Aku copot jaket dan jeans klasik yang sudah aku pakai, kembali menarik sarung dan kaos bola yang sudah dua hari aku pakai dan menuju dapur.
Diruang dapur yang bersatu dengan ruang makan, aku menikmati masakan ibuku, apalagi jika sudah membuat sambal, begitu juga dengan lalapan daun kopi muda, yang tak luput dari lirikan mata.
Hujan masih saja bergumul dengan gelapnya malam, entah apa yang membuatnya betah berlama-lama membasahi hamparan tanah, yang semakin harinya luasnya tanah berkurang ditanami bangunan kejayaan. Suara kodok yang terbata-bata nyaring dari balik kegelapan, sepertinya ular mulai kelaparan, dibawah guyur hujan yang tak berkesudahan, begitu pula aku.
Hujan yang tak ada henti menimbulkan dingin didalam ruang sempit, sampai foto-foto di dindingpun seakan menggigil kedinginan.
Suara-suara mesin yang berlalu lalang di hamparan aspal malam itu samar-samar terdegar di antara percikan air yang membasahi halaman.
Dinginnya ruangan malam itu, bersamaan dengan kepulan asap rokok kretek, menghantarkan ku pada ruang waktu masa lalu dikepala, pada kisah perjuangan orang-orang tua dulu, mempertahankan hak miliknya dengan kekuatan seadanya, yang pada akhirnya dikalahkan dengan tangan-tangan besi yang menyelipkan kertas berharga dibalik laci kantor desa.
                       ***
Sebelas tahun yang lalu, di desaku, kehidupan masyarakat sangatlah asri dan penuh dengan kebahagiaan. Orang-orang tua di desa kegiatan sehari-harinya adalah bertani dan berdagang. Hampir kesemuanya lulusan SR (sekolah rakyat). Aku dan teman-teman sejawatku anak para petani dan pedagang, kami sangat merasa senang. Keseharian kami diisi dengan belajar dan belajar.Â
Pagi sampai siang kami belajar di sekolah dasar, siang sampai sore kami belajar disekolah agama dan sore sampai waktu maghrib, kami belajar dengan belaian sejuk udara, sapa lembayung sore, hamparan sawah nan hijau, aroma lumpur pesawahan, dan kicauan burung-burung. Malam, selalu ku habiskan dengan teman-temanku di majlis ta'lim dan tugu-tugu rumah tetangga.Â
Aku menikmati masa kecilku, bermain bola telanjang kaki, mandi dikali, bermain layang-layang, sampai berlari-lari di atas tanah tuhan yang sungguh luas nan berharga untuk kami. Namun itu kisah masa kecilku, sampai akhirnya kini keindahan itu tergantikan dengan kilauan aspal hitam dengan pagar-pagar pembatas yang penuh dengan syarat.Â
Sebagian teman-temanku dan keluarga besarnya dipaksa lari dari tanahnya sendiri, dengan segenggam kertas yang tak pernah bisa menggantikan triliunan kenangan kehidupan desa. Terakhir kalinya aku bertemu dengan Purnomo teman sejawatku di halaman desa yang sama tanpa pesan suara.
16-17 maret 2020
Tr_Insan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H