Dua orang ibu bertemu di acara anak, lantas keduanya terlibat dalam obrolan menarik tentang anak-anak mereka, kurang lebih ilustrasinya begini;
"Eh, tahu ngak Jeng? Baru-baru ini aku baca tentang betapa pentingnya memahami perasaan anak-anak, apalagi kalau mereka sedang cemas atau stres. Ternyata itu bisa berpengaruh pada perkembangan mereka lho."
"Terus mengapa memangnya kalau anak-anak bisa cemas? Aku pikir mereka cuma perlu main dan sekolah. Kalau sampai sering nangis, bisa saja mereka memang anak manja."
"Tapi sebenarnya, anak nangis bisa jadi tanda lho, kalau mereka juga sedang ada masalah tapi merasa sulit mengatakannya sama kita."
"Tapi anak-anak kan memang sering nangis. Kalau itu kita anggap stres, nanti malah bergantung sama kita."
"Tapi juga jangan terlalu mengabaikan perasaan mereka, nanti tambah besar masalahnya. Anak-anak juga perlu merasa aman dan didukung  supaya bisa berkembang dengan baik."
"Tapi kalau kita terlalu memanjakan mereka, kapan belajar mandirinya? Aku percaya aturan dan disiplin yang tegas lebih efektif, daripada perhatian seperti kamu"
"Memang disiplin penting, tapi dukungan emosional dan aturan juga harus seimbang."
"Aku tetap tidak setuju. Menurutku, anak-anak justru perlu belajar menghadapi kenyataan tanpa terlalu bergantung pada dukungan emosional yang berlebihan! "Aku tetap berpegang pada pandanganku. Aku rasa anak-anak perlu lebih banyak belajar mandiri dan mengatasi masalah sendiri!"Â Sepertinya itulah cara terbaik. Kita memang punya cara pandang yang berbeda untuk soal ini.
Mungkin sebagian kita bukan hanya sekali terlibat dalam dialog tanpa titik temu seperti itu, apalagi menyangkut politik, krisis sosial dan lainnya. Memang ketika dunia dipenuhi dengan banyak masalah yang membutuhkan respons bersama. Ada saja segelintir orang yang sulit untuk diajak berkomunikasi. Bisa jadi ia memang tidak memiliki empati atau sama sekali tidak peduli dengan masalah yang ada disekitarnya,dan itu fakta.Â
Orang dengan kecenderungan seperti itu dikenal dengan sebutan tone deaf. Istilah yang awalnya sebenarnya digunakan dalam dunia musik untuk menggambarkan seseorang yang tidak bisa membedakan nada dengan baik, tapi kemudian frasa itu dimaknai sebagai orang yang "tuli" terhadap nada-nada emosional orang lain, dan berpikir "apa pentingnya urusan itu untuknya?"
Ketika kemudian kita bertanya mengapa berkomunikasi dengan orang yang tone deaf begitu sulit? Apa penyebab utama dari sikap ini?.Â
Ternyata masalahnya juga tidak sederhana. Bukan hanya soal seseorang itu memang jenis orang yang cuek dan apatis, tapi bisa jadi juga dibentuk oleh latar belakang yang membuatnya menjadi apatis. Bisa jadi karena pengalaman masa lalu, rasa takut, atau keterbatasan dalam melihat perspektif yang lebih luas. Sehingga kecenderungannya membuatnya menjadi keras kepala, termasuk ketika mengatasi masalahnya sendiri. Dan ketika kita berkomunikasi dengan orang jenis ini, bisa saja kita terpancing rasa emosionalnya, meskipun itu wajar.Â
Apa yang menyebabkan timbulnya sikap seperti itu, beberapa indikasi bisa menjadi petunjuknya;Â
Pertama; Keengganan Memahami yang Lain
Salah satu penyebab utama sulitnya berkomunikasi dengan orang yang tone deaf adalah perbedaan kepentingan. Jika mereka yang lebih vokal biasanya tergerak oleh perasaan solidaritas dan keinginan untuk memperjuangkan kepentingan bersama.
Mereka yang apatis cenderung memprioritaskan kepentingan pribadi. Jika suatu isu tidak berdampak langsung pada mereka, maka mereka memilih untuk tidak terlibat. Sikap ini mengarah pada ketidakpedulian terhadap masalah yang sedang terjadi di luar lingkaran pengaruh mereka. Ketika dua pihak dengan kepentingan yang berbeda ini bertemu, maka mereka akan sulit menemukan titik temu.
Kedua; Dunia yang Dipandang Secara Berbeda
Perbedaan perspektif seringkali menjadi penghalang besar dalam kita berkomunikasi. Perspektif dalam hal ini merujuk pada cara seseorang merespons suatu situasi dan memprediksi dampaknya di masa depan. Mereka yang tone deaf sering kali merasa puas dengan keadaan saat ini. Dengan berpikir "saya baik-baik saja sekarang," jadi mereka merasa tidak perlu khawatir atau melakukan tindakan.
Sebaliknya di sisi lain, mereka yang vokal memikirkan dampak jangka panjang dari situasi yang ada. Mereka memahami bahwa ketidakpedulian hari ini bisa berakibat buruk di masa depan, baik untuk diri mereka sendiri maupun untuk masyarakat luas. Ketidakcocokan pandangan ini menjadikan komunikasi ibarat dua jalan yang tidak pernah bersilangan.
Bayangkan jika demokrasi sedang diobok-obok, lalu kita berdiam diri dengan alasan politik bukan urusan kita. Padahal jika politik menjadi amburadul, kita juga akan terkena dampaknya, jika bukan sekarang bisa jadi mungkin nanti.
Ketiga; Diam sebagai Zona Aman dan Nyaman
Sikap tone deaf sering kali juga dipicu oleh rasa pasrah. Mereka menganggap bahwa segala upaya untuk mengubah keadaan akan sia-sia belaka. Hal ini sering dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti rendahnya daya juang atau posisi yang terjepit, misalnya dalam hubungan antara pekerja dan atasan.
Diam dan tidak mengambil tindakan bisa jadi menjadi pilihan paling aman untuk menghindari risiko yang lebih besar. Mereka lebih memilih untuk menjalani hidup tanpa terganggu oleh masalah yang mungkin tidak dapat mereka atasi. Selalu ingin berada dalam Zona Nyaman.
Keempat; Kenyamanan yang Menumpulkan Empati
Sikap tone deaf yang sering muncul dari rasa terlalu aman. Ketika seseorang merasa terlalu nyaman dengan posisinya, mereka cenderung mengabaikan fakta-fakta penting yang terlihat oleh orang lain. Contohnya, seseorang yang berada dalam hubungan yang tidak sehat--hubungan toxic, mungkin tetap tinggal dalam hubungan tersebut meskipun tahu bahwa itu berbahaya, karena mereka merasa terlalu nyaman atau takut menghadapi perubahan.
Bagi mereka yang tone deaf mungkin merasa tidak perlu memedulikan situasi di luar kenyamanan mereka sendiri, menganggap bahwa hal-hal tersebut tidak relevan atau tidak memengaruhi kehidupan mereka secara langsung.
Kelima; Menghindari Ketidaknyamanan
Sebenarnya yang menarik adalah bahwa ternyata ada juga faktor psikologis yang mendasari perilaku tone deaf, yaitu mekanisme bertahan diri. Menunjukkan sikap tidak peduli terhadap sesuatu bisa menjadi cara untuk melindungi diri dari sesuatu yang tidak diharapkan.
Seseorang mungkin memilih untuk menutup telinga terhadap suara-suara yang tidak nyaman karena hal tersebut dapat menimbulkan perasaan cemas, takut, atau bahkan rasa bersalah. Dengan demikian, mereka membangun dinding pertahanan yang tebal di sekitar mereka, membuat mereka tampak keras kepala atau tidak peduli.
Antara Empati dan Ketegasan
Dengan kompleksitas dan tingkat kerumitan yang tidak sederhana, menghadapi orang yang tone deaf memang memerlukan strategi komunikasi yang cermat dan penuh pertimbangan. Antara empati dan ketegasan
Berdebat dengan mereka mungkin terasa seperti memukul tembok yang sangat kokoh, tetapi ada beberapa pendekatan yang bisa diambil.
Salah satunya adalah dengan berbicara menggunakan data dan fakta yang dapat dipercaya, serta menghindari serangan pribadi. Selain itu, tetaplah berempati terhadap kondisi mereka.
Ternyata ini menjadi strategi penting, mengingat bahwa sikap mereka mungkin didorong oleh faktor-faktor yang tidak sederhana dan mudah, seperti pengalaman masa lalu, rasa takut, atau keterbatasan dalam melihat perspektif yang lebih luas. Sehingga kecenderungannya mereka menjadi keras kepala dalam mengatasi masalahnya sendiri.
Namun, sikap empati ini juga tidak boleh mengurangi semangat kita untuk tetap menyuarakan pendapat yang membangun. Dalam berkomunikasi dengan orang yang tone deaf, kita bisa menunjukkan bahwa mendengarkan dan memahami perspektif orang lain adalah bagian penting dari kehidupan bermasyarakat.
Memberikan kesempatan bagi mereka untuk berbicara dan merespons dengan cara yang tidak defensif bisa membuka peluang untuk diskusi yang lebih konstruktif.
Bagaimanapun pada akhirnya, menghadapi orang yang tone deaf bukanlah tentang memaksa mereka untuk berubah, melainkan tentang menemukan cara berkomunikasi yang lebih efektif.
Apalagi ketika label negatif yang sering disematkan pada mereka kemudian ikut mempengaruhi cara kita melihat dan memperlakukan mereka. Hanya saja kita harus menyadari bahwa perubahan sikap tidak datang dari pemaksaan, tetapi dari pemahaman yang lebih dalam terhadap motivasi dan alasan di balik sikap mereka.Â
Memang tidak mudah menghadapi sikap keras kepalanya yang sering menyulut emosi. Tapi dengan mengedepankan empati dan pendekatan yang tepat, kita masih bisa berharap untuk menciptakan percakapan yang lebih berarti dan saling membangun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H