Sebenarnya yang menarik adalah bahwa ternyata ada juga faktor psikologis yang mendasari perilaku tone deaf, yaitu mekanisme bertahan diri. Menunjukkan sikap tidak peduli terhadap sesuatu bisa menjadi cara untuk melindungi diri dari sesuatu yang tidak diharapkan.
Seseorang mungkin memilih untuk menutup telinga terhadap suara-suara yang tidak nyaman karena hal tersebut dapat menimbulkan perasaan cemas, takut, atau bahkan rasa bersalah. Dengan demikian, mereka membangun dinding pertahanan yang tebal di sekitar mereka, membuat mereka tampak keras kepala atau tidak peduli.
Antara Empati dan Ketegasan
Dengan kompleksitas dan tingkat kerumitan yang tidak sederhana, menghadapi orang yang tone deaf memang memerlukan strategi komunikasi yang cermat dan penuh pertimbangan. Antara empati dan ketegasan
Berdebat dengan mereka mungkin terasa seperti memukul tembok yang sangat kokoh, tetapi ada beberapa pendekatan yang bisa diambil.
Salah satunya adalah dengan berbicara menggunakan data dan fakta yang dapat dipercaya, serta menghindari serangan pribadi. Selain itu, tetaplah berempati terhadap kondisi mereka.
Ternyata ini menjadi strategi penting, mengingat bahwa sikap mereka mungkin didorong oleh faktor-faktor yang tidak sederhana dan mudah, seperti pengalaman masa lalu, rasa takut, atau keterbatasan dalam melihat perspektif yang lebih luas. Sehingga kecenderungannya mereka menjadi keras kepala dalam mengatasi masalahnya sendiri.
Namun, sikap empati ini juga tidak boleh mengurangi semangat kita untuk tetap menyuarakan pendapat yang membangun. Dalam berkomunikasi dengan orang yang tone deaf, kita bisa menunjukkan bahwa mendengarkan dan memahami perspektif orang lain adalah bagian penting dari kehidupan bermasyarakat.
Memberikan kesempatan bagi mereka untuk berbicara dan merespons dengan cara yang tidak defensif bisa membuka peluang untuk diskusi yang lebih konstruktif.
Bagaimanapun pada akhirnya, menghadapi orang yang tone deaf bukanlah tentang memaksa mereka untuk berubah, melainkan tentang menemukan cara berkomunikasi yang lebih efektif.
Apalagi ketika label negatif yang sering disematkan pada mereka kemudian ikut mempengaruhi cara kita melihat dan memperlakukan mereka. Hanya saja kita harus menyadari bahwa perubahan sikap tidak datang dari pemaksaan, tetapi dari pemahaman yang lebih dalam terhadap motivasi dan alasan di balik sikap mereka.Â
Memang tidak mudah menghadapi sikap keras kepalanya yang sering menyulut emosi. Tapi dengan mengedepankan empati dan pendekatan yang tepat, kita masih bisa berharap untuk menciptakan percakapan yang lebih berarti dan saling membangun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H