Sudah sejak lama aku ingin mampu menulis seperti mereka-mereka yang tulisannya muncul di rubrik opini di Kompas cetak. Aku cermati kata-kata mereka dengan baik. Kata-kata bermakna dengan runtutan yang tertata dan memberikan pencerahan. Para penulis ini datang dari berbagai kalangan. Pendidik, akademis, mantan pejabat, budayawan, mereka memiliki latar yang bervariasi. Mereka memiliki sudut pandang yang berbeda dalam melihat sesuatu. Latar belakang pendidikan dan pengalaman hidup menjadikan tulisan mereka bernilai dan bernas.
Kualitas di rubrik opini di kompas cetak tentunya ‘jauh lebih tinggi’ dari tulisan-tulisan yang ada di kompasiana ini. Karena tulisannya harus benar-benar memiliki nilai tertentu yang menurut saya mendidik, mencerahkan dan tidak menjelek-jelekkan pihak manapun, walau sering mengkritik kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah. Di samping itu, persaingan tinggi karena hanya tersedia 4-5 rubrik setiap harinya.
Keinginan yang kuat untuk menghasilkan tulisan di kompas cetak suatu saat, mendorong untuk selalu belajar menulis. Beberapa kursus menulis aku ikuti untuk memastikan saya punya dasar yang benar dalam menulis. Aku sedikit berbagi soal memahami dasar-dasar dan cara-cara yang benar. Sama seperti dulu aku ikut kursus berenang, Â ketika usia tidak muda lagi. Sebelum kursus, cara berenangku tidak seindah gaya renang temanku yang kursus. Tentu saja tidak sama, karena aku belajar berenang di sungai di kampung sana dan kadang-kadang merenangi sungai yang banjir, sementara rekanku itu belajar renang di kompleks perusahaan minyak yang dulu sangat terkenal di Riau sana. Sehingga gaya berenangku adalah gaya bebas, bebas sekali. Hingga menjelang usia 30-an, aku belajar berenang untuk bisa berenang dengan gaya bebas yang benar.
Hal yang sama aku lakukan dalam dunia menulis ini. Sejak dulu sudah ingin menulis. Mulai dari puisi, cerpen, cerita pokoknya menulis. Pernah membuat blog untuk menampung tulisanku, tetapi tulisan yang aku buat tidak pernah selesai. Selalu berakhir di paragraph pertama dan selanjutnya  kehilangan arah dan ide. Hal ini berlangsung cukup lama. Keinginan itu tetap terkubur dengan baik. Hingga kemudian aku menemukan kompasiana yang setidaknya tidak sekompetitif kompas cetak, walau tetap masih belum berani memuat. Aku akan terus ikut pelatihan menulis. Dua minggu ini juga, aku akan ikut lagi kursus menulis.
Pada tahun Juli 2014 aku bergabung dengan kompasiana dan berharap bisa menghasilkan tulisan. Tulisan-tulisan yang aku coba buat tetap tidak selesai. Aku selalu berfikir dan takut tulisanku akan buruk. Â Tulisanku lebih buruk dari yang lain. Â Tulisanku tidak mengikuti plot yang benar dan masih banyak lagi perkara-perkara yang berkecamuk di kepalaku hingga pada akhirnya tidak satupun tulisan terselesaikan dan pernah dimuat di kompasiana. Perkara-perkara yang berkecamuk itu menciptakan perkara psikologi lain yang akhirnya muncul sebagai rasa tidak percaya diri. Aku merasa tulisan saya tidak pernah layak untuk dimuat di kompasiana.
Ada teman yang menyarankan. Coba rekam ide kamu, lalu transfer ke dalam tulisan. Bicara dalam waktu 5 menit, maka akan terbentuk tulisan sebanyak 3 halaman atau sekitar lebih dari 1000-an kata. Aku tidak melakukannya, karena proses transcribing adalah proses yang melelahkan mengingat pengalaman ketika membuat tesis. Akan tetapi keinginan untuk memunculkan tulisan di kompasiana masih terus membakar di dalam diri dan hatiku.
Pasca mengikuti kursus menulis, ada satu hal yang aku ingat. Pesan yang disampaikan instruktur adalah tulislah sesuatu yang dekat dengan dirimu. Tulis aja dulu. Jangan berfikir soal tulisan ini bagus atau tidak. Menuliskan adalah satu hal, dan harus dilakukan, lalu tentang plot serta cara menulis yang baik akan muncul dengan sendirinya. Bukankah pepatah mengatakan practice makes perfect.
Seusai kursus itu, aku menuliskan pengalamanku. Pengalaman yang sangat dekat dengan diriku dan kulakukan setiap hari. Aku menulis tentang transportasi publik di Jakarta. Setelah aku coba menuliskan semuanya hingga akhirnya bingung soal apakah tulisan sudah selesai atau belum. Aku tinggalkan tulisan itu. Hingga beberapa bulan kemudian, aku baca kembali. Aku susun kembali. Aku periksa kata demi kata dan kalimat demi kalimat. Aku sangat hati-hati supaya tidak menuduh orang lain dan menjelek-jelekkan orang lain apalagi menghina, karena kasus Ongen masih dengan jelas membayang di ingatan.
Setelah hampir dua tahun aku menjadi anggota kompasiana, mengikuti nasehat instruktur kursus menulis, akhirnya pada 21 Februari 2016 menjelang tengah malam, aku memberanikan diri untuk menayangkan tulisanku di kompasiana. Seperti menunggu hasil pancingan ikan di kolam tetanggaku yang kulakukan sembunyi—sembunyi, aku esoknya melihat tulisanku itu. Aneh, kok jadi ada gambarnya, padahal aku tidak memuat gambar. Itu kesan pertama yang aku temui karena memang aku sama sekali belum mengerti banyak tentang kompasiana ini. Tulisan perdana itu berhasil menjadi headline dan pilihan. Tulisan yang telah menembus ketakutanku itu, berhasil menjadi headline, dengan jumlah yang melihat mungkin membaca 683. Senang, bangga dan seperti bermimpi. Malam setelah aku menayangkan tulisanku, aku tidak bisa tidur. Banyak pertanyaan yang berputar di kepalaku. Padahal di awal Januari 2016 lalu, menjelang sidang tesisku, aku bisa tidur dengan pulas. Tetapi tidak demikian setelah aku menayangkan tulisan perdanaku itu.
Selanjutnya, ide-ide seperti berloncatan dari kepalaku. Setiap aku memandangi keluar dari jendela bus transjakarta yang aku tumpangi, ada saja ide yang muncul. Judul-judul berita di media-media online tiba-tiba menyemburkan tema-tema yang menarik untuk ditayangkan di kompasiana. Selanjutnya hampir setiap 2 hari, aku menghasilkan sebuah artikel. Proses menuliskan pada hari pertama dan proses membaca kembali pada hari kedua. Proses selanjutnya adalah memastikan aku punya percaya diri untuk menayangkannya. Pada tulisan kedua dan ketiga, penuruan drastis terjadi. Tulisanku hanya dibaca oleh 40-an orang. Kata istriku, tulisanku terlalu serius. Terlalu mengajak orang untuk berfikir dan tidak aktual. Temanya bukan soal masalah yang lagi hangat diributkan dan dibahas orang. Masukan dari istriku ini seperti memberikan energi baru.
Tulisan selanjutnya, tulisan ke-empat, aku berusaha aktual dan dibaca oleh hampir 400 netizen. Semangat membuncah kembali dan menciptakan sensasi tersendiri, meskipun rasa takut itu masih ada. Pada tulisan kelima, terjadi masalah. Aku tidak berhasil menayangkannya. Berkali-kali aku pencet tombol tayang, tulisan syntax error selalu terjadi. Aku berusaha menunggu dan syntax error terjadi lagi. Menjelang tengah malam, aku akhirnya menyerah dan tidur. Paginya, aku coba lagi dan  berhasil tayang. Tulisanku yang kuberi judul DKI-1, si Seksi Yang Mulai Digoda itu pun mendapat lebih dari 1100 pembaca. Aku sumringah. Aku terlambung. Aku kemudian kecewa.