Langkah inilah yang sangat dibenci oleh banyak pihak. Tiba-tiba keran ‘APBD’ tertutup bagi ‘pemain APBD”. Bagi-bagi komisi dimatikan dan pat-gulipat dihapus. Setoran ke pejabat dimusnahkan. Pajak-pajak dijernihkan prosesnya.
Hasilnya, meluncurlah proyek MRT salah satunya. Mega proyek yang telah direncanakan selama puluhan tahun bisa dilaksanakan Jokowi-AHok di masa pemerintahan tahun pertamanya. Light Railway juga digerakkan. Proyek-proyek lain juga di kebut; pengerukan sungai, waduk dan sodetan Ciliwung untuk mengatasi banjir. Aspek kesejahteraan masyarakat diperhatikan. Kartu-kartu sakti bermunculan untuk membantu masyarakat menangani kebutuhan dasarnya. Serangan-serangan tentunya tidak berhenti. Jokowi-Ahok pun tidak bergeming. APBD dikunci dengan menggunakan sistem e-catalogue dan e-budgetting. Ijin-ijin dilewatkan satu pintu. Lelang terbuka dan transparan. Pejabat yang melakukan korupsi dipenjarakan.
Pasca Jokowi menjadi presiden, Ahok diangkat menjadi gubernur Jakarta. Tentunya dengan cara yang tidak mudah. Terlalu banyak aspek yang tidak mendukung Ahok. Tapi semuanya itu lewat, dihadapi Ahok dengan tabah. Ahok meneruskan program Jokowi, bahkan Ahok mengganas. Pejabat-pejabat malas diberi kartu merah, dan distafkan, yang korupsi ‘dipermalukan’. Gelisah di pemerintah Jakarta berkelindan dengan ‘kecongkakan’ yang ditunjukkan oleh DPRD. APBD DKI dipermainkan. Dana-dana siluman dimasukkan. Ahok melawan semuanya. Ahok kembali jadi juaranya.
Banyak yang mungkin tidak tahu, ketika Ahok mengeluarkan Peraturan Gubernur untuk APBD tahun 2015, adalah kemenangan terbesar Ahok. Ini karena Ahok tidak mau tunduk kepada permainan DPRD. Tidak ada namanya sunat-sunatan dan siluman-silumanan. Pergub ini menjadi suatu prestasi Ahok dengan risiko tinggi, karena harus berhadapan dengan DPRD dan Kementerian Dalam Negeri. Sekali lagi, Ahok tidak bergeming. Langkah-langkah selanjutnya juga tidak menjadi mudah. Banyak program pemerintah DKI yang dimainkan untuk menekan Ahok dengan isu-isu yang tidak berdasar.
Relokasi warga ke tempat yang lebih baik diributkan dengan mengadakan demo besar-besaran yang berakibat rusuh seperti di Kampung Pulo. Relokasi warga dari Kampung Pulo untuk perbaikan kali Ciliwung dalam rangka mengatasi banjir Jakarta ternyata mengganggu kepentingan para penguasa lokal. Negara tidak boleh kalah. Dalam prinsip ini, Ahok melakukan relokasi ke rumah susun yang lebih manusiawi. Itu adalah pilihan yang paling realistis. Banjir Jakarta semakin mengancam dan lahan semakin mengecil. Tata ruang harus dikembalikan ke peruntukan asalnya. Ada juga kasus yang ‘masih’ dipelihara, Sumber Waras. Cuma saat ini lagi redup untuk sementara waktu, karena para pihak penentang menemukan isu baru, kantor Teman Ahok.
Sekarang, sudah semakin kelihatan nikmat yang dirasakan oleh penduduk Jakarta. Banjir masih ada, tetapi tidak separah sebelumnya. Gorong-gorong dibersihkan. Saluran-saluran air dikeruk. Sungai-sungai dirapihkan. Proyek infrastruktur terus diperbaiki. Transportasi publik mendapat porsi perhatian yang besar. Bus-bus hancur sudah diganti dengan yang lebih baik. Penumpang sudah mendapatkan kendaraan yang layak. Perizinan tidak bertele-tele. Pajak PBB rumah di bawah satu milyar digratiskan. Anak-anak mendapat Kartu Jakarta Pintar. Anak Jakarta yang masuk perguruan tinggi negeri akan diberikan beasiswa Rp. 18 juta per tahun. Masyarakat miskin dapat dengan nyaman mengobati penyakitnya. Segitu dulu daftarnya.
Tentunya, semuanya masih berproses. Masalah masih banyak, tetapi arah perbaikannya sudah jelas. Ahok telah melihat arahnya. Ahok telah melihat tujuannya dan jalurnya.
Sama seperti Bodhi di film Point Break ketika dia akan melakukan free climbing di air terjun Angel Falls yang berketinggian hampir 1 kilometer, dengan air yang menghujam dari ketinggian lebih dari 800 m. Tinggi dan mendebarkan. “I see my line” ujar Bodhi sebelum memanjatnya. Memanjat dinding dengan tangan kosong dan tanpa peralatan, hanya keyakinan bahwa dia melihat arahnya.
Ahok memiliki keyakinan itu. Keyakinan untuk memperbaiki Jakarta dan meningkatkan taraf hidup masyarakat bawahnya dengan tiga prioritas penanganan masalah banjir, kemacetan dan korupsi. Tiga prioritas utama yang beranak pinak karena untuk membereskan tiga masalah utama itu, Ahok harus membereskan banyak hal, termasuk mentalitas pegawai pemerintahan Jakarta dan para ‘penguasa’ lainnya.
Apakah fakta di atas sudah bisa digunakan mengukur kinerja Ahok? Beberapa waktu lalu ada yang juga mempertanyakan keberhasilan Ahok pada komentar artikel lainnya, karena belum diukur dengan Cost Benefit Analysis. Cost Benefit Analysis ini belum bisa dilakukan untuk mengukur kinerja Ahok karena baru berjalan. Sebenarnya, terlalu jauh juga bicara soal Cost and Benefit Analysis ini, meskipun itu metode yang valid. Selain itu, karena ini terkait pelayanan publik, maka untung ruginya agak sukar untuk diukur.
Kalau mau bukti, coba lihat adegan pembuka film San Andreas keluaran 2015. Berapa banyak uang yang dikeluarkan untuk menolong satu warga yang terjepit di jurang akibat gempa bumi? Coba dihitung sendiri. Untung ruginya tidak dihitung, karena itu dalam konteks pelayanan publik. Dengan demikian, dalam konteks tulisan ini, fakta yang berbicara sudah bisa digunakan untuk mengukur kinerja Ahok.