Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga dengan gaya pengasuhan yang sangat protektif atau terlalu longgar mungkin merasa kesulitan dalam mengembangkan kemandirian atau mengelola emosi mereka dengan baik.
Ada orang tua yang sama sekali melarang anaknya bermain kotor, bermain di taman, bermain dengan teman sebayanya hanya karena khawatir ketularan nakalnya. Padahal iklan sabun saja bilang, biarkan anak kotor biar deterjen yang membantunya kinclong kembali. Sebuah pendekatan psikologis yang menarik karena semakin banyak orang tua yang abai terhadap masalah pola asuh.
Padahal ini berkaitan dengan Hak Otonomi Anak-agar belajar mandiri dan menikmati cara berpikirnya dengan sedikit lebih bebas, namun terukur dan dikontrol orang tua.
Dalam beberapa tahun terakhir, ada pergeseran gaya pengasuhan yang signifikan, dari pola asuh yang lebih otoriter (ketat) ke pola asuh yang lebih permisif (longgar). Kedua gaya pengasuhan ini bisa mempengaruhi anak secara negatif jika tidak diterapkan dengan bijaksana.
Pola asuh yang terlalu ketat, di mana orang tua menetapkan aturan yang kaku tanpa memberi ruang bagi anak untuk mengungkapkan pendapat atau membuat keputusan sendiri, dapat menyebabkan anak merasa tidak memiliki kontrol atas hidup mereka.
Hal ini sering kali berujung pada rasa frustrasi, rendahnya rasa percaya diri, dan kecemasan. Sebaliknya, pola asuh yang terlalu longgar, di mana orang tua kurang memberikan batasan atau pengawasan yang memadai, dapat membuat anak-anak merasa kurang aman dan bingung dalam menghadapi dunia luar.
Menurut sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Child and Family Studies (2020), anak-anak yang dibesarkan dengan gaya pengasuhan otoriter sering mengalami masalah kecemasan dan depresi, sementara anak-anak yang dibesarkan dengan gaya pengasuhan permisif cenderung lebih impulsif dan kurang mampu mengelola emosi mereka dengan baik. Gaya pengasuhan yang seimbang, di mana orang tua memberikan dukungan emosional namun juga menetapkan batasan yang jelas, terbukti lebih efektif dalam mendukung kesehatan mental anak.
Masalah identitas diri dan tekanan sosial ternyata juga riskan dan mencemaskan. Di dunia yang semakin terbuka dan terhubung ini, anak-anak dan remaja dihadapkan pada berbagai tekanan sosial yang mempengaruhi perkembangan identitas diri mereka.
Media sosial, misalnya, sering kali menampilkan gambaran hidup yang tampaknya sempurna, yang membuat anak-anak merasa tertekan untuk memenuhi standar kecantikan, kesuksesan, dan gaya hidup tertentu.
Menurut laporan dari American Academy of Pediatrics (2022), lebih dari 50% remaja merasa cemas tentang penampilan fisik mereka setelah terpapar gambar-gambar yang dimodifikasi di media sosial. Ini menciptakan distorsi persepsi diri, yang berujung pada masalah kecemasan, tekanan untuk menjadi sempurna, dan kesulitan dalam membangun identitas yang sehat.
Orang tua harus lebih aktif dalam membantu anak mereka memahami bahwa media sosial sering kali tidak menggambarkan kenyataan dan pentingnya merasa nyaman dengan diri sendiri.
Pemberian pengajaran tentang penerimaan diri dan keterampilan untuk menanggapi tekanan sosial secara sehat sangat penting dalam perkembangan psikologis anak.