Mia duduk di sisi tempat tidur, menatap kosong jendela kaca berembun. Square yang luas di kejauhan menggelap dipeluk lembab udara dingin di bawah bayangan patung malaikat kecil yang muram.Â
Di seberang  jalan, Libera Cafe dipenuhi tawa pengunjung menikmati croissant dalam celupan cafe-au-lait hangat. Gadis penjual bunga pun terlihat ceria mengikat bouquet calla lily pesanan sepasang pengantin yang kasmaran.Â
Mia merasakan sesuatu, ketika dokter Martha menyentuh lembut, lalu mengenggam tangannya. Kata-katanya masih menggantung di udara, "Mia sayang, maaf aku harus jujur tentang ini", ujar dokter Martha seolah enggan mengatakannya.Â
"Akhirnya ia datang juga, seperti saat Limfoma itu mengambil ibuku dua musim gugur lalu.". Seolah Mia tahu dan telah menunggunya, jadi ia sama sekali tidak terkejut mendengarnya, suaranya pasrah. Tapi itu memberinya kesedihan-- sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa takut---kesendirian!.Â
***
"Mereka memanggilku, ini kesempatan yang tak mungkin aku tolak, jadi aku harus ke Manhattan secepatnya". Kata-kata Natalie yang datar seperti farewell party, daripada berita gembira, saat mereka menikmati croissant di Libera Cafe yang dipenuhi sinar matahari pagi yang hangat.Â
Tatapan Natalie kosong seperti menembus kaca jendela, menyembunyikan air mata, melintasi Mia yang terpaku di depannya. "Maafkan aku..", suara Natalie lirih nyaris tak terdengar.
Itu empat bulan lalu di musim panas. Kata-kata itu seperti ritme lagu yang mengulang, dan bayangan seseorang itu muncul dalam pikirannya---Natalie, sahabat baik satu-satunya.Â
Persahabatan mereka telah melewati begitu banyak musim bersama-sama.Â
Tiba-tiba Mia merindukannya. Mia merasa sendirian.
***
Musim gugur pertama datang, Natalie terasa begitu tiba-tiba menghilang dari kehidupannya. Tidak ada kunjungan, tidak ada telepon, bahkan tidak ada pesan singkat.
Mungkin ia sibuk. Mia ingat ketika terakhir sebelum menghilang Natalie menceritakan sebuah tawaran impian menjadi dokter muda di Presbyterian Lower Manhattan Hospital.Â