut merupakan inisiatif dari Gubernur Jakarta. Para pekerja lepas tersebut merupakan pekerja harian yang bekerja sebagai tukang sapu jalan, penggali kubur dan pekerja PPSU – Penanganan Sarana dan Prasarana Umum. Para pekerja lepas ini sangat gembira dengan kebijakan Ahok ini. Uang gaji yang utuh mereka terima dan tunjangan kesehatan serta tunjangan-tunjangan lainnya yang membuat hidup mereka menjadi lebih mudah. Sungguh nikmat mereka rasakan.
Itu merupakan sebagian kecil unjuk kinerja Gubernur Ahok. Cerita mengenai perbaikan-perbaikan yang dilakukan Ahok sudah banyak diceritakan media, baik cetak maupun online. Kinerja yang ditunjukkan Ahok ini tentunya bukanlah sesuatu yang mudah dan terjadi begitu saja dalam waktu yang singkat. Pencapaian ini penuh dengan perjuangan menghadapi perlawanan yang muncul. Kita bisa melihatnya sejenak ke belakang.
Ahok dan Jokowi, yang terpilih pada pilkada Jakarta tahun 2012, langsung bekerja. Pasangan ini menerima limpahan pekerjaan dari gubernur sebelumnya, dan juga masalah tentunya. Masalah di Jakarta sebagai ibukota negara sangatlah banyak.
Untuk melihat kinerja Ahok, yang juga menerima limpahan dari Jokowi, kita menggunakan pedekatan Input Process Output. Hal ini digunakan untuk melihat bahwa yang dikerjakan Ahok menunjukkan kinerja yang luar biasa. Permasalahan dan kerumitan yang diwariskan gubernur sebelumnya sebagai input, program dan kerja Ahok mengatasinya sebagai proses dan capaian sementara ini sebagai output. Sebagian dituliskan.
Aspek input dilihat dari kondisi yang diterima oleh Jokowi—Ahok setelah memenangkan Pilkada Jakarta tahun 2012. Jika ditanyakan kepada para penduduk Jakarta kira-kira apa yang menjadi masalah yang menonjol di Jakarta, maka dengan mudah mereka menyebutkan masalah utama di Jakarta, yakni kemacetan, banjir, transportasi yang semrawut,
penyerobotan lahan, kemiskinan, kekumuhan dan tingkat kejahatan yang tinggi. Kemudian jika diulik lagi, kira-kira apa yang mengakibatkan terjadinya setidaknya masalah-masalah di atas, maka akan muncul fakta; mentalitas pejabat yang buruk, pemalas, tingkat korupsi ekstrim, kolusi dan nepotisme yang tinggi serta pejabatnya yang santun tetapi ‘sikat kiri-sikat kanan’. Akrobat para pejabat ini sering sekali berkelindan akrab dengan minat dan kekuasaan yang dimiliki oleh DPRD. Belum lagi benturan kepentingan karena banyak pejabat yang berkuasa dan pemilik bisnis raksasa, petinggi-petinggi partai yang secara hirarkis dan ‘hirarkirs’ lebih tinggi dari gubernur, berada di Jakarta. Itulah ‘modal awal’ yang harus diterima Jokowi-Ahok. Modal yang benar-benar minus.
Pada aspek proses, yang paling menonjol adalah pola kerja micro management yang diterapkan Jokowi dan didukung Ahok. Pimpinan harus tahu di kondisi di lapangan. Sistem ‘ABS’ sudah tentu tiba-tiba menjadi usang dan tidak berguna di era Jokowi-Ahok ini. Turun ke lapangan yang dikenal dengan istilah blusukan merupakan metode jitu yang diterapkan. Ini perlu untuk memetakan kondisi lapangan dan membandingkan dengan kondisi administratifnya. Ternyata banyak sekali laporan tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Staf pemerintah banyak yang malas dan hanya mengandalkan kekuatan ‘lobby’ untuk menyelesaikan pekerjaan. Keputusannya adalah babat semua staf yang curang, malas dan tidak berkinerja ataupun tidak menunjukkan berpotensi berkinerja.
Selanjutnya, diperlukan modalitas pendanaan yang cukup untuk membiayai program-program yang dijalankan untuk mengatasi masalah yang disebutkan sebelumnya. Tentunya modalitas itu ada di APBN yang dikerahkan dari kekuatan finansial Jakarta.
Darimana sumber finansial untuk membiayai itu. Tentunya dari ‘uang siluman’ yang tidak jadi siluman. Dari biaya ‘lobster’ yang tidak jadi dibeli. Dari tunjangan dinas yang tidak jadi naik. Penghapusan upeti—upeti yang selama ini merusak. Dari efisiensi yang dilakukan oleh Jokowi-Ahok, meskipun penyerapan APBD rendah. Dari menghilangkan jabatan wakil lurah dan lebih dari 1500 jabatan di Pemda DKI Jakarta. Dari penghentian pemborosan anggaran yang dilakukan oleh aparat pemerintah sebelumnya. Dari bersinergi dengan para pejabat jujur dan bekerja keras yang dilakukan dari proses yang keras pula.
Langkah inilah yang sangat dibenci oleh banyak pihak. Tiba-tiba keran ‘APBD’ tertutup bagi ‘pemain APBD”. Bagi-bagi komisi dimatikan dan pat-gulipat dihapus. Setoran ke pejabat dimusnahkan. Pajak-pajak dijernihkan prosesnya.
Hasilnya, meluncurlah proyek MRT salah satunya. Mega proyek yang telah direncanakan selama puluhan tahun bisa dilaksanakan Jokowi-AHok di masa pemerintahan tahun pertamanya. Light Railway juga digerakkan. Proyek-proyek lain juga di kebut; pengerukan sungai, waduk dan sodetan Ciliwung untuk mengatasi banjir. Aspek kesejahteraan masyarakat diperhatikan. Kartu-kartu sakti bermunculan untuk membantu masyarakat menangani kebutuhan dasarnya. Serangan-serangan tentunya tidak berhenti. Jokowi-Ahok pun tidak bergeming. APBD dikunci dengan menggunakan sistem e-catalogue dan e-budgetting. Ijin-ijin dilewatkan satu pintu. Lelang terbuka dan transparan. Pejabat yang melakukan korupsi dipenjarakan.
Pasca Jokowi menjadi presiden, Ahok diangkat menjadi gubernur Jakarta. Tentunya dengan cara yang tidak mudah. Terlalu banyak aspek yang tidak mendukung Ahok. Tapi semuanya itu lewat, dihadapi Ahok dengan tabah. Ahok meneruskan program Jokowi, bahkan Ahok mengganas. Pejabat-pejabat malas diberi kartu merah, dan distafkan, yang korupsi ‘dipermalukan’. Gelisah di pemerintah Jakarta berkelindan dengan ‘kecongkakan’ yang ditunjukkan oleh DPRD. APBD DKI dipermainkan. Dana-dana siluman dimasukkan. Ahok melawan semuanya. Ahok kembali jadi juaranya.
Banyak yang mungkin tidak tahu, ketika Ahok mengeluarkan Peraturan Gubernur untuk APBD tahun 2015, adalah kemenangan terbesar Ahok. Ini karena Ahok tidak mau tunduk kepada permainan DPRD. Tidak ada namanya sunat-sunatan dan siluman-silumanan. Pergub ini menjadi suatu prestasi Ahok dengan risiko tinggi, karena harus berhadapan dengan DPRD dan Kementerian Dalam Negeri. Sekali lagi, Ahok tidak bergeming. Langkah-langkah selanjutnya juga tidak menjadi mudah. Banyak program pemerintah DKI yang dimainkan untuk menekan Ahok dengan isu-isu yang tidak berdasar.
Relokasi warga ke tempat yang lebih baik diributkan dengan mengadakan demo besar-besaran yang berakibat rusuh seperti di Kampung Pulo. Relokasi warga dari Kampung Pulo untuk perbaikan kali Ciliwung dalam rangka mengatasi banjir Jakarta ternyata mengganggu kepentingan para penguasa lokal. Negara tidak boleh kalah. Dalam prinsip ini, Ahok melakukan relokasi ke rumah susun yang lebih manusiawi. Itu adalah pilihan yang paling realistis. Banjir Jakarta semakin mengancam dan lahan semakin mengecil. Tata ruang harus dikembalikan ke peruntukan asalnya. Ada juga kasus yang ‘masih’ dipelihara, Sumber Waras. Cuma saat ini lagi redup untuk sementara waktu, karena para pihak penentang menemukan isu baru, kantor Teman Ahok.
Sekarang, sudah semakin kelihatan nikmat yang dirasakan oleh penduduk Jakarta. Banjir masih ada, tetapi tidak separah sebelumnya. Gorong-gorong dibersihkan. Saluran-saluran air dikeruk. Sungai-sungai dirapihkan. Proyek infrastruktur terus diperbaiki. Transportasi publik mendapat porsi perhatian yang besar. Bus-bus hancur sudah diganti dengan yang lebih baik. Penumpang sudah mendapatkan kendaraan yang layak. Perizinan tidak bertele-tele. Pajak PBB rumah di bawah satu milyar digratiskan. Anak-anak mendapat Kartu Jakarta Pintar. Anak Jakarta yang masuk perguruan tinggi negeri akan diberikan beasiswa Rp. 18 juta per tahun. Masyarakat miskin dapat dengan nyaman mengobati penyakitnya. Segitu dulu daftarnya.
Tentunya, semuanya masih berproses. Masalah masih banyak, tetapi arah perbaikannya sudah jelas. Ahok telah melihat arahnya. Ahok telah melihat tujuannya dan jalurnya.
Sama seperti Bodhi di film Point Break ketika dia akan melakukan free climbing di air terjun Angel Falls yang berketinggian hampir 1 kilometer, dengan air yang menghujam dari ketinggian lebih dari 800 m. Tinggi dan mendebarkan. “I see my line” ujar Bodhi sebelum memanjatnya. Memanjat dinding dengan tangan kosong dan tanpa peralatan, hanya keyakinan bahwa dia melihat arahnya.
Ahok memiliki keyakinan itu. Keyakinan untuk memperbaiki Jakarta dan meningkatkan taraf hidup masyarakat bawahnya dengan tiga prioritas penanganan masalah banjir, kemacetan dan korupsi. Tiga prioritas utama yang beranak pinak karena untuk membereskan tiga masalah utama itu, Ahok harus membereskan banyak hal, termasuk mentalitas pegawai pemerintahan Jakarta dan para ‘penguasa’ lainnya.
Apakah fakta di atas sudah bisa digunakan mengukur kinerja Ahok? Beberapa waktu lalu ada yang juga mempertanyakan keberhasilan Ahok pada komentar artikel lainnya, karena belum diukur dengan Cost Benefit Analysis. Cost Benefit Analysis ini belum bisa dilakukan untuk mengukur kinerja Ahok karena baru berjalan. Sebenarnya, terlalu jauh juga bicara soal Cost and Benefit Analysis ini, meskipun itu metode yang valid. Selain itu, karena ini terkait pelayanan publik, maka untung ruginya agak sukar untuk diukur.
Kalau mau bukti, coba lihat adegan pembuka film San Andreas keluaran 2015. Berapa banyak uang yang dikeluarkan untuk menolong satu warga yang terjepit di jurang akibat gempa bumi? Coba dihitung sendiri. Untung ruginya tidak dihitung, karena itu dalam konteks pelayanan publik. Dengan demikian, dalam konteks tulisan ini, fakta yang berbicara sudah bisa digunakan untuk mengukur kinerja Ahok.
Indikator-indikator yang digunakan sederhana saja. Adanya perbaikan-perbaikan yang dirasakan oleh masyarakat, tentunya sudah dapat digunakan sebagai alat ukur kinerja Ahok. Sistem yang semakin baik, masyarakat mendapatkan perhatian dan menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, termasuk tata ruang yang dikembalikan ke peruntukannya.
Dengan semua fakta yang ada, kinerja Ahok ini mampu melelehkan hati hampir 800 ribuan penduduk Jakarta, dan mungkin lebih. Setidaknya, itu kalau dilihat dari KTP yang diserahkan ke Teman Ahok. Belum lagi dukungan public figure, tokoh bangsa dan penduduk Indonesia di provinsi lain. Mereka yang bukan dari Jakarta bahkan mendukung Ahok menjadi Gubernur Jakarta untuk periode kedua. Kata mereka, seandainya mereka ber-KTP Jakarta, mereka akan memilih Ahok. Mereka juga mengatakan, jika Ahok tidak diterima di Jakarta, Ahok akan diterima dengan tangan terbuka menjadi gubernurnya. Dukungan ini juga ditunjukkan melalui pembelian merchandise yang dijual Teman Ahok.
Sudah barang tentu ini berkat pekerjaan yang dilakukan dengan sepenuh hati, jujur dan ambisius mensejahterakan masyarakat Jakarta melalui pelayanan publik yang berkualitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H