Hari ini kembali aku mendapat kiriman youtube ceramah agama, dari seorang ustadz di pondok pesantren Gontor, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, yang cukup ternama. Ceramah agama itu membahas tentang kumandang adzan dan reaksi orang yang mendengarkan adzan tersebut: suka ataukah tidak suka.Â
Ustadz Abdul Somad, katanya, mengemukakan bahwa orang yang tidak suka mendengarkan lantunan adzan adalah temannya setan, ahli neraka.
Orang seperti itu, yang tidak suka mendengarkan lantunan adzan itu, katanya lagi: "perlu di rukyah, agar setannya pergi dari dirinya".Â
Mendengarkan ceramah ustadz ini aku setengah tidak setuju (tidak sepenuhnya menerima).
Menurutku, itu tergantung pada konteks. Tergantung pada keadaan di mana, saat mana dan bagaimana adzan itu dilantunkan. Jadi tidak di semua keadaan lantunan adzan itu dapat dikatakan baik; perlu diacungi jempol kepada pelantunnya.
Tidak semua protes terhadapnya adalah buruk, temannya setan. Bisa jadi protes itu memiliki alasan kuat, pun jika ditinjau dari sisi agama islam; agama dari ustadz penceramah tadi; agama aku dan anda.
Maksud dari melantunkan adzan perlu diingat, setidaknya dari sejarahnya. Di era Nabi Muhammad SAW adzan dilantunkan untuk mengumumkan bahwa waktu shalat wajib telah tiba, dan sekaligus memanggil jamaah untuk shalat bersama.Â
Di era Nabi, di Madinah, jumlah mesjid hanya satu. Jamaah ada yang dekat ada yang jauh rumahnya, maka mengumandangkan adzan dengan suara keras sangat bermanfaat (berguna).
Atau di zaman nenek/kakek buyut kita. Tempat ibadah pun (terutama mesjid) belum banyak, hanya beberapa. Dan saling berjauhan letaknya. Maka mengumandangkan adzan dengan pegeras suara juga berguma, apalagi zaman dulu itu menara mesjid dibuat cukup tinggi sehingga suara adzan terdengar mengalun merdu di telinga
Di era sekarang keadaan berbeda. Di samping mesjid yang cukup berdekatan, ada mushalla, ada langgar. Tidak jarang semua tempat ibadah ini saat shalat wajib tiba mengumandangkan adzan; dengan pengeras suara.
Pengeras suara itu pun tidak ditaruh di menara yang tinggi, tapi hanya 3 -- 4 meter dari lantai dasar; mengarah ke 4 jurusan (timur, barat, selatan dan utara). Hasilnya, karena lantunan adzan ini pun di semua tempat tidak berbarengan maka sering tidak nyaman sampai di telinga.
Dalam pada itu, Kalau kita ingat semangat melantunkan adzan di zaman Nabi dahulu. Yaitu: memanggil semua jamaah untuk shalat bersama, sehingga umat islam sungguh bersatu. Kini, dengan dikumandangkannya adzan di berbagai tempat ibadah yang berdekatan menyebabkan umat islam berserakan; pun saat melaksanakan shalat wajib (fardhu).
Aku sering bergurau kepada teman-temanku bahwa aku bingung hendak shalat wajib di tempat ibadah yang mana. Terutama saat aku berada di rumahku, tempat tinggal ku (keluarga).
Sebab di setiap RT dekat rumahku ada tempat ibadah (ada mesjid, ada langgar, ada mushalla), dan semuanya melantunkan adzan saat shalat wajib tiba.
Mau berjalan ke arah utara, selatan memanggil. Mau berjalan ke tempat ibadah yang ada di selatan; utara memanggil. Mau menuju barat, timur memanggil. Akhirnya aku tidak ke mana-mana, shalat di rumah saja.
Aku tidak peduli dengan ganjaran, atau pahala, atau apa namanya. Mau 27 derajat atau 1, yang penting aku shalat, menghadap juga kepada Allah SWT.
Yang jadi masalah lebih lagi, Jika satu tempat ibadah telah mengumandangkan adzan, tempat ibadah yang lain masih melantunkan salawat bagi Nabi. Akhirnya, lantunan adzan kerap agak samar terdengar; rasa ragu pun muncul perihal apakah saat shalat wajib telah tiba ataukah masih harus menunggu beberapa saat lagi.
Nah, semua hal yang seperti ini semestinya menjadi perhatian juga dari para ustadz, jangan cuma mudah berkata bahwa yang tidak suka mendengarkan adzan adalah rekannya setan; pantas dibakar api.
Mengkaji agama jangan separuh-separuh (parsial), tidak hirau dengan aspek sosial.
Tidak hirau dengan keadaan bahwa yang berlangsung sekarang, di Indonesia, banyak berbeda dengan yang berlangsung di waktu lalu; apalagi dengan semangat asal.
Jangan yang dipelototin hanya apa yang ditulis di kitab kuno, yang sudah kumal.
Tabik.
Bogor, 11 Desember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H