Di sekolah saya mencermati perubahan-perubahan kecil yang terjadi pada para siswa-siswa saya di kelas, yang tampak biasa namun sebenarnya kompleks. Siswa yang cenderung nakal di kelas, tak sepenuhnya disebabkan karena memang tabiatnya yang nakal.
Banyak persoalan yang kemudian muncul ke permukaan berasal dari masing-masing rumah yang terbawa ke sekolah, dan saya sadari sebagai tantangan yang semakin menguat sekaranga ini bagi para guru, selain tantangan tanggunjawab akademis. Â Terutama para wali kelas yang interaksinya lebih intensif dengan siswa di kelasnya sendiri.
Pernahkah kita mencermati sendiri apa yang  semakin membuat kita tertekan saat ini?. Fenomena yang paling umum dijalani para orang tua adalah bekerja, memburu uang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga yang makin sulit dipenuhi.  Teutama ketika pendapatan kita bergerak daam deret hitung 1,2,3 dan seterusnya. Sedangkan kebutuhan untuk membuat kita tetap bertahan hidup dengan segala macam jenis kebutuhan harus kita penuhi bergerak seperti deret hitung, 2,4,6,8 dan seterusnya.
Namun yang tidak kalah menganggu tentu saja berbagai persoalan psikologis yang mau tidak mau harus kita pikirkan nyaris setiap waktu dan setiap hari.
Masalah psikologi yang paling krusial antara orang tua dan anak saat ini banyak berkaitan dengan banyak faktor yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, perubahan sosial, serta tekanan akademis dan sosial.
Tidak usah jauh, dalam rumah tangga masing-masing kita dalam beberapa dekade terakhir, telah mengalami perubahan yang signifikan, baik dari segi teknologi, sosial, maupun ekonomi. Perubahan ini jelas berdampak pada harmonisasi hubungan antara orang tua dan anak, yang kini menghadapi tantangan psikologis yang semakin kompleks. Semua menjadi masalah krusial yang butuh perhatian serius.
Kita bisa menangkap trendnya yang sedang berkembang di masyarakat sekarang ini.
Tekanan Akademis Adalah sebuah problem yang makin menguat. Banyak orang tua berpikir bahwa kunci hidup bahagia dan sukses ketika anak-anak menjadi lebih pintar, sehingga mampu bersaing karena memiliki daya saing tinggi ketika harus hidup mandiri. Akibatnya sejak mula sekali anak mengenal sekolah, tekanan orang tua yang berharap para preferensi yang tinggi menjadi problem yang mau tak mau  bisa menganggu psikologis anak-anak mereka.
Banyak orang tua yang memberikan tekanan besar pada anak untuk mencapai prestasi akademis yang tinggi. Hal ini bisa menimbulkan stres, kecemasan, dan bahkan depresi pada anak. Tuntutan untuk selalu menjadi yang terbaik di bidang akademik atau olahraga kadang mengabaikan kesehatan mental anak itu sendiri.
Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh American Psychological Association (APA) pada 2020, sekitar 61% remaja melaporkan merasa stres karena tekanan akademis dan harapan orang tua. Tekanan ini tidak hanya menyebabkan kecemasan dan stres, tetapi juga meningkatkan tingkat depresi di kalangan anak-anak dan remaja. Anak-anak yang merasa tidak mampu memenuhi harapan orang tua sering kali mengalami rasa gagal yang mendalam, yang mempengaruhi rasa harga diri mereka.
Orang tua perlu menyadari bahwa kesehatan mental anak tidak boleh dikorbankan demi pencapaian akademis. Pendekatan yang lebih bijaksana adalah memberikan dukungan emosional, memahami kemampuan anak, dan mendorong mereka untuk berusaha sebaik mungkin tanpa menambah beban yang berlebihan.
Sebuah kasus seorang anak yang membunuh orang tuanya baru-baru ini ternyata didasari oleh sebab itu. Ia merasa harus menjadi yang terbaik, sehingga kehilangan waktu bermainnya, kehilangan kebebasannya sebagai anak-anak. Sehingga ia memilih solusinya sendiri dengan menghabisi orangtuanya ayng dianggap sebagai biang keladinya.
Tantangan orang tua yang makin klasik adalah ketergantungan pada teknologi. Orang tua mana yang tidak memiliki keluhan. Anak-anaknya menjadi sangat candu dengan perangkat digital seperti ponsel, tablet, dan media sosial daripada berinteraksi langsung dengan orang tua atau teman-temannya. Ini menambah jarak emosional antara orang tua dan anak, serta bisa menyebabkan masalah dalam keterampilan sosial anak, kecemasan, dan perasaan kesepian.
Anak seorang teman sampai harus dimasukkan ke sebuah sekolah khusus hanya karena ia tidak bisa berbicara kecuali ketika berhadapan langsung dengan perangkat digital. Awalnya orag tuanya berpikir ia mengalami kelainan pendengaran. Ternya karena fokusnya pada perangkat digital membuatnya menjadi pasif berbicara. Hanya aka "berbunyi" jika dipicu audio yang muncul dari perangkat digital.
Studi yang dilakukan oleh Pew Research Center pada 2021 mengungkapkan bahwa sekitar 95% remaja memiliki akses ke ponsel pintar, dan lebih dari 45% dari mereka mengaku sering menggunakan media sosial lebih dari 3 jam sehari.
Hal ini menimbulkan dampak negatif terhadap perkembangan sosial dan emosional anak. Penggunaan media sosial yang berlebihan bisa memperburuk perasaan cemas, stres, dan depresi pada remaja, terutama ketika mereka membandingkan diri mereka dengan standar kecantikan atau kesuksesan yang tidak realistis di dunia maya.
Bagi orang tua, tantangan terbesar adalah menemukan cara untuk membimbing anak agar bisa menggunakan teknologi secara sehat. Pembatasan waktu penggunaan perangkat digital dan diskusi terbuka tentang pengaruh media sosial pada persepsi diri anak-anak menjadi langkah penting dalam mengurangi dampak negatifnya.
Pola asuh--Parenting Style yang makin kompleks bisa memganggu mental anak. Kekuatiran yang berlebihan seperti halnya pada kemampuan akademis, pola asuh juga kurang lebih sama masalahnya. Preferesi orang tua yang tinggi pada keamanan anak menyebabkan pola asuhnya menjadi sangat ketat (otoriter) atau sebaliknya, terlalu permisif, bisa mempengaruhi perkembangan psikologis anak.Â
Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga dengan gaya pengasuhan yang sangat protektif atau terlalu longgar mungkin merasa kesulitan dalam mengembangkan kemandirian atau mengelola emosi mereka dengan baik.
Ada orang tua yang sama sekali melarang anaknya bermain kotor, bermain di taman, bermain dengan teman sebayanya hanya karena kuati r ketularan nakalnya. Padahal iklan sabun saja bilang, biarkan anak kotor biar deterjen yang membantunya kinclong kembali. Sebuah pendekatan psikologis yang menarik karena semakin banyak orang tua yang abai terhadap masalah pola asuh.
Padahal ini berkaitan dengan Hak Otonomi Anak-agar belajar mandiri dan menikmati cara berpikirnya dengan sedikit lebih bebas, namun terukur dan dikontrol orang tua.
Dalam beberapa tahun terakhir, ada pergeseran gaya pengasuhan yang signifikan, dari pola asuh yang lebih otoriter (ketat) ke pola asuh yang lebih permisif (longgar). Kedua gaya pengasuhan ini bisa mempengaruhi anak secara negatif jika tidak diterapkan dengan bijaksana.
Pola asuh yang terlalu ketat, di mana orang tua menetapkan aturan yang kaku tanpa memberi ruang bagi anak untuk mengungkapkan pendapat atau membuat keputusan sendiri, dapat menyebabkan anak merasa tidak memiliki kontrol atas hidup mereka. Hal ini sering kali berujung pada rasa frustrasi, rendahnya rasa percaya diri, dan kecemasan. Sebaliknya, pola asuh yang terlalu longgar, di mana orang tua kurang memberikan batasan atau pengawasan yang memadai, dapat membuat anak-anak merasa kurang aman dan bingung dalam menghadapi dunia luar.
Menurut sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Child and Family Studies (2020), anak-anak yang dibesarkan dengan gaya pengasuhan otoriter sering mengalami masalah kecemasan dan depresi, sementara anak-anak yang dibesarkan dengan gaya pengasuhan permisif cenderung lebih impulsif dan kurang mampu mengelola emosi mereka dengan baik. Gaya pengasuhan yang seimbang, di mana orang tua memberikan dukungan emosional namun juga menetapkan batasan yang jelas, terbukti lebih efektif dalam mendukung kesehatan mental anak.
Masalah identitas diri dan tekanan sosial ternyata juga riskan dan mencemaskan. Di dunia yang semakin terbuka dan terhubung ini, anak-anak dan remaja dihadapkan pada berbagai tekanan sosial yang mempengaruhi perkembangan identitas diri mereka.
Media sosial, misalnya, sering kali menampilkan gambaran hidup yang tampaknya sempurna, yang membuat anak-anak merasa tertekan untuk memenuhi standar kecantikan, kesuksesan, dan gaya hidup tertentu.
Menurut laporan dari American Academy of Pediatrics (2022), lebih dari 50% remaja merasa cemas tentang penampilan fisik mereka setelah terpapar gambar-gambar yang dimodifikasi di media sosial. Ini menciptakan distorsi persepsi diri, yang berujung pada masalah kecemasan, tekanan untuk menjadi sempurna, dan kesulitan dalam membangun identitas yang sehat.
Orang tua harus lebih aktif dalam membantu anak mereka memahami bahwa media sosial sering kali tidak menggambarkan kenyataan dan pentingnya merasa nyaman dengan diri sendiri. Pemberian pengajaran tentang penerimaan diri dan keterampilan untuk menanggapi tekanan sosial secara sehat sangat penting dalam perkembangan psikologis anak.
Kesehatan mental yang kurang mendapat perhatian. Tidak sedikit  anak-anak akrena mendapat tekanan dari lingkungan menjadi down jiwanya. Orang tua kadang salah sangka ketika melihat anaknya pendiam. Disangkanya karena bawaan. Padahal sebaliknya justru anak-anak mungkin menghadapi problem psikologis yang kurang disadarai orang tuanya.
Meskipun kini semakin banyak orang yang menyadari pentingnya kesehatan mental, stigma terhadap terapi atau dukungan psikologis masih ada di beberapa kalangan. Anak-anak yang mengalami kecemasan, depresi, atau masalah psikologis lainnya sering kali tidak mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan.
Malah ada yang menganggap anaknya terlau manja, takut berlebihan, tidak bisa bersosialisasi dan sakit secara sosial. Tanpa disadari substansi penyebabnya secara psikologis.
Menurut data dari National Institute of Mental Health (NIMH), sekitar 1 dari 5 anak-anak di Amerika Serikat mengalami gangguan mental serius, tetapi hanya sebagian kecil yang menerima perawatan yang memadai. Hal ini menunjukkan perlunya peran orang tua dalam memberikan dukungan emosional dan mendorong anak untuk mencari bantuan jika diperlukan. Orang tua yang terbuka terhadap pembicaraan tentang kesehatan mental dan menyediakan akses ke terapi atau konseling memiliki peluang lebih besar untuk membantu anak-anak mereka mengatasi masalah psikologis yang mereka alami.
Perubahan peran keluarga dan peran orang tua. Dampak langsung yang paling terasa tentu saja ketika banyak orang tua yang juga sibuk dengan pekerjaan atau tuntutan ekonomi. Hal ini bisa mengurangi waktu berkualitas antara orang tua dan anak, yang berpengaruh pada hubungan emosional dan psikologis mereka. Anak-anak sering merasa kurang diperhatikan atau kurang mendapatkan bimbingan dari orang tua.
Banyak masalah ini memang berakar pada dinamika sosial yang terus berubah, dan orang tua serta anak harus beradaptasi dengan cara yang sehat. Â Dulu kebiasaan makan bersama keluarga di meja makan adalah salah satu bentuk Quality Time yang ditanamkan para orang tua kita tanpa kita sadari manfaat besarnya.
Meja makan menjadi ruang kita berkomunikasi, bersilaturahmi saling berkeluh kesah dan bercerita tentang tekanan dan masalah yang kita hadapi.Â
Perhatian orang tua kita, saudara-saudara kita menjadi sebuah "obat" yang bisa menekan tekanan itu. Ketika kasih sayang yang ditunjukkan menjadi sebentuk dukungan yang menguatkan---baik bagi orang tua yang karena sibuk bekerja menjadi stres. Atau bagi anak yang karena tekanan akademis, pertemanan, membuatnya butuh motivasi untuk bangkit.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI