Mohon tunggu...
Taufik Rohmatul Insan
Taufik Rohmatul Insan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca (walau jarang) Novel, Cerpen, Puisi dan Esai Politik, Hukum, sejarah dan Kebudayaan

Setiap Detik Adalah Kisah Kehidupan. Setiap Manusia Adalah Aktornya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Suara dari Masa Lalu

3 Agustus 2021   19:22 Diperbarui: 4 Agustus 2021   20:45 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terakhir kalinya aku bertemu dengan Purnomo teman sejawatku di halaman desa yang sama tanpa pesan suara.

Suara hujan terdengar jelas dari dalam rumah. Aku malam itu seharusnya pergi meninggalkan rumah, untuk memuntahkan rindu dengan sahabat lama, di warung kopi taman kota, digagalkan sebab hujan memburu bumi dengan lebatnya . Sebelumnya, setelah ibadah salat ashar, aku mengirim pesan singkat melalui sms, agar perjumpaan nanti malam tak mendadak. Satu minggu yang lalu sebenarnya baru saja kudapat nomornya, dari interaksi dunia maya. 

Purnomo, teman sejawatku saat bocah yang bercita-cita menjadi atlet, dengan kulit berwarna sawo matang, mata bulat berbinar-binar, dan gaya khas rambut afronya yang bagaikan gumpalan awan. 

Diluar rumah, melalui kaca jendela berembun, aku menyaksikan malam tanpa suara manusia. Suara-suara alam yang manja menggoda kantuk tak sungkan. Lampu-lampu rumah milik tetangganga, buram terlihat seakan berdansa mesra dengan angin penghujan, dedaunan berlarian mengikuti irama angin bercampur sabda binatang malam. 

Jarum jam di dinding sudah menunjukan waktu tuanya, begitupun sinyal hp yang tak berdaya diterpa cuaca.
"Rapih amat Tri, pake jaket segala, hujan-hujan gini mau kemana?" mengagetkan, suara ibu yang detik itu mengalihkan pandanganku dengan segera.

"Tumbenan kamu, biasanya jam segini sarungan didepan tv"


"Hehe, bikin kaget aja bu. Niatnya malem ini mau ketemu teman diluar bu, tapi ya..." jawabku sambil membuka gorden rumah untuk menunjukan bahwa hujan lumayan lebat.


"ya sudah lain kali saja. Udah makan dulu, didapur, ibu baru bikin sambel"  ibu pergi meninggalkan ruang tamu sambil mengabil gelas kosong yang terletak diatas meja.


"iya bu." Aku benar-benar mengurungkan niat ku dan harus menahan rindu dengan sebenar-benarnya.


"beneran lapar ini perut." Gumamku. Sambal terasi didapur, terbopong angin sampai mengundang hidung di ruang tengah.

 Aku copot jaket dan jeans klasik yang sudah aku pakai, kembali menarik sarung dan kaos bola yang sudah dua hari aku pakai dan menuju dapur.
Diruang dapur yang bersatu dengan ruang makan, aku menikmati masakan ibuku, apalagi jika sudah membuat sambal, begitu juga dengan lalapan daun kopi muda, yang tak luput dari lirikan mata.


Hujan masih saja bergumul dengan gelapnya malam, entah apa yang membuatnya betah berlama-lama membasahi hamparan tanah, yang semakin harinya luasnya tanah berkurang ditanami bangunan kejayaan. Suara kodok yang terbata-bata nyaring dari balik kegelapan, sepertinya ular mulai kelaparan, dibawah guyur hujan yang tak berkesudahan, begitu pula aku.

Hujan yang tak ada henti menimbulkan dingin didalam ruang sempit, sampai foto-foto di dindingpun seakan menggigil kedinginan.
Suara-suara mesin yang berlalu lalang di hamparan aspal malam itu samar-samar terdegar di antara percikan air yang membasahi halaman.

Dinginnya ruangan malam itu, bersamaan dengan kepulan asap rokok kretek, menghantarkan ku pada ruang waktu masa lalu dikepala, pada kisah perjuangan orang-orang tua dulu, mempertahankan hak miliknya dengan kekuatan seadanya, yang pada akhirnya dikalahkan dengan tangan-tangan besi yang menyelipkan kertas berharga dibalik laci kantor desa.


                                              ***


Sebelas tahun yang lalu, di desaku, kehidupan masyarakat sangatlah asri dan penuh dengan kebahagiaan. Orang-orang tua di desa kegiatan sehari-harinya adalah bertani dan berdagang. Hampir kesemuanya lulusan SR (sekolah rakyat). Aku dan teman-teman sejawatku anak para petani dan pedagang, kami sangat merasa senang. Keseharian kami diisi dengan belajar dan belajar. 

Pagi sampai siang kami belajar di sekolah dasar, siang sampai sore kami belajar disekolah agama dan sore sampai waktu maghrib, kami belajar dengan belaian sejuk udara, sapa lembayung sore, hamparan sawah nan hijau, aroma lumpur pesawahan, dan kicauan burung-burung. Malam, selalu ku habiskan dengan teman-temanku di majlis ta'lim dan tugu-tugu rumah tetangga. 

Aku menikmati masa kecilku, bermain bola telanjang kaki, mandi dikali, bermain layang-layang, sampai berlari-lari di atas tanah tuhan yang sungguh luas nan berharga untuk kami. Namun itu kisah masa kecilku, sampai akhirnya kini keindahan itu tergantikan dengan kilauan aspal hitam dengan pagar-pagar pembatas yang penuh dengan syarat. 

Sebagian teman-temanku dan keluarga besarnya dipaksa lari dari tanahnya sendiri, dengan segenggam kertas yang tak pernah bisa menggantikan triliunan kenangan kehidupan desa. Terakhir kalinya aku bertemu dengan Purnomo teman sejawatku di halaman desa yang sama tanpa pesan suara.

16-17 maret 2020
Tr_Insan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun