Pemandangan tumpukan tugas guru atau PR siswa di atas meja guru adalah pemandangan yang biasa di sekolah. Meskipun dibalik itu, sebenarnya juga ada masalah. Apakah para guru memang tak punya waktu, atau mengerjakan banyak tugas lain tapi seolah tak pernah ada habisnya.
Padahal setiap hari selalu ada waktu luang yang tersedia. Entah saat istirahat siang atau saat jam menunggu absen pulang.
Bahkan ada kala tugas siswa atau tugas lain terpaksa di bawa pulang, berharap bisa dituntaskan saat santai di malam hari. Tapi tetap saja rencananya kedodoran. Apalagi setelah lelah bekerja seharian!
Apakah artinya para guru memang lelah? atau sebenarnya ada pola yang kontraproduktif, kebiasaan yang salah dilakukan oleh para guru?
Bisa jadi para guru memang terjebak dalam situasi dan kondisi yang dipahami sebagai fake productivity--produktivitas palsu. Para guru terlihat sibuk, tapi tak menyadari kesibukannya itu tak membuat pekerjaannya habis. Atau terlihat produktif, padahal tidak! Bagaimana bisa?
Fake Productivity bukan hanya menimpa para pekerja kantoran, tetapi juga profesi guru. Dalam lingkungan pendidikan, tekanan untuk terlihat produktif bisa menjadi beban tambahan bagi para pendidik, mempengaruhi kualitas pembelajarannya bersama siswa.
Apa jalan keluarnya? Para guru mungkin bisa memulainya dengan fokus pada cara-cara konkret, mengidentifikasi dan mengatasi fake productivity itu. Termasuk tahu dampaknya agar tak terjebak produktivitas palsu.
Ibarat penyakit, virus--fake productivity juga banyak menjangkiti para guru. Bukan tidak mungkin sumbernya adalah rutinitas yang membuat bosan. Setiap hari berinteraksi dengan siswa, dengan materi yang berulang dan ditimpali masalah siswa, membuat guru merasa jenuh, meskipun itulah konsekuensi sebagai seorang pendidik.
Dalam banyak jenis profesi yang punya rutinitas tinggi, faktor kebosanan bisa memicu fake productivity--Merasa bekerja tapi pekerjaan tak pernah tuntas sepenuhnya.
Apa saja gejala fake productivity di kalangan guru?
Salah fokus. Bisa jadi para guru di sekolah, selama ini memang salah fokus, banyak menekankan pada banyaknya jumlah pekerjaan daripada mutu. Para guru terlihat sibuk menyelesaikan banyak tugas, tapi hasilnya tidak sesuai standar yang diharapkan. Bisa jadi ini akibat kurang perencanaan yang matang.
Saya juga pernah terjebak dalam situasi dan kondisi ini ketika ada beberapa pekerjaan yang harus dilakukan secara simultan. Akibatnya pekerjaan tak selesai-selesai, sekalipun membawanya ke rumah agar semuanya bisa tuntas. Termasuk pekerjaan berhubungan dengan ekskul!
Beberapa guru mungkin lebih terpaku pada aspek pencitraan kegiatan daripada substansi sebenarnya dari pekerjaan yang dilakukan.
Bagaimana mereka agar terlihat atau dipandang oleh orang lain daripada inti atau substansi dari pekerjaan mereka. Ini bukan sesuatu yang tidak biasa. Ada guru yang lebih peduli membangun kesan, mereka sibuk dan produktif.
Guru terperangkap dalam kesibukan atau aktivitas yang terlihat produktif secara eksternal, namun sebenarnya tidak secara substansial menghasilkan dampak yang diharapkan dalam proses pendidikan siswa
Misalnya, seorang guru mungkin lebih memperhatikan bagaimana menyusun presentasi atau merancang aktivitas yang terlihat menarik secara visual, daripada benar-benar memperhatikan konten atau materi pelajaran yang akan disampaikan kepada siswa.
Misalnya, saat membuat konten pembelajaran hingga menyita waktunya, meskipun sebenarnya ada aplikasi yang bisa membantu dan banyak tersedia di internet.
Atau para guru mungkin ingin lebih fokus pada bagaimana tampil di depan atasan atau rekan kerja, daripada bagaimana agar siswa benar-benar memahami dan menguasai materi pelajaran.
Ini bisa terjadi dan menimpa siapa saja dan bisa menjadi biang terjadinya fake productivity tersebut.
Tekanan Target? Bisa jadi. Misalnya, ketika ada tekanan harus menyelesaikan sebuah target atau tugas dari atasan yang bisa mendorong guru terlihat sibuk berlebihan, termasuk melakukan pekerjaan tambahan yang sebenarnya tidak substansial bisa menuntaskan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Bukannya selesai pekerjaan, justru menjadi beban, dan memicu stres.
Bagaimana para guru mengatasi fake productivity-nya?
Berdasarkan pengalaman sendiri maupun teman guru lainnya, setidaknya saya punya beberapa catatan yang mungkin bisa menjadi pembelajaran bagi teman guru lainnya.
Atau sebaliknya mungkin ini juga memang telah menjadi solusi mengatasi fake productivity yang telah dilakukan para teman guru lainnya.
Hindari membawa pekerjaan sekolah kerumah; Berdasarkan pengalaman sendiri, sebisa mungkin kita sebagai guru tak membawa pekerjaan ke rumah. Kebiasaan ini, seringkali menjadi blunder bagi diri sendiri.
Waktu di rumah yang semestinya digunakan untuk bersantai setelah bekerja seharian, justru dipakai bekerja tambahan, meskipun hanya memeriksa tugas siswa atau membuat konten materi pembelajaran.
Ini adalah bagian dari cara kita sebagai guru menjaga keseimbangan hidup dan kerja, karena penting bagi guru untuk tidak mengorbankan keseimbangan antara hidup pribadi dan pekerjaan. Waktu istirahat yang cukup juga penting untuk menjaga kesehatan mental dan fisik. Dan bukan tidak mungkin ini salah satu biang fake productivity.
Pilih alternatif kerja yang lebih praktis dan mudah; Meskipun kita mungkin jenis guru kreatif dan produktif, jika ada cara yang memudahkan pekerjaan, tentu akan lebih baik kita jadikan pilihan, seperti mempersiapkan bahan untuk proses belajar mengajar.
Dulu saya terbiasa menyiapkan bahan mengajar yang bisa saya gunakan berulang di kelas yang berbeda, dengan berbekal kertas plano dan selotip kertas. Agar lebih efektif dan tak mengulang pekerjaan, namun kini dengan adanya aplikasi, saya beralih memilih yang lebih praktis dan memanfaatkan proyektor atau LCD yang disediakan sekolah.
Buat prioritas dan ingatkan diri sendiri;
Memanajemeni diri sendiri, dengan membuat prioritas yang jelas dari pekerjaan yang harus kita tuntaskan. Baik dari manajemen waktu maupun prioritas tugasnya. Sebagai guru kita bisa mengidentifikasi tugas-tugas yang benar-benar penting dan genting, sesuai tujuan utama dalam pekerjaan di sekolah, daripada yang tugas yang reguler.
Saya biasa menempelkan kertas warna-warni di meja walas, yang kita pahami sendiri tujuan dan maksudnya. Misalnya kertas stiker merah, harus tuntas dalam berapa hari, dibandingkan yang warna kuning atau hijau.
Begitu juga menempel stiker di pinggiran layar monitor PC di lab sekolah yang menjadi tempat kerja saya. Termasuk membuat memo dilayar desktop monitor, yang diperbaharui secara berkala begitu selesai. Semuanya saya lakukan sebagai pengingat diri sendiri agar efisien waktu dan tak terjebak pada fake productivity.
Lakukan komunikasi terbuka
Kami memiliki link WhatApps khusus para guru atau walas. Semua informasi penting selain melalui surat edaran bisa kami dapatkan dari WA tersebut, sehingga bisa update. Bahkan menggunakan kode atau list, siapa yang belum tuntas dan sudah tuntas, sehingga bisa diingatkan oleh guru lainnya.
Hal lain yang mungkin bisa kita lakukan tentu saja melalui peningkatan kapasitas;
Intinya meningkatkan kompetensi profesional. Jika dulu gaptek, kini bisa bekerja lebih canggih, jika dulu laporan manual, kini dengan aplikasi, semuanya butuh upgrade kapasitas agar lebih memudahkan kerja-kerja.
Sehingga kita bisa mengukur tingkat "keberhasilan" pencapaian target pekerjaan kita. Tidak hanya sekedar sibuk seolah produktif, namun output-nya tidak substansial menyelesaikan tugas-tugas utama kita.
Apa Kata Pakar yang Sebaiknya Kita Cermati?
Ada baiknya juga kita mempertimbangkan saran para profesional, seperti disampaikan seorang penulis sekaligus Presiden The Productivity Pro, Inc., Laura Stack yang mengutip ungkapan Henry Ford-“Produktivitas yang lebih baik, berarti lebih sedikit keringat manusia, bukan lebih banyak.”
Itu artinya kita harus "mencerdasi" jebakan fake productivity dengan usaha yang lebih baik. Kita memahami bahwa secara teori, peningkatan produktivitas berarti, memproduksi lebih banyak barang atau jasa dalam jangka waktu tertentu.
Tapi itu kan pengetahuan dasar. Sebab masalahnya definisi itu belum tentu berlaku secara personal. Bayangkan kerja seorang editor yang mengedit 10.000 kata dari sebuah novel. Dengan menggunakan definisi lama (tingkat output per unit input), produktivitasnya bisa negatif, malah menunjukkan ketidakmampuan.
Sebenarnya, karya reduktif-nya telah meningkatkan kejelasan novel tersebut, membuatnya lebih mudah dibaca dan lebih mungkin diterbitkan. Di sinilah efektivitas mengalahkan efisiensi, meskipun produktivitas biasanya memerlukan keduanya.
Di sisi lain, hanya karena seseorang menyelesaikan 15 tugas dalam satu hari bukan berarti mereka produktif. Mereka mungkin menunda-nunda tugas penting atau hanya melakukan pekerjaan bernilai rendah. Nah, apakah banyak dari kita sebenarnya berada dalam situasi seperti ini? Bisa jadi kan!
Sebenarnya membedakan produktivitas palsu dari produktivitas menurut pakar, tidaklah sulit, namun membutuhkan peninjauan yang tulus terhadap aktivitas yang kita lakukan, untuk memastikan tujuan kita telah sesuai rencana.
Penting untuk memperhatikan beberapa hal agar tak terjebak fake productivitya;
Jangan bingung antara output atau capaian dengan produktivitas.
Jika setiap hari kita bisa menulis 1.000 baris sehari, tetapi tulisan itu tidak efisien dan memerlukan banyak revisi? Padahal jika kita menulis 500 kata, namun langsung selesai, bukankah itu lebih bermanfaat, meskipun membutuhkan waktu lebih lama.?
Menyadari bahwa tugas bernilai rendah tidak selalu tidak produktif.
Banyak dari kita gagal paham, misalnya kita memiliki tugas-tugas bernilai rendah yang harus diselesaikan, seperti; memelihara database, mengedit, membersihkan kotak masuk email karena akan menghemat waktu nantinya.
Namun, itu mungkin terlihat seperti kerugian kinerja dalam jangka pendek dan mungkin tidak secara langsung menguntungkan kita, padahal manfaatnya akan terasa saat pekerjaan kita menjadi lebih efisien.
Artinya pekerjaan yang penting, membosankan, dan tersembunyi tetap bisa bermakna jika tidak menghalangi kita dari pekerjaan bernilai tinggi lainnya.
Takut perfeksionisme
Nah, gara-gara ingin serba bagus, kita sering terjebak pada detailnya, tetapi ketika kita mencoba untuk berproduksi, ternyata kita hanya bisa mengoreksi diri sendiri sebelum membuat kita putus asa dan bisa mematikan produktivitas kita karena ingin serba sempurna.
Hal ini membuat saya sering terlalu lambat saat menulis dengan benar. Tapi itulah gunanya pengeditan jika diperlukan. Jika kita mencoba melakukan segalanya dengan benar sebelum memulai, kita mungkin tidak akan pernah memulai.
Jangan hanya mendengar
Proaktif selalu mengalahkan reaktif, daripada menebak-nebak atau mendengarkan, lebih baik mulailah dengan pelatihan inisiatif mandiri. Baca dan pelajari bidang kita sebaik mungkin sebelum mengambil peran, mulai dari teknologi yang digunakan hingga cara mencapai tenggat waktunya, kita akan merasakan perbedaannya.
Fokus pada tujuan
Apa yang ingin kita capai dari rencana output tugas kita, semakin kita fokus akan semakin terarah pekerjaan kita. Sehingga setiap tahapan penyelesaian tugas akan mengarah pada terselesaikannya tugas kita.
Dengan mengenali gejala-gejala fake productivity dan mengimplementasikan strategi-strategi tersebut, semoga para guru dan sahabat Kompasianer lain yang juga bekerja dengan rutinitas dan tugas yang simultan bisa menghindari jebakan produktivitas palsu, dan mengoptimalkan waktu lainnya untuk belajar dan mengajar dengan lebih fokus. Intinya jangan memalsukan produktivitas!
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H