Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pisau Bermata Dua, Pendidikan Antara Esensi dan Tantangan Komodifikasi

23 Juni 2024   01:52 Diperbarui: 27 Juni 2024   21:19 896
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana PPDB di sebuah sekolah sumber gambar regional kompas

Masalah yang mendapat sorotan luas dalam dunia pendidikan kita saat ini, selain persoalan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), adalah banyaknya masyarakat yang menyuarakan keluhan mengenai biaya pendidikan yang terus naik. 

Padahal, pendidikan publik merupakan hak yang dijamin konstitusi yang menyatakan bahwa setiap warga negara wajib mendapatkan pendidikan dasar yang dibiayai oleh negara. Salah satu penyebab mahalnya pendidikan di negara kita menurut para pengamat pendidikan adalah karena institusi pendidikan terindikasi di-komodifikasi.

Bahwa ruang pendidikan dan sekolah kita saat ini sebagiannya telah menjadi komersial, sehingga ukuran hubungan sekolah dengan siswa didasarkan pada ukuran-ukuran materi. Komodifikasi adalah transformasi barang, jasa, gagasan, dan orang menjadi sesuatu yang bernilai ekonomi yang material.

Kenyataan itu semakin terlihat kentara dan semakin sulit dibantah, terutama karena problem zonasi sekolah yang diterapkan saat ini ternyata juga memicu timbulnya masalah baru, semacam "rebutan" anak didik baru yang semakin ketat.

Memang problematik, dulu saat tak diberlakukan zonasi, banyak sekolah yang dianggap "unggul" menyerap siswa hingga berlimpah rombongan belajarnya (rombelnya). Bahkan beberapa sekolah berusaha menambah sarana kelasnya demi bisa menampung rombel baru tersebut, tanpa tendensi soal materi.

Disisi lain juga terdapat sekolah yang tak masuk kategori unggul atau berada di daerah pinggiran sama sekali tak mendapatkan jatah murid, sehingga terancam keberadaan institusi pendidikannya. Sekolah tanpa murid atau murid minim dari kapasitas yang tersedia.

Sebaliknya saat diberlakukan sistem zonasi problem berikutnya yang muncul justru adanya indikasi kecurangan berupa pemalsuan data domisili dengan cara memalsukan data di dalam Kartu Keluarga dengan menggunakan "jasa" KK lain yang berada dalam jalur zonasi, yang dimaksudkan agar bisa masuk di sekolah pilihan meskipun terhalang zonasi.

Nah, jikalaupun "memaksa" untuk tetap memanfaatkan sistem zonasi, problem berikutnya yang tak kalah membuat pusing adalah soal besaran dana pendidikan yang ditetapkan oleh pihak sekolah sebagai prasyarat masuknya. 

Kini jumlahnya semakin bervariasi dan semakin mahal. Apalagi karena peluang masuknya semakin sulit, maka penetapan uang masuk tersebut mau tidak mau harus bisa dipenuhi. Nah, disinilah "peluang" baru tersebut dimanfaatkan oleh oknum tertentu.

Selain biaya pendaftaran, uang seragam, uang pembangunan, juga mencakup uang untuk kelengkapan sarana, dan bahkan punggutan lainnya termasuk yang tidak dibenarkan.

Beberapa sekolah menambahkan sejumlah syarat dana baru bagi siswa baru dengan memasukkan beban untuk penyediaan sarana sekolah dengan alasan kelas khusus, atau demi kenyamanan belajar siswa. 

Tentu saja menjadi dilematis bagi para orang tua siswa untuk menolaknya. Mengingat kebutuhan pendidikan bagi putera-puterinya, juga faktor ketiadaan pilihan lain mengingat dalam sistem zonasi, para calon siswa yang diterima adalah yang berada dalam zona dimana siswa berdomisili.

Ini menjadi buah simalakama bagi para orang tua siswa. Tak membayar uang sekolah yang mahal akan ditolak masuk, jika harus membayar pun juga menjadi problem karena menguras kantong. 

Apalagi bagi kalangan kelas menengah bawah meski terpaksa, mau tak mau harus membayar berapapun dana yang disyaratkan oleh pihak sekolah yang berada dalam wilayah zonasinya. Mungkin dengan sedikit kelonggaran dapat dicicil dalam beberapa tahap.

suasana penerimaan siswa baru-PPDB disebuah sekolah sumber gambar kompas.id
suasana penerimaan siswa baru-PPDB disebuah sekolah sumber gambar kompas.id

Pendidikan, Pisau Bermata Dua

Kebutuhan orang untuk bersekolah semakin penting, terutama karena di zaman kekinian formalitas ruang kerja yang tersedia mensyaratkan lulusan sekolah yang dibuktikan dengan keberadaan surat formal (ijazah). Sehingga pendidikan menjadi seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, pendidikan menjadi kunci utama untuk membuka gerbang kemajuan dan kesuksesan. Di sisi lain, pendidikan tak luput dari jerat komodifikasi, di mana sekolah dan institusi pendidikan berubah menjadi bernilai finansial.

Dalam beberapa kasus yang terbongkar di media, fenomena ini terlihat jelas dalam bentuk seperti praktik pungutan liar (pungli) di sekolah, hingga sistem penerimaan siswa yang diskriminatif. 

Hal ini tak hanya mencederai esensi pendidikan, tetapi juga menghambat akses pendidikan bagi masyarakat kurang mampu.

Akar masalah yang mendorong lahirnya komersialisasi pendidikan dan sekolah selalu dikaitkan dengan persoalan minimnya dana pendidikan yang dimiliki oleh pihak sekolah.

Dukungan dana pendidikan dari Pemerintah yang minim memaksa sekolah untuk mencari sumber pendanaan alternatif, sehingga mendorong praktik pungli dan komersialisasi Sekolah.

Sistem PPDB pun juga menjadi pemicu yang menuai masalah dikaitkan dengan komersialisasi sekolah. Sistem penerimaan siswa yang tidak adil dan transparan, seperti sistem zonasi yang kaku dan penerimaan berdasarkan kemampuan finansial, memperkuat kesenjangan akses pendidikan dan membuka celah komersialisasi sekolah.

Namun yang paling kentara adalah lemahnya pengawasan, setelah temuan-temuan kasus barulah pihak pengawas Pemerintah turun tangan mengatasi masalah. Pengawasan dan penegakan hukum yang tidak tegas dari pihak terkait membuka celah bagi praktik pelanggaran di dunia pendidikan.

Akibat dalam jangka pendek dan jangka panjang, setidaknya akan menimbulkan kesenjangan akses pendidikan, sebagaimana keluhan-keluhan yang belakangan ini muncul di ruang publik. Terutama dari kalangan masyarakat miskin dan terpinggirkan yang semakin sulit mendapatkan pendidikan berkualitas.

Dampak lainnya tentu saja pada penurunan kualitas pendidikan, karena fokus pendidikan bergeser dari pengembangan karakter dan kompetensi siswa menjadi mengejar keuntungan finansial.

Masalah ini jika tidak ditanggulangi dengan cepat juga berdampak pada demoralisasi Guru dan Tenaga Kependidikan, dimana para guru dan tenaga kependidikan bisa terjebak dalam sistem yang eksploitatif yang mengabaikan profesionalisme.

Dan pada gilirannya menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem pendidikan yang berorientasi pada keuntungan.

Mengembalikan Esensi Pendidikan

Mengatasi masalah komodifikasi pendidikan memang membutuhkan solusi yang komprehensif dan berkelanjutan, karena masalahnya sangat kompleks dan bisa berdampak jangka panjang yang mempengaruhi kualitas pendidikan kita.

Apakah memungkinkan jika Pemerintah meningkatkan alokasi dana pendidikan untuk memastikan sekolah negeri dapat menyelenggarakan pendidikan berkualitas tanpa harus membebani siswa?

Ini juga solusi yang tidak sederhana dan tidak mudah. Mengingat hal ini berkaitan dengan ketersediaan dana yang ada dan membutuhkan kebijakan yang khusus.

Namun solusi yang mungkin dilakukan adalah dengan melakukan reformasi atau re-evaluasi Sistem PPDB, dengan menerapkan sistem penerimaan siswa yang adil dan transparan, seperti sistem meritokrasi dan jalur khusus bagi siswa berprestasi dan kurang mampu.

Berikutnya yang masih realistis bisa dilakukan adalah penguatan pengawasan dan penegakan hukum terhadap praktik pelanggaran di dunia pendidikan, termasuk pungli, korupsi, dan komersialisasi pendidikan. 

Transparansi ini dapat dilakukan dengan dukungan partisipasi aktif masyarakat dalam kontrol sosialnya. Agar pengawasan dan dukungan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas dan inklusif bisa lebih transparan

Bagaimanapun menangani problem komodifikasi pendidikan membutuhkan kolaborasi dan komitmen dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat. Kolaborasi ini dapat menutup celah terbukanya praktik kecurangan dan semakin transparansinya penggunaan dana yang ada di sekolah.

Harapannya, tentulah kita bisa membangun sistem pendidikan yang berkualitas, adil, dan inklusif, di mana pendidikan tidak diukur secara ekonomi, melainkan hak asasi manusia yang wajib dipenuhi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun