"Tapi, sekarang sudah tak ada. Sudah rata dengan tanah. Hanya ada jembatannya saja."
"Yah ... itulah. Semua berubah karena tangan manusia juga. Dan semuanya akan berubah selama kita tidak bisa mencintai dan menjaga lingkungan."
"Indu ... mau teh hangat?" tiba-tiba Ara, si cucu paling cantik datang membawa nampan berisi teh hangat dan kudapan.
"Wah ... cantik nian cucu Indu. Pas sekali hujan-hujan begini."
"Indu ... sepertinya air mulai meninggi. Padahal hujan baru satu jam dan tidak begitu deras," keluh Ara.
Benar saja, air datang begitu deras dan tidak dapat dibendung lagi. Menggenangi sekeliling rumah Indu Baweh. Etak buru-buru ke belakang rumah untuk menyelamatkan ternak-ternak peliharaan. Kedua orang tuanya sedang berada di kebun, sehingga ia harus memperhatikan ternak peliharaannya.
"Indu ... kenapa hanya rumah yang lurus dengan rumah kita yang terkena banjir. Rumah Pak Modang yang jaraknya tiga rumah dari rumah kita, baik-baik saja. Bahkan dia tidak meninggikan pondasi rumahnya." Ara duduk di samping Indu Baweh sembari memandangi banjir yang semakin deras dari teras rumahnya.
"Ah, kau ini. Seperti tidak pernah sekolah saja. Kau lihat jalan yang di seberang rumah kita ini." Indu baweh menunjuk dengan dagunya. "Jalan itu harusnya melewati sungai yang ada di sisi rumah kita ini. Jalan yang dipakai untuk hauling batu bara ini seharusnya tidak menimbun sungai yang sudah ada. Mungkin, membuat jembatan itu sulit bagi mereka. Jadi, ditimbun saja supaya proses hauling lancar."
"Lalu, apa hubungannya banjir dengan jalan hauling?" tanya Ara masih bingung.
Indu Baweh mengetuk kepala Ara, membuatnya mengaduh kesakitan. "Air itu harusnya mengalir ke sungai, karena sungainya ditimbun dan dijadikan jalan, akhirnya air itu limpas ke rumah kita."
"Oooo ...." Mulut Ara membesar membentuk huruf O.