Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Orang Berkepribadian Tone Deaf, Sebaiknya Dihindari atau Dipahami?

31 Agustus 2024   18:40 Diperbarui: 1 September 2024   16:57 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orang tone deaf yang menyebalkan | Sumber gambar theasianparent.com

Sebenarnya yang menarik adalah bahwa ternyata ada juga faktor psikologis yang mendasari perilaku tone deaf, yaitu mekanisme bertahan diri. Menunjukkan sikap tidak peduli terhadap sesuatu bisa menjadi cara untuk melindungi diri dari sesuatu yang tidak diharapkan.

Seseorang mungkin memilih untuk menutup telinga terhadap suara-suara yang tidak nyaman karena hal tersebut dapat menimbulkan perasaan cemas, takut, atau bahkan rasa bersalah. Dengan demikian, mereka membangun dinding pertahanan yang tebal di sekitar mereka, membuat mereka tampak keras kepala atau tidak peduli.

Antara Empati dan Ketegasan

Dengan kompleksitas dan tingkat kerumitan yang tidak sederhana, menghadapi orang yang tone deaf memang memerlukan strategi komunikasi yang cermat dan penuh pertimbangan. Antara empati dan ketegasan

Berdebat dengan mereka mungkin terasa seperti memukul tembok yang sangat kokoh, tetapi ada beberapa pendekatan yang bisa diambil.

Salah satunya adalah dengan berbicara menggunakan data dan fakta yang dapat dipercaya, serta menghindari serangan pribadi. Selain itu, tetaplah berempati terhadap kondisi mereka.

Ternyata ini menjadi strategi penting, mengingat bahwa sikap mereka mungkin didorong oleh faktor-faktor yang tidak sederhana dan mudah, seperti pengalaman masa lalu, rasa takut, atau keterbatasan dalam melihat perspektif yang lebih luas. Sehingga kecenderungannya mereka menjadi keras kepala dalam mengatasi masalahnya sendiri.

Namun, sikap empati ini juga tidak boleh mengurangi semangat kita untuk tetap menyuarakan pendapat yang membangun. Dalam berkomunikasi dengan orang yang tone deaf, kita bisa menunjukkan bahwa mendengarkan dan memahami perspektif orang lain adalah bagian penting dari kehidupan bermasyarakat.

Memberikan kesempatan bagi mereka untuk berbicara dan merespons dengan cara yang tidak defensif bisa membuka peluang untuk diskusi yang lebih konstruktif.

Bagaimanapun pada akhirnya, menghadapi orang yang tone deaf bukanlah tentang memaksa mereka untuk berubah, melainkan tentang menemukan cara berkomunikasi yang lebih efektif.

Apalagi ketika label negatif yang sering disematkan pada mereka kemudian ikut mempengaruhi cara kita melihat dan memperlakukan mereka. Hanya saja kita harus menyadari bahwa perubahan sikap tidak datang dari pemaksaan, tetapi dari pemahaman yang lebih dalam terhadap motivasi dan alasan di balik sikap mereka. 

Memang tidak mudah menghadapi sikap keras kepalanya yang sering menyulut emosi. Tapi dengan mengedepankan empati dan pendekatan yang tepat, kita masih bisa berharap untuk menciptakan percakapan yang lebih berarti dan saling membangun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun