Saat rehat dalam perjalanan ke kota kami memutuskan untuk singgah di sebuah Mushala atau surau di salah satu titik area tsunami terparah di daerah Peunayong.
Berada di dalam klaster perumahan yang kecil, mushala itu tidak terlihat dari jalan kecuali sebuah papan kecil sebagai penunjuknya. Tapi saya ingat karena dulu perumahan itu milik sahabat saya yang terkena tsunami dan hingga kini kabarnya tak lagi saya dengar.
Tak ada jamaah lain selain kami jadi kami bergegas menunaikan shalat Maghrib. Kemudian kami duduk di teras sejenak, ketika tak lama muncul seorang remaja dari dalam mushala, mungkin ia datang saat kami shalat jadi tidak terlihat. Saat mengenakan sepatu kami mengobrol.
"Mahasiswa ya nak" tanya saya
"Bukan bu, saya pegiat sekolah anak jalanan, dulu sekolah kami tidak jauh dari sini", tangannya sambil menunjuk arah belakang rumah sakit dimana sebuah bangunan kecil yang kelihatannya juga seperti bangunan mushala milik rumah sakit.
"Bukannya itu mushala"Â tanya saya penasaran.
"Benar bu, dulunya sebelum dibangun mushala, adalah rumah bedeng milik para pekerja. Setelah tidak dipakai lagi kami manfaatkan bale-balenya untuk mushala dan kelas darurat bagi anak-anak jalanan yang mau belajar, dan saya yang jadi gurunya".
"Tapi pihak rumah sakit kemudian menolak meminjamkan kepada kami karena saya dianggap anak punk dan mereka kuatir". papar remaja berambut sedikit gondrong itu.
"Siswanya pertama ada 8 anak, semuanya anak jalanan di sekitar sini termasuk anak pemulung, sekarang sudah bertambah banyak" lanjutnya. "Karena mereka tak bersekolah jadi saya yang berinisiatif membantu, karena setiap hari saya yang berkomunikasi dengan mereka dan bisa mendengar apa keluhannya", kata Andri nama si pegiat sekolah anak jalanan itu.
Ia sudah menjalani profesi itu hampir setahun lamanya. Riwayat sekolah pertamanya yang juga dijadikan kantor dan pustaka itu hanya sepanjang usia bangunan itu sebelum dibongkar untuk Mushala.
Kemudian sekolah itu berpindah-pindah tempat. Kadang-kadang di pinggir sungai di bale-bale tempat rehat para pemilik pembuat kapal, atau di mushala kampung, tapi hampir setiap minggu mereka punya jadwal pertemuan rutin. Buku-buku pustakanya disimpan Andri di rumah bedengnya dan akan dibawa saat sekolah itu berlangsung dalam tas ranselnya. Jika tidak Andri akan membacakan satu buku dan anak-anak mendengar kemudian mereka bercerita tentang buku itu.
Begitulah sekolah nonformal yang juga dikelola guru biasa namun terus hidup dan berkembang. Saya sempat meminta nomor kontaknya siapa tahu bisa membantunya menghubungkan dengan pihak yang berkompeten dengan urusan pendidikan nonformal yang ditulisnya di kertas karena ia tak punya gadget.
Tak sedikit anak-anak di jalanan atau yang bekerja di tempat pemulungan sampah tak bersekolah, mereka membantu para orang tuanya.
Namun tidak sedikit juga para orang tua yang berprofesi sebagai pemulung tetap memprioritaskan pendidikan di sekolah formal buat anak-anak mereka di tengah keterbatasan tersebut karena mereka memiliki keyakinan agar anaknya menjadi lebih baik nasibnya nanti.
Selain masalah ekonomi, mahalnya biaya pendidikan si sekolah juga menjadi masalah yang menurut Andri, menjadi alasan para anak-anak jalanan dan pemulung itu tidak bisa bersekolah, padahal hampir sebagian besar mereka ingin bersekolah di sekolah seperti teman sebaya mereka.
Sekolah Jalanan milik Andri dan seorang teman "aktifis jalanan" itu adalah lembaga pembelajaran nonformal yang mengisi ruang-ruang kosong yang belum sepenuhnya bisa disediakan Pemerintah.Â
Dengan inisiatif sendiri Andri dan temannya mencari buku-buku "pelajarannya" juga dari tempat pemulungan atau sumbangan orang-orang yang peduli dengan kegiatannya. Tidak mesti harus buku pelajaran sekolah, buku apa saja selama memiliki materi positif dijadikan Andri sebagai bahan mengajarnya.
Ia sendiri juga bukan warga setempat, tapi juga perantau yang datang dan kerja serabutan dan tinggal di tempat darurat, namun ia tetap memiliki kepedulian terhadap nasib anak-anak jalanan.
Sekolah-sekolah atas inisiatif personal seperti milik Andri selama ini jarang tersentuh oleh pihak terkait, terutama karena koneksi atau komunikasi diantara mereka tidak ada.
Pemerintah juga masih menganggap bahwa sekolah-sekolah para anak jalanan seperti itu masih bersifat sementara, sehingga belum bisa memberikan solusi konkret.
Dan seperti dikatakan Andri, karena semuanya masih berjalan apa adanya, jadi ia masih merasa sungkan jika harus melapor dan meminta bantuan kepada Pemerintah melalui dinas pendidikan yang ada. Namun di tingkat kampung di sekitar mereka tinggal sudah mulai peduli dengan memberi bantuan, seperti tempat belajarnya.
Sekolah Jalanan (Sekolah Anak Jalanan) selama ini kita pahami sebagai sekolah yang diadakan untuk anak-anak jalanan yang tidak memiliki akses atau terbatas dalam mengakses pendidikan formal. Sekolah ini bisa berlokasi di jalan-jalan, taman, atau tempat umum lainnya. Guru biasanya adalah relawan yang peduli terhadap pendidikan anak-anak ini.
Sekolah non-formal menjadi ruang pendidikan alternatif, terutama karena mencakup berbagai jenis pendidikan yang tidak diatur oleh pemerintah dan sering kali lebih fleksibel dalam metodenya.Â
Termasuk jenisnya adalah sekolah berbasis komunitas, pendidikan berbasis rumah (homeschooling), atau program pendidikan non-formal lainnya karena tidak terdaftar dan tidak diatur secara resmi oleh pemerintah seperti sekolah formal pada umumnya.
Ketika saya tanyakan mengapa Andri tak mencoba meminta dukungan, ia mengatakan bahwa sekolahnya masih terbilang kecil, muridnya juga tidak banyak. Jika belum apa-apa sudah meminta dukungan ia kuatir mereka mencurigainya menjadikan sekolah anak jalanan itu sebagai modus mencari uang.
Sehingga selama ini ia memilih menjalankannya dengan sukarela dulu sebelum menjadi lebih formal pengurusannya. Sejauh ini yang bisa dilakukan adalah mencari kontak dengan orang-orang yang bisa menghubungkan mereka dengan LSM yang mungkin bisa membantu menyediakan akses pendidikan nonformal yang lebih layak bagi anak-anak jalanan.
Tentang Pendidikan Nonformal
Sejauh yang kita pahami, sebenarnya pendidikan nonformal adalah bentuk pendidikan yang terorganisir dan sistematis serta dilaksanakan di luar sistem formal, baik tersendiri maupun dalam suatu bagian kegiatan yang luas sebagai tambahan, pengganti atau pelengkap pendidikan formal.
Tujuannya tentu saja agar orang yang mendapatkan kesempatan pendidikan tersebut bisa memperoleh bimbingan, informasi, ilmu dan keterampilan baru melalui latihan yang diterimanya.
Dengan wujudnya yang terstruktur dan terencana dan bersifat fleksibel, independen dan mandiri, serta prosesnya tidak memiliki kaitan dengan bentuk pendidikan berjenjang atau kelas-kelas. Perbedaan antara pendidikan nonformal dengan pendidikan formal yang mendasar yaitu terletak pada bentuk dan isi program, tujuan pembelajaran, peserta didik, dan penanggung jawabnya.
Sudjana (2004) menjelaskan bahwa, fungsi Komplement (pelengkap) pendidikan sekolah. Pendidikan nonformal menyajikan seperangkat kurikulum tetap yang dibutuhkan sesuai dengan situasi daerah dan masyarakat.Â
Peserta didik pada satuan pendidikan formal merasa perlu untuk menambah pengetahuan, keterampilan, dan sikap melalui jalur pendidikan nonformal. Misalnya: kursus komputer, bahasa asing, kursus kepribadian.
Dan sebagai Suplement (tambahan). Pendidikan nonformal memberikan kesempatan pendidikan bagi mereka yang telah menamatkan jenjang pendidikan formal tetapi dalam tempat dan waktu berbeda.
Apabila pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperoleh peserta didik pada satuan pendidikan formal dirasa belum memadai maka ia dapat menambahnya melalui pendidikan nonformal Misalnya: bimbingan belajar, les privat.
Sebagai Substitusi (pengganti) pendidikan sekolah, pendidikan nonformal bisa menggantikan fungsi sekolah terutama pada daerah-daerah yang belum dijangkau oleh program pendidikan sekolah.Â
Dan apabila warga masyarakat tidak memiliki akses terhadap satuan pendidikan formal atau putus sekolah (DO) dari pendidikan formal, maka ia dapat mengikuti pendidikan melalui jalur nonformal.
Apa yang dilakukan Andri juga termasuk salah satunya, karena tidak terstruktur seperti pendidikan formal yang diatur secara ketat oleh kurikulum nasional dan sering kali tidak mengarah pada pengakuan formal atau sertifikasi akademik.
Sekolah anak jalanan lebih berfungsi sebagai alternatif bagi anak-anak yang tidak memiliki akses atau kesempatan untuk mengikuti pendidikan formal yang terstruktur di sekolah-sekolah biasa.Â
Sekolah anak jalanan sering kali dijalankan di lokasi yang tidak konvensional, seperti ruang terbuka, bangunan-bangunan sederhana, atau bahkan di jalanan itu sendiri. Guru-guru yang terlibat dalam sekolah ini biasanya adalah relawan atau individu yang peduli dengan pendidikan anak-anak dari latar belakang yang terpinggirkan.
Meskipun tidak diakui secara formal oleh pemerintah sebagai bagian dari sistem pendidikan resmi, sekolah anak jalanan memberikan kontribusi yang berarti dalam memberikan pendidikan dasar kepada anak-anak yang mungkin sebaliknya tidak akan mendapatkan kesempatan untuk belajar.
Dengan demikian, sekolah anak jalanan memainkan peran penting dalam memfasilitasi akses pendidikan untuk anak-anak yang hidup di bawah garis kemiskinan atau menghadapi tantangan lainnya yang menghambat mereka dari menghadiri sekolah formal.
Pendidikan Inklusif Buat Semua Anak
Dalam kerangka pendidikan inklusif idealnya bisa mengintegrasikan anak-anak dari latar belakang yang terpinggirkan, termasuk anak-anak jalanan, ke dalam sistem pendidikan formal dengan cara menyediakan program khusus atau jalur akses yang sesuai.
Pemerintah harus lebih peduli dengan memanfaatkan regulasi yang bisa mendukung pelaksanaan sekolah-sekolah nonformal ini menjadi lebih kokoh dan kuat serta mandiri.
Termasuk dengan kemungkinan bantuan pendanaan yang diatur juga dengan regulasi yang baik. Dukungan bantuan keuangan atau dukungan logistik kepada sekolah nonformal yang ada untuk membantu mereka menjaga operasional dan kualitas pendidikan menjadi sebuah stimulan yang positif mendukung kemajuan mereka.
Begitu juga dengan kemungkinan pada arah yang lebih kompleks seperti pengembangan kurikulum alternatif. Penyediaan kurikulum alternatif atau modul pembelajaran yang bisa digunakan oleh sekolah nonformal untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang mereka berikan meskipun berada diluar sistem sekolah formal.
Pendekatan ini bisa sangat membantu memastikan bahwa anak-anak yang berada di luar jangkauan pendidikan formal juga mendapatkan akses yang setara dan berkualitas terhadap pendidikan.
Apalagi dalam kondisi saat ini dimana ekonomi sedang sulit, harga barang naik, biaya pendidikan juga meroket, sehingga tak semua lapisan kalangan masyarakat beruntung bisa menyekolahkan anak-anaknya.
Dan melalui sekolah nonformal ini, selain harapan dasar anak-anak memperoleh pendidikan paling tidak bisa diakomodir meskipun secara darurat, namun dalam jangka panjang bisa memotivasi mereka untuk bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi karena kebtuhan mereka terhadap ilmu.
"Beberapa anak, yang tadinya sekolah bersama saya, ada beberapa yang sudah masuk sekolah formal karena orang tuanya termotivasi sendiri melihat anaknya ternyata rajin dan pintar" papar Andri.Â
Fakta itu menunjukkan bukti bahwa sekolah nonformal bisa menjadi stimulan, tak harus gembar-gembor merayu para orang tua para pemulung dan anak jalanan karena anak mereka diharuskan membantu pekerjaan mereka sehari-hari. Proses pendidikan nonformal tersebut pelan tapi pasti memberi perubahan cara berpikir pada anak-anaknya, dan kemudian para orang tuanya.
Sayang sekali saya hanya bertemu singkat dengan Andri, itupun dalam pertemuan dan obrolan tidak sengaja . Di lain waktu saya katakan padanya untuk datang lagi, membawa beberapa buku-buku yang ada di rumah yang bisa kami berikan untuk mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H