Terakhir kalinya aku bertemu dengan Purnomo teman sejawatku di halaman desa yang sama tanpa pesan suara.
Suara hujan terdengar jelas dari dalam rumah. Aku malam itu seharusnya pergi meninggalkan rumah, untuk memuntahkan rindu dengan sahabat lama, di warung kopi taman kota, digagalkan sebab hujan memburu bumi dengan lebatnya . Sebelumnya, setelah ibadah salat ashar, aku mengirim pesan singkat melalui sms, agar perjumpaan nanti malam tak mendadak. Satu minggu yang lalu sebenarnya baru saja kudapat nomornya, dari interaksi dunia maya.Â
Purnomo, teman sejawatku saat bocah yang bercita-cita menjadi atlet, dengan kulit berwarna sawo matang, mata bulat berbinar-binar, dan gaya khas rambut afronya yang bagaikan gumpalan awan.Â
Diluar rumah, melalui kaca jendela berembun, aku menyaksikan malam tanpa suara manusia. Suara-suara alam yang manja menggoda kantuk tak sungkan. Lampu-lampu rumah milik tetangganga, buram terlihat seakan berdansa mesra dengan angin penghujan, dedaunan berlarian mengikuti irama angin bercampur sabda binatang malam.Â
Jarum jam di dinding sudah menunjukan waktu tuanya, begitupun sinyal hp yang tak berdaya diterpa cuaca.
"Rapih amat Tri, pake jaket segala, hujan-hujan gini mau kemana?" mengagetkan, suara ibu yang detik itu mengalihkan pandanganku dengan segera.
"Tumbenan kamu, biasanya jam segini sarungan didepan tv"
"Hehe, bikin kaget aja bu. Niatnya malem ini mau ketemu teman diluar bu, tapi ya..." jawabku sambil membuka gorden rumah untuk menunjukan bahwa hujan lumayan lebat.
"ya sudah lain kali saja. Udah makan dulu, didapur, ibu baru bikin sambel" Â ibu pergi meninggalkan ruang tamu sambil mengabil gelas kosong yang terletak diatas meja.
"iya bu." Aku benar-benar mengurungkan niat ku dan harus menahan rindu dengan sebenar-benarnya.
"beneran lapar ini perut." Gumamku. Sambal terasi didapur, terbopong angin sampai mengundang hidung di ruang tengah.