Dalam pada itu, Kalau kita ingat semangat melantunkan adzan di zaman Nabi dahulu. Yaitu: memanggil semua jamaah untuk shalat bersama, sehingga umat islam sungguh bersatu. Kini, dengan dikumandangkannya adzan di berbagai tempat ibadah yang berdekatan menyebabkan umat islam berserakan; pun saat melaksanakan shalat wajib (fardhu).
Aku sering bergurau kepada teman-temanku bahwa aku bingung hendak shalat wajib di tempat ibadah yang mana. Terutama saat aku berada di rumahku, tempat tinggal ku (keluarga).
Sebab di setiap RT dekat rumahku ada tempat ibadah (ada mesjid, ada langgar, ada mushalla), dan semuanya melantunkan adzan saat shalat wajib tiba.
Mau berjalan ke arah utara, selatan memanggil. Mau berjalan ke tempat ibadah yang ada di selatan; utara memanggil. Mau menuju barat, timur memanggil. Akhirnya aku tidak ke mana-mana, shalat di rumah saja.
Aku tidak peduli dengan ganjaran, atau pahala, atau apa namanya. Mau 27 derajat atau 1, yang penting aku shalat, menghadap juga kepada Allah SWT.
Yang jadi masalah lebih lagi, Jika satu tempat ibadah telah mengumandangkan adzan, tempat ibadah yang lain masih melantunkan salawat bagi Nabi. Akhirnya, lantunan adzan kerap agak samar terdengar; rasa ragu pun muncul perihal apakah saat shalat wajib telah tiba ataukah masih harus menunggu beberapa saat lagi.
Nah, semua hal yang seperti ini semestinya menjadi perhatian juga dari para ustadz, jangan cuma mudah berkata bahwa yang tidak suka mendengarkan adzan adalah rekannya setan; pantas dibakar api.
Mengkaji agama jangan separuh-separuh (parsial), tidak hirau dengan aspek sosial.
Tidak hirau dengan keadaan bahwa yang berlangsung sekarang, di Indonesia, banyak berbeda dengan yang berlangsung di waktu lalu; apalagi dengan semangat asal.
Jangan yang dipelototin hanya apa yang ditulis di kitab kuno, yang sudah kumal.
Tabik.