"Huft ... musim panas, panasnya terik sekali dan debu tebal. Musim hujan, kebanjiran." Narai menyandarkan tubuhnya di kursi.
"Sudah kau tanya sama Si Tajir? Apa dia bisa membantu mengatasi banjir di pemukiman ini?" tanya Indu Baweh.
"Sudah."
"Lalu, apa hasilnya?"
"Nihil."
"Kenapa?"
"Katanya ... banjir bukan diakibatkan karena adanya tambang. Sebelum ada tambang, wilayah kita sudah terkena banjir."
"Tapi ... banjir semakin parah seperti ini. Lama-lama kita bisa ditenggelamkan oleh banjir kalau perusahaan batubara dan pemerintah desa tidak segera bertindak. Lalu, apa tanggapan aparat desa?" tanya Indu Baweh lagi.
"Mereka berpihak pada pengusaha tambang."
"Oh ... uang memang bisa menguasai segalanya. Si Tajir sekarang sedang bersenang-senang dengan uang hasil tambangnya. Dia tidak memikirkan nasib warga lain yang merasakan dampaknya seperti ini. Suatu saat, dia akan membayar semuanya. Alam yang akan marah dan membalasnya." Indu Baweh terlihat geram. Bahkan kulit-kulit tua yang menutupi wajahnya tidak bisa menyembunyikan kegeramannya.
"Indu ... tak usahlah kita terus mengeluh! Orang kecil seperti kita ini tidak akan ada yang mendengarkan. Percuma kita mengomel ke sana kemari. Yang berkuasa tetaplah yang punya uang banyak seperti Si Tajir itu.