Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Dashboardku Hilang, Kemanaku Mengadu

3 Maret 2016   00:01 Diperbarui: 13 April 2016   11:39 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Sudah sejak lama aku ingin mampu menulis seperti mereka-mereka yang tulisannya muncul di rubrik opini di Kompas cetak. Aku cermati kata-kata mereka dengan baik. Kata-kata bermakna dengan runtutan yang tertata dan memberikan pencerahan. Para penulis ini datang dari berbagai kalangan. Pendidik, akademis, mantan pejabat, budayawan, mereka memiliki latar yang bervariasi. Mereka memiliki sudut pandang yang berbeda dalam melihat sesuatu. Latar belakang pendidikan dan pengalaman hidup menjadikan tulisan mereka bernilai dan bernas.

Kualitas di rubrik opini di kompas cetak tentunya ‘jauh lebih tinggi’ dari tulisan-tulisan yang ada di kompasiana ini. Karena tulisannya harus benar-benar memiliki nilai tertentu yang menurut saya mendidik, mencerahkan dan tidak menjelek-jelekkan pihak manapun, walau sering mengkritik kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah. Di samping itu, persaingan tinggi karena hanya tersedia 4-5 rubrik setiap harinya.

Keinginan yang kuat untuk menghasilkan tulisan di kompas cetak suatu saat, mendorong untuk selalu belajar menulis. Beberapa kursus menulis aku ikuti untuk memastikan saya punya dasar yang benar dalam menulis. Aku sedikit berbagi soal memahami dasar-dasar dan cara-cara yang benar. Sama seperti dulu aku ikut kursus berenang,  ketika usia tidak muda lagi. Sebelum kursus, cara berenangku tidak seindah gaya renang temanku yang kursus. Tentu saja tidak sama, karena aku belajar berenang di sungai di kampung sana dan kadang-kadang merenangi sungai yang banjir, sementara rekanku itu belajar renang di kompleks perusahaan minyak yang dulu sangat terkenal di Riau sana. Sehingga gaya berenangku adalah gaya bebas, bebas sekali. Hingga menjelang usia 30-an, aku belajar berenang untuk bisa berenang dengan gaya bebas yang benar.

Hal yang sama aku lakukan dalam dunia menulis ini. Sejak dulu sudah ingin menulis. Mulai dari puisi, cerpen, cerita pokoknya menulis. Pernah membuat blog untuk menampung tulisanku, tetapi tulisan yang aku buat tidak pernah selesai. Selalu berakhir di paragraph pertama dan selanjutnya  kehilangan arah dan ide. Hal ini berlangsung cukup lama. Keinginan itu tetap terkubur dengan baik. Hingga kemudian aku menemukan kompasiana yang setidaknya tidak sekompetitif kompas cetak, walau tetap masih belum berani memuat. Aku akan terus ikut pelatihan menulis. Dua minggu ini juga, aku akan ikut lagi kursus menulis.

Pada tahun Juli 2014 aku bergabung dengan kompasiana dan berharap bisa menghasilkan tulisan. Tulisan-tulisan yang aku coba buat tetap tidak selesai. Aku selalu berfikir dan takut tulisanku akan buruk.  Tulisanku lebih buruk dari yang lain.  Tulisanku tidak mengikuti plot yang benar dan masih banyak lagi perkara-perkara yang berkecamuk di kepalaku hingga pada akhirnya tidak satupun tulisan terselesaikan dan pernah dimuat di kompasiana. Perkara-perkara yang berkecamuk itu menciptakan perkara psikologi lain yang akhirnya muncul sebagai rasa tidak percaya diri. Aku merasa tulisan saya tidak pernah layak untuk dimuat di kompasiana.

Ada teman yang menyarankan. Coba rekam ide kamu, lalu transfer ke dalam tulisan. Bicara dalam waktu 5 menit, maka akan terbentuk tulisan sebanyak 3 halaman atau sekitar lebih dari 1000-an kata. Aku tidak melakukannya, karena proses transcribing adalah proses yang melelahkan mengingat pengalaman ketika membuat tesis. Akan tetapi keinginan untuk memunculkan tulisan di kompasiana masih terus membakar di dalam diri dan hatiku.

Pasca mengikuti kursus menulis, ada satu hal yang aku ingat. Pesan yang disampaikan instruktur adalah tulislah sesuatu yang dekat dengan dirimu. Tulis aja dulu. Jangan berfikir soal tulisan ini bagus atau tidak. Menuliskan adalah satu hal, dan harus dilakukan, lalu tentang plot serta cara menulis yang baik akan muncul dengan sendirinya. Bukankah pepatah mengatakan practice makes perfect.

Seusai kursus itu, aku menuliskan pengalamanku. Pengalaman yang sangat dekat dengan diriku dan kulakukan setiap hari. Aku menulis tentang transportasi publik di Jakarta. Setelah aku coba menuliskan semuanya hingga akhirnya bingung soal apakah tulisan sudah selesai atau belum. Aku tinggalkan tulisan itu. Hingga beberapa bulan kemudian, aku baca kembali. Aku susun kembali. Aku periksa kata demi kata dan kalimat demi kalimat. Aku sangat hati-hati supaya tidak menuduh orang lain dan menjelek-jelekkan orang lain apalagi menghina, karena kasus Ongen masih dengan jelas membayang di ingatan.

Setelah hampir dua tahun aku menjadi anggota kompasiana, mengikuti nasehat instruktur kursus menulis, akhirnya pada 21 Februari 2016 menjelang tengah malam, aku memberanikan diri untuk menayangkan tulisanku di kompasiana. Seperti menunggu hasil pancingan ikan di kolam tetanggaku yang kulakukan sembunyi—sembunyi, aku esoknya melihat tulisanku itu. Aneh, kok jadi ada gambarnya, padahal aku tidak memuat gambar. Itu kesan pertama yang aku temui karena memang aku sama sekali belum mengerti banyak tentang kompasiana ini. Tulisan perdana itu berhasil menjadi headline dan pilihan. Tulisan yang telah menembus ketakutanku itu, berhasil menjadi headline, dengan jumlah yang melihat mungkin membaca 683. Senang, bangga dan seperti bermimpi. Malam setelah aku menayangkan tulisanku, aku tidak bisa tidur. Banyak pertanyaan yang berputar di kepalaku. Padahal di awal Januari 2016 lalu, menjelang sidang tesisku, aku bisa tidur dengan pulas. Tetapi tidak demikian setelah aku menayangkan tulisan perdanaku itu.

Selanjutnya, ide-ide seperti berloncatan dari kepalaku. Setiap aku memandangi keluar dari jendela bus transjakarta yang aku tumpangi, ada saja ide yang muncul. Judul-judul berita di media-media online tiba-tiba menyemburkan tema-tema yang menarik untuk ditayangkan di kompasiana. Selanjutnya hampir setiap 2 hari, aku menghasilkan sebuah artikel. Proses menuliskan pada hari pertama dan proses membaca kembali pada hari kedua. Proses selanjutnya adalah memastikan aku punya percaya diri untuk menayangkannya. Pada tulisan kedua dan ketiga, penuruan drastis terjadi. Tulisanku hanya dibaca oleh 40-an orang. Kata istriku, tulisanku terlalu serius. Terlalu mengajak orang untuk berfikir dan tidak aktual. Temanya bukan soal masalah yang lagi hangat diributkan dan dibahas orang. Masukan dari istriku ini seperti memberikan energi baru.

Tulisan selanjutnya, tulisan ke-empat, aku berusaha aktual dan dibaca oleh hampir 400 netizen. Semangat membuncah kembali dan menciptakan sensasi tersendiri, meskipun rasa takut itu masih ada. Pada tulisan kelima, terjadi masalah. Aku tidak berhasil menayangkannya. Berkali-kali aku pencet tombol tayang, tulisan syntax error selalu terjadi. Aku berusaha menunggu dan syntax error terjadi lagi. Menjelang tengah malam, aku akhirnya menyerah dan tidur. Paginya, aku coba lagi dan  berhasil tayang. Tulisanku yang kuberi judul DKI-1, si Seksi Yang Mulai Digoda itu pun mendapat lebih dari 1100 pembaca. Aku sumringah. Aku terlambung. Aku kemudian kecewa.

Cerita soal syntax error itu ternyata tidak berhenti ketika tulisan kelima itu berhasil tayang. Pada statistikku tercantum sembilan tulisan. Padahal tulisanku masih lima. Berarti tombol tayang yang aku pencet hingga 5 kali itu dan selalu muncul dengan syntax error itu, ternyata berhasil tayang. Setidaknya dimunculkan di statistikku. Karena statistik itu salah, maka aku mencoba untuk menghapus beberapa tulisan yang sama. Akan tetapi aku tidak berhasil. Aku kecewa lagi.

Sejak itu, dashboardku hilang. Aku tidak bisa akses tulisanku dari dashboardku. Aku coba search di laman kompasiana, tidak ada. Tetapi ketika aku search di google, tulisan-tulisanku di kompasiana muncul.

Aku mencoba mengadu kepada admin. Karena kepada siapa lagi aku mengadu kalau bukan kepada admin kompasiana. Tetapi, aku tidak berhasil. Aku tidak menemukan penyaluran untuk menyampaikan masalahku ini. Tidak ada nomor telepon yang aku bisa hubungi. Tidak ada email admin yang bisa aku tuliskan masalah ku ini di dalamnya. Tidak ada juga jalur chat seperti di toko-toko online itu. Tidak ada juga nomor whatsapp yang bisa aku kontak. Mungkin ada facebook kompasiana dimana aku bisa menuliskan masalahku di wall-nya.

Aku ingin lagi melihat tulisanku itu. Aku ingin menghapus tulisan-tulisan yang ganda-ganda itu. Tetapi tidak bisa. Setiap aku log in dan melihat dashboardku, hanya ada tanda loading sebentar dan selanjutnya hanya laman yang berwarna putih. Tulisanku seperti hilang tanpa jejak. Tidak muncul dan tidak bangkit. Hingga pada titik aku kemudian terfikir untuk memuat tulisan ini. Untuk menyampaikan keluh dan kesahku akan hilangnya tulisan-tulisanku di dashboardku. Aku hanya bisa berharap, para admin yang budiman dapat menolongku dengan mengembalikan tulisan-tulisanku.

Pernah terfikir juga, dampak tulisanku itu. Jangan-jangan ada yang sakit hati soal isi tulisanku, walau sebenarnya aku sudah sangat hati-hati untuk tidak menyakiti orang lain. Tulisanku tidak menuduh. Tulisanku tidak membunuh. Aku hanya menuangkan isi kepalaku dan kegelisahanku. Tetapi,  semuanya itu pun hilang.

Rasaku seperti terbunuh. Kebangkitan semangat untuk terus menulis, seperti dihantam palu godam. Keberanianku menayangkan tulisanku di kompasiana seperti terhalau. Biarlah aku menyampaikan keluhku melalui tulisan ini. Karena kepada siapa lagi aku mengadu agar tulisan-tulisanku yang masih sangat sedikit itu bisa kembali ke dashboardku. Berhraap keajaiban terjadi dengan tayangnya tulisanku ini. Meskipun sebenarnya aku masih tidak yakin, apakah tulisan ini bisa tayang. Aku masih ragu, tetapi kepada siapa lagi aku mengadu untuk tulisanku yang hilang tiba—tiba. Dengan cara apa lagi aku mengadu. Jika pun aku ada salah, berkenanlah kiranya membisikkan kepadaku dan mengajarikau untuk lebih baik. Kepada siapa lagi aku mengadu. Kembalikan dashboardku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun