Bermain Sambil Belajar, Tapi Bukan Judi Dong!
Saya teringat dulu, sewaktu gadget belum marak digunakan, ada kekuatiran ketika perdagangan "Lotere" dilakukan bahkan hingga ke tempat jajanan anak sekolah. Para pedagang kecil yang mangkal di sekitar sekolah memperjualbelikan barang dagangan berupa permainan memilih angka untuk mendapatkan hadiah tertentu.
Harganya cuma seceng alias seribuan, sehingga anak-anak bisa tergoda, apalagi yang berkeinginan untuk mendapatkan jenis hadiah tertentu.Â
Bagaimanapun tidak sedikit anak-anak yang suka berpikir spekulatif. Toh cuma uang jajan seribuan, besok juga bakal ada lagi "pemasukan" dari jatah ajjan berikutnya. Bagaimanapun ini bisa menjadi bibit buruk.
Namun cikal bakal judi "offline" tersebut kemudian jauh ditinggalkan "peminatnya" dan beralih ke judi online dalam format permainan atau game-online.Â
Padahal ini lebih fatal dan berbahaya. Masih ingat dengan periode masa pertumbuhan belajar anak pada usia tertentu yang akan lebih responsif jika "belajar sambil bermain". Nah ini permainannya judi!.
Ternyata justru memicu kekuatiran yang lebih besar. Terutama karena ruang privasi kini telah beralih ke dalam gadget. Di luar kendali kita, anak-anak bisa memainkan game online kapan saja. Dan rasanya kontrol kita semakin kurang dan berganti menjadi sikap permisif yang cenderung melonggar. Karena tak setiap  saat orang tua bisa "mengintip" apa yang menjadi tontonan anak di gadget-nya.
Solusi Semu atau Justru Memicu Dampak Berantai?
Terkait dengan judi online, menurut kabar meski menentukan perkiraan perputaran uang dalam judi online di Twitter secara tepat merupakan hal yang sulit, karena sifatnya yang Ilegal dan tidak tercatat secara resmi, transaksi juga tersembunyi melalui Direct Message (DM) atau karena perubahan platformnya.
Dan pemblokiran Twitter berkemungkinan besar justru mendorong perpindahan aktivitas judi online ke platform lain, sehingga data perputaran uang di Twitter mungkin tidak lagi akurat.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat 11.000 platform judi online diblokir selama 2022, dengan total nilai transaksi mencapai Rp 32 triliun. Apakah intensitasnya lantas menurun?, atau sebaliknya justru semakin melonjak. Itu juga bisa menjadi indikator---alat ukur efektifitas pemblokiran sebuah akun seperti Twitter.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), pada tahun 2023, mencatat perputaran uang judi online di Indonesia mencapai Rp 517 triliun selama periode 2022-2023. Nah, bisa dibayangkan bagaimana "legitnya" bisnis judi yang beromset hingga ratusan triliun!.
Maraknya judi online bagaikan virus yang mewabah di media sosial, tak terkecuali Twitter. Platform yang identik dengan cuitan ini telah menjadi sarang bagi para bandar dan pemain judi online untuk bertransaksi dan menjerat mangsa.
Ini bisa menjadi sebuah bom waktu yang siap meledak dan menelan korban, terutama anak-anak dan remaja yang rentan dari godaan perjudian. Bahkan selama bulan Ramadhan lalu, intensitasnya juga tak redup, justru pengguna gadget  memiliki waktu luang yang lebih besar dan bermain di ranah "haram" tersebut.