Mohon tunggu...
Rino Oke
Rino Oke Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang karyawan biasa

Hanya sekedar menuliskan dan menyampaikan pandangan-pandanganku, serta mengeluarkan apa yang terpikirkan di keluangan waktu.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kumandang Azan

11 Desember 2019   09:20 Diperbarui: 11 Desember 2019   09:33 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini kembali aku mendapat kiriman youtube ceramah agama, dari seorang ustadz di pondok pesantren Gontor, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, yang cukup ternama. Ceramah agama itu membahas tentang kumandang adzan dan reaksi orang yang mendengarkan adzan tersebut: suka ataukah tidak suka. 

Ustadz Abdul Somad, katanya, mengemukakan bahwa orang yang tidak suka mendengarkan lantunan adzan adalah temannya setan, ahli neraka.

Orang seperti itu, yang tidak suka mendengarkan lantunan adzan itu, katanya lagi: "perlu di rukyah, agar setannya pergi dari dirinya". 

Mendengarkan ceramah ustadz ini aku setengah tidak setuju (tidak sepenuhnya menerima).

Menurutku, itu tergantung pada konteks. Tergantung pada keadaan di mana, saat mana dan bagaimana adzan itu dilantunkan. Jadi tidak di semua keadaan lantunan adzan itu dapat dikatakan baik; perlu diacungi jempol kepada pelantunnya.

Tidak semua protes terhadapnya adalah buruk, temannya setan. Bisa jadi protes itu memiliki alasan kuat, pun jika ditinjau dari sisi agama islam; agama dari ustadz penceramah tadi; agama aku dan anda.

Maksud dari melantunkan adzan perlu diingat, setidaknya dari sejarahnya. Di era Nabi Muhammad SAW adzan dilantunkan untuk mengumumkan bahwa waktu shalat wajib telah tiba, dan sekaligus memanggil jamaah untuk shalat bersama. 

Di era Nabi, di Madinah, jumlah mesjid hanya satu. Jamaah ada yang dekat ada yang jauh rumahnya, maka mengumandangkan adzan dengan suara keras sangat bermanfaat (berguna).

Atau di zaman nenek/kakek buyut kita. Tempat ibadah pun (terutama mesjid) belum banyak, hanya beberapa. Dan saling berjauhan letaknya. Maka mengumandangkan adzan dengan pegeras suara juga berguma, apalagi zaman dulu itu menara mesjid dibuat cukup tinggi sehingga suara adzan terdengar mengalun merdu di telinga

Di era sekarang keadaan berbeda. Di samping mesjid yang cukup berdekatan, ada mushalla, ada langgar. Tidak jarang semua tempat ibadah ini saat shalat wajib tiba mengumandangkan adzan; dengan pengeras suara.

Pengeras suara itu pun tidak ditaruh di menara yang tinggi, tapi hanya 3 -- 4 meter dari lantai dasar; mengarah ke 4 jurusan (timur, barat, selatan dan utara). Hasilnya, karena lantunan adzan ini pun di semua tempat tidak berbarengan maka sering tidak nyaman sampai di telinga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun