Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Dari Tekanan Akademis Hingga Media Sosial; Jangan Abai Masalah Psikologis Keluarga

3 Februari 2025   21:16 Diperbarui: 3 Februari 2025   21:16 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 anak dan ketergantungan teknologi-sumber gambar suara.com
 anak dan ketergantungan teknologi-sumber gambar suara.com

Tantangan orang tua yang makin klasik adalah ketergantungan pada teknologi. Orang tua mana yang tidak memiliki keluhan. Anak-anaknya menjadi sangat candu dengan perangkat digital seperti ponsel, tablet, dan media sosial daripada berinteraksi langsung dengan orang tua atau teman-temannya. Ini menambah jarak emosional antara orang tua dan anak, serta bisa menyebabkan masalah dalam keterampilan sosial anak, kecemasan, dan perasaan kesepian.

Anak seorang teman sampai harus dimasukkan ke sebuah sekolah khusus hanya karena ia tidak bisa berbicara kecuali ketika berhadapan langsung dengan perangkat digital. Awalnya orag tuanya berpikir ia mengalami kelainan pendengaran. Ternya karena fokusnya pada perangkat digital membuatnya menjadi pasif berbicara. Hanya aka "berbunyi" jika dipicu audio yang muncul dari perangkat digital.

Studi yang dilakukan oleh Pew Research Center pada 2021 mengungkapkan bahwa sekitar 95% remaja memiliki akses ke ponsel pintar, dan lebih dari 45% dari mereka mengaku sering menggunakan media sosial lebih dari 3 jam sehari.

Hal ini menimbulkan dampak negatif terhadap perkembangan sosial dan emosional anak. Penggunaan media sosial yang berlebihan bisa memperburuk perasaan cemas, stres, dan depresi pada remaja, terutama ketika mereka membandingkan diri mereka dengan standar kecantikan atau kesuksesan yang tidak realistis di dunia maya.

Bagi orang tua, tantangan terbesar adalah menemukan cara untuk membimbing anak agar bisa menggunakan teknologi secara sehat. Pembatasan waktu penggunaan perangkat digital dan diskusi terbuka tentang pengaruh media sosial pada persepsi diri anak-anak menjadi langkah penting dalam mengurangi dampak negatifnya.

pola asuh ketat-sumbergambar -kompas.com
pola asuh ketat-sumbergambar -kompas.com

Pola asuh--Parenting Style yang makin kompleks bisa memganggu mental anak. Kekuatiran yang berlebihan seperti halnya pada kemampuan akademis, pola asuh juga kurang lebih sama masalahnya. Preferesi orang tua yang tinggi pada keamanan anak menyebabkan pola asuhnya menjadi sangat ketat (otoriter) atau sebaliknya, terlalu permisif, bisa mempengaruhi perkembangan psikologis anak. 

Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga dengan gaya pengasuhan yang sangat protektif atau terlalu longgar mungkin merasa kesulitan dalam mengembangkan kemandirian atau mengelola emosi mereka dengan baik.

Ada orang tua yang sama sekali melarang anaknya bermain kotor, bermain di taman, bermain dengan teman sebayanya hanya karena kuati r ketularan nakalnya. Padahal iklan sabun saja bilang, biarkan anak kotor biar deterjen yang membantunya kinclong kembali. Sebuah pendekatan psikologis yang menarik karena semakin banyak orang tua yang abai terhadap masalah pola asuh.

Padahal ini berkaitan dengan Hak Otonomi Anak-agar belajar mandiri dan menikmati cara berpikirnya dengan sedikit lebih bebas, namun terukur dan dikontrol orang tua.

Dalam beberapa tahun terakhir, ada pergeseran gaya pengasuhan yang signifikan, dari pola asuh yang lebih otoriter (ketat) ke pola asuh yang lebih permisif (longgar). Kedua gaya pengasuhan ini bisa mempengaruhi anak secara negatif jika tidak diterapkan dengan bijaksana.

Pola asuh yang terlalu ketat, di mana orang tua menetapkan aturan yang kaku tanpa memberi ruang bagi anak untuk mengungkapkan pendapat atau membuat keputusan sendiri, dapat menyebabkan anak merasa tidak memiliki kontrol atas hidup mereka. Hal ini sering kali berujung pada rasa frustrasi, rendahnya rasa percaya diri, dan kecemasan. Sebaliknya, pola asuh yang terlalu longgar, di mana orang tua kurang memberikan batasan atau pengawasan yang memadai, dapat membuat anak-anak merasa kurang aman dan bingung dalam menghadapi dunia luar.

Menurut sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Child and Family Studies (2020), anak-anak yang dibesarkan dengan gaya pengasuhan otoriter sering mengalami masalah kecemasan dan depresi, sementara anak-anak yang dibesarkan dengan gaya pengasuhan permisif cenderung lebih impulsif dan kurang mampu mengelola emosi mereka dengan baik. Gaya pengasuhan yang seimbang, di mana orang tua memberikan dukungan emosional namun juga menetapkan batasan yang jelas, terbukti lebih efektif dalam mendukung kesehatan mental anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun