Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hati Sang Malaikat

25 Juni 2024   02:48 Diperbarui: 9 Juli 2024   20:11 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mia duduk di sisi tempat tidur, menatap kosong jendela kaca berembun. Square yang luas di kejauhan menggelap dipeluk lembab udara dingin di bawah bayangan patung malaikat kecil yang muram. 

Di seberang  jalan, Libera Cafe dipenuhi tawa pengunjung menikmati croissant dalam celupan cafe-au-lait hangat. Gadis penjual bunga pun terlihat ceria mengikat bouquet calla lily pesanan sepasang pengantin yang kasmaran. 

Mia merasakan sesuatu, ketika dokter Martha menyentuh lembut, lalu mengenggam tangannya. Kata-katanya masih menggantung di udara, "Mia sayang, maaf aku harus jujur tentang ini", ujar dokter Martha seolah enggan mengatakannya. 

"Akhirnya ia datang juga, seperti saat Limfoma itu mengambil ibuku dua musim gugur lalu.". Seolah Mia tahu dan telah menunggunya, jadi ia sama sekali tidak terkejut mendengarnya, suaranya pasrah. Tapi itu memberinya kesedihan-- sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa takut---kesendirian!. 

***

"Mereka memanggilku, ini kesempatan yang tak mungkin aku tolak, jadi aku harus ke Manhattan secepatnya". Kata-kata Natalie yang datar seperti farewell party, daripada berita gembira, saat mereka menikmati croissant di  Libera Cafe yang dipenuhi sinar matahari pagi yang hangat. 

Tatapan Natalie kosong seperti menembus kaca jendela, menyembunyikan air mata, melintasi Mia yang terpaku di depannya. "Maafkan aku..", suara Natalie lirih nyaris tak terdengar.

Itu empat bulan lalu di musim panas. Kata-kata itu seperti ritme lagu yang mengulang, dan bayangan seseorang itu muncul dalam pikirannya---Natalie, sahabat baik satu-satunya. 

Persahabatan mereka telah melewati begitu banyak musim bersama-sama. 

Tiba-tiba Mia merindukannya. Mia merasa sendirian.

***

Musim gugur pertama datang, Natalie terasa begitu tiba-tiba menghilang dari kehidupannya. Tidak ada kunjungan, tidak ada telepon, bahkan tidak ada pesan singkat.

Mungkin ia sibuk. Mia ingat ketika terakhir sebelum menghilang Natalie menceritakan sebuah tawaran impian menjadi dokter muda di Presbyterian Lower Manhattan Hospital. 

" Begitu semuanya siap, aku segera menjemputmu secepatnya", janji Natalie kala itu. 

Mereka berdua kuliah di tempat yang sama, dan menjadi karib karena kesamaan dalam banyak hal, apalagi setelah kedua orang tua mereka tiada dan menjadi seorang diri di dunia.

Awalnya, Mia mencoba untuk memaklumi keadaan Natalie. Mungkin sahabatnya memang sibuk dengan pekerjaan. Namun, semakin lama penantiannya berlanjut, semakin jelas baginya bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Mia merasa ditinggalkan.

Rasa kecewa itu menggumpal, bergelut dengan perasaan tidak dihargai. Dendam tumbuh dalam hati, menggerogoti perasaan sakitnya yang mendalam. Dia merasa marah kepada Natalie--- karena ditinggalkan dalam saat-saat paling sulit dalam hidupnya.

Satu-satunya yang bisa ia lakukan, menuliskannya di buku kecil, agar ia bisa bernafas. Setiap kali Mia menuliskan rasa sakit itu, dia menemukan dirinya menulis tentang perasaan-perasaan kecewa.

Catatan yang biasanya penuh dengan harapan, kini dipenuhi dengan rasa sakit yang tidak pernah berkurang meskipun waktu terus berlalu.

***

Sabtu pagi itu, Mia duduk di meja kecilnya dengan pena gemetar di tangan. Dia menatap kertas kosong di depannya, membiarkan emosinya mengalir. 

Mia menulis tentang persahabatan yang pernah mereka bangun bersama, tentang bagaimana kehadiran Natalie pernah memberinya kekuatan dan harapan.

Namun, juga menulis tentang bagaimana perasaannya terluka dan terabaikan setelah Mia menerima kenyataan bahwa diagnosa dokter Martha tentang kankernya itu nyata menggerogoti limfosit-nya.

Mia tahu bahwa dendamnya kepada Natalie tidak hanya tentang perasaan ditinggalkan, tetapi juga tentang kebutuhan untuk didengar. 

Dia merasa bahwa Natalie harus tahu bagaimana perjuangan ini mempengaruhi hidupnya, bagaimana setiap hari adalah tantangan untuk bertahan hidup dan untuk menemukan arti dalam penderitaan.

Hingga beberapa minggu kemudian, Mia menerima sebuah pesan singkat dari Natalie. 

"Maafkan aku, Mia. Aku tidak tahu bagaimana caranya menghadapi ini semua." Aku tak tahu harus memulai lagi darimana. 

Pesan itu terasa penuh penyesalan, menceritakan bagaimana Natalie sendiri tidak tahu bagaimana cara menanggapi situasi yang rumit ini. 

Mia duduk di ruang tamunya yang kecil, menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong. Pesan singkat dari Natalie masih terbuka di layar, menggema di keheningan ruang itu seperti bayangan masa lalu yang masih memburai hati Mia. 

Pesan itu telah menggantung di udara selama beberapa hari sekarang, sementara Mia mencerna kembali semua yang terjadi. Tapi sekarang, Mia tahu ada sesuatu yang tidak biasa.

***

Mia mengingat kembali saat mereka bertemu beberapa minggu yang lalu. Saat Mia mengirimkan balasan yang jujur kepada Natalie, hingga mereka akhirnya bertemu untuk berbicara.

Natalia menceritakan semuanya, bagaimana dia ternyata juga didiagnosis kanker beberapa bulan sebelum Mia. Bagaimana dia merasa takut dan terisolasi menghadapi kenyataan yang sulit ini, dan dia tidak tahu cara untuk memberi tahu Mia tanpa membuat segalanya lebih buruk. 

"Aku berobat disana. Begitu dokter Martha bilang benjolan di leher itu positif Limfoma, aku shock!. Aku berusaha membuat semua seolah baik-baik saja."

"Kamu ingat terakhir kita duduk di Libera, aku tak tahu harus bilang apa untuk memilih kata-kata perpisahannya. Jadi aku bilang soal tawaran itu".

Mia duduk terdiam, membiarkan kata-kata Natalie meresap ke dalam pikirannya. Sebagian dari hatinya masih terluka karena merasa ditinggalkan, tetapi sebagian lainnya mulai memahami betapa sulitnya situasi yang dihadapi oleh Natalie seperti juga dirasakannya ketika hari-hari pertama setelah diagnosa dokter Martha untuknya.

"Aku tidak ingin membuatmu merasa lebih buruk," kata Natalie dengan lembut, matanya terpaku pada lantai kayu. 

"Aku hanya takut. Takut dengan kenyataan bahwa kita berdua harus menghadapi hal yang sama, dan takut dengan bagaimana ini semua akan mengubah hidup kita."

Mia merasakan lumpuh yang menekan dadanya. Dia mengingat saat-saat ketika kanker memaksa dia untuk menghadapi kematian, saat-saat ketika dia merasa begitu lemah dan rapuh. Saat ia merasa di bawah bayangan malaikat maut--sendirian.

Dalam detik-detik itu, dia merasa terhubung dengan keadaan Natalie lebih dari sebelumnya. Mereka berdua takut dan terluka, mencari cara untuk bertahan hidup dan menemukan arti dalam penderitaan mereka. 

***

Suatu hari, saat mereka berada di depan Flamme de la Liberté, Natalie mengusulkan sesuatu yang mengejutkan Mia. 

"Kita tak lagi punya pilihan, kita harus kuat dan aku pikir mengapa kita tidak membagikan pengalaman kita kepada orang lain?" kata Natalie dengan mata bersinar. "Mungkin kita bisa membuat sesuatu yang berbeda dari semua ini."

Mia terdiam sejenak, mencerna kata-kata itu. 

"Iya, mungkin kita bisa memberikan mereka tempat untuk berbagi cerita, dan untuk menemukan harapan dalam kesulitan seperti kita.", ujar Mia sejurus kemudian.

Natalie tersenyum.  Mereka ingin memastikan bahwa tidak ada orang yang merasa sendirian dalam perjuangan mereka melawan Limfoma yang mengerikan ini.

Seiring berjalannya waktu, mereka menemukan bagaimana bisa mengubah rasa sakit menjadi sesuatu yang lebih berarti. Mereka menyadari bahwa hidup bukan hanya tentang bertahan, tetapi juga tentang memberikan arti bagi orang lain. 

Mereka menemukan bahwa terkadang, saat merasa paling lemah, justru menemukan kekuatan yang paling besar melalui orang lain.

Deru angin musim gugur itu lebih terdengar seperti nyanyian Ode, daripada lagu sendu elegi.

Di atasku, dedaunan berhimpun, emas dan cokelat,
Berduaan dan bertiga mereka melayang,
Mereka berdesau turun ke tanah,
Dan berbaring di tempat jatuhnya.

Satu sisi hijau, sisi lain cokelat,
Di antara keduanya terhampar garis sempit,
Di mana cahaya dan bayangan bertemu dan mengerut
Dalam suatu rupa.

Kucoba melihat merah dan kuning,
Namun hatiku berat dan kelu,
Kubiarkan mereka jatuh tanpa suara,
Seperti sesuatu yang pulang ke rumah.

Saat daun-daun pergi, kurasakan dinginnya,
Dan takut kegelapan, serta ngeri embun beku,
Namun kuambil semuanya, satu per satu,
Dan menguburnya di bawah salju.

Sebab musim dingin panjang dan dingin,
Dan semua bunga telah tiada,
Dan aku harus menanti musim semi tiba,
Saat burung bernyanyi dan daun menghijau.

[bait puisi--"The Fall of the Leaves" by  Robert Frost]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun